“#Kalijagamenggugat t’lah tiba..hore..hore..hore..hooore.” demikianlah bila lagu Tasya “Libur Tlah tiba’ dikontekstualisasikan pada momen ini.

Beberapa waktu silam jagad medsos sempat diramaikan dengan gambar-gambar meme berisi kritikan mahasiswa pada kampus UAD, UPI, dan UNY dan lain-lain, terkait mahalnya biaya pendidikan. Eh, kini giliran almamater saya menjadi viral.

Meski dikelilingi polemik mengenai UIN Suka liberal, pelarangan cadar serta disertasi Milkul Yamin, baik bung-bung gondrong rokok-an celana sobek atau akhi ughtea jenggot celana cingkrang hingga cadaran, semua sewarna dengan identitas almamater UIN sebagai kampus putih. Saya masuk ke UIN sejak 2013, hingga melanjutkan jenjang berikutnya di almamater yang sama pada tahun 2018 hingga kini.

Pada tahun 2013, sekitar bulan Agustus, baru saja mendaftar OPAK (kegiatan ospek kampus), senior-senior yang garang dan manja sudah menyuguhi maba aksi massa penolakan kedatangan Surya Paloh: demi mempertahankan kenetralan kampus dari parpol.

Seniorku juga katakan: “Anak UIN mah terkenal dengan mahasiswa-mahasiswanya yang kritis dan rajin demo. Harus kita kawal identitas kampus putih, kampus rakyat, kampus dengan biaya pendidikan murah. Kalau tidak: turun jalan menuju rektorat!!!!”

Eksternalisasi-internalisasi persepsi mendasar mengenai uang pendidikan murah tanpa uang pangkal menunjukkan komitmen besar mahasiswa di UIN tanpa ketjuali.

Kini komitmen-komitmen tersebut harus diuji dengan surat keputusan Plt. Rektor UIN Suka yang menetapkan pembayaran Dana Pengembangan Institusi (DPI) bagi mahasiswa baru ta. 2020/2021 sebesar 1500k. Menariknya, kebanyakan dari pembela maba ini sepertinya bukan dari maba itu sendiri, melainkan dari para senior-senior yang sudah tahu luar dalam kampusnya.

Ah bagi saya pribadi, keputusan menag berikut Plt. Rektor memang ditetapkan pada timing yang relatif kurang pas.

Dear Bapak Plt Rektor, tanpa mengurangi rasa hormat, perkenankan muridmu, sebagai anak bawang kehidupan ini mengungkapkan beberapa hal. Dengan mata telinga saya sendiri saya menyaksikan ribuan orang terdampak PHK massal dan kehilangan pekerjaan mereka. Sebagian teman pada masa pandemi ini salah satu ortunya meninggal dunia setelah positif covid-19. Tetanggaku sendiri ibunya seorang penjaja koran lampu merah dalam keadaan difabel kakinya. Anaknya maba berkuliah di UIN Suka. Apakah kiranya Bapak sampai hati menerapkan keputusan ini?

Semua memang mampu diusahakan, tetapi apa iya tega membiarkan orang tua berhutang kesana-sini. Syukur mendapat pinjaman dari orang baik. Bagaimana dengan lingkungan pemberi dana berkedok lintah darat?

Yang Terhormat, Bapak Plt. Rektor. Sudah bukan menjadi rahasia umum, sejak saya berkuliah pada tahun 2013, sosok Bapak sudah harum sebagai dosen yang karib dengan mahasiswa-mahasiswanya, bahkan tidak pernah tidak dalam membantu mahasiswanya kala ada masalah.

Saya juga termasuk dari mahasiswa yang terbantu. Ketika itu saya dianggap oleh sistem kampus belum membayar SPP sehingga tidak bisa lakukan input KRS. Ketika menghadap Bapak yang kala itu sebagai kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, tatapan dingin Bapak masih teringat di benak. Tidak butuh lama waktu, Bapak membantu dengan memberikan selembar note ketjil agar saya berikan kepada Bapak Muhadi sebagai staff TU, bertandatangan Bapak, agar urusan saya dibantu. Dan…….Selesai lah.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Ketika saya mendengarkan ceramah perkuliahan yang disampaikan oleh Bapak, berulang-ulang Bapak sampaikan kepada mahasiswa: “Tuubuu” (Taubatlah kalian semua). Mahasiswa sudah paham. Yang dimaksud adalah taubat bahasa. Minimalnya Arab dan Inggris. Dengan nada suara yang pelan perlahan, Bapak sampaikan ceramah perkuliahan. Semua mahasiswa dengan khidmat mendengarkan suatu teori Ma’na cum Maghza sebagai suatu pendekatan alternatif dalam memahami al-Qur’an—dengan bahasa yang ringan, namun tidak mengurangi bobot materi. Teori tersebut juga merupakan salah satu teori yang digagas oleh Bapak.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Diamanahi jabatan strategis di UIN tidak mesti menjadi “pion” menteri agama dalam meng-iyakan isi surat keputusannya. Tetaplah di samping mahasiswa, meski harus “nakal” kepada atasan. Tidak perlu lagi sepertinya diingatkan mengenai kisah Nabi Yusuf dengan kebijakan brilian dalam mengelola pangan di tengah paceklik, atau kisah Nabi Ibrahim dan Ismail mengenai pentingnya membangun komunikasi yang baik dalam mengambil keputusan penting. Bahkan sekalipun perintah tersebut datangnya dari Tuhan. Apakah Menteri Agama Bapak anggap sebagai tuhan?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya dan rekan-rekan mahasiswa lain mungkin menyadari bahwa Bapak dalam kondisi yang serba dilematis. Bapak pun dan jajaran rektorat memiliki pertimbangan-pertimbangan lain sebelum membuat keputusan.

Ah, bagaimana jika Bapak gunakan saja teori Ma’na cum Maghza yang sarat kontekstual ini dalam mengambil keputusan DPI. Bukankah jelas konteks yang dihadapi bersama adalah covid-19 yang berdampak besar kepada perekonomian masyarakat, berikut mahasiswa. Alih-alih membuat keputusan progresif dan maslahat, sebaliknya, malah menjadi keputusan represif dengan menarik biaya tambahan kepada mahasiswa.

Kisah Nabi Yusuf dan kisah Nabi Ibrahim dan Ismail juga bisa Bapak lakukan penelaahan secara progresif. Kisah Nabi Yusuf mensyaratkan pengelolaan pangan yang baik di sekitar paceklik dan kekeringan. Konteks saat ini di tengah pandemi seakan memberi pesan kepada pemangku kebijakan agar mampu menghasilkan kebijakan yang bijak, menenangkan, meringankan, bahkan kalau perlu menghilangkan beban. Sementara kisah Nabi Ibrahim dan Ismail seakan memberi pesan pentingnya audiensi antara mahasiswa dan pihak rektorat dalam pengambilan keputusan.

Ah, saya sedang bicara apa ini. Terkesan sangat indah sekaligus utopis. Barangkali persepsi kita berbeda ya, Pak. Bahwa pendidikan saat ini seperti halnya jual-beli alias bisnis. Urusan mencerdaskan mahasiswa, itu perkara lain. Ah aku yakin para dosen (sebagiannya) di UIN Suka juga tidak setuju dengan adanya penambahan beban biaya ini, tapi bagaimana lagi. Menyuarakan suara alternatif yang berbeda dari suara mayoritas akan dianggap suatu pembangkangan. Orang banyak mengebiri suara hatinya daripada harus kehilangan pekerjaannya. Mengerikan.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saya juga tidak tahu apakah yang saya lakukan itu salah atau benar. Yang pasti saat ini penderitaan ekonomi rakyat benar adanya.

Kalaulah alasan Bapak Plt. Rektor bahwa uang DPI bisa dicicil selama tiga tahun, namun karena pendidikan kini berkedok komersialisasi dan bisnis, bukankah lebih baik jika kita bernegosiasi? Yang dihadapi Bapak yang terhormat bukanlah sekelompok siswa SD atau SMP yang penurut.

Dalam tenggat waktu tiga tahun seperti yang Bapak dalihkan, saya memiliki solusi alternatif. Konon, DPI ditetapkan untuk pengembangan sarana prasarana institusi. Pernahkah pula Bapak dengar desas desus bahwa lulusan UIN banyak menempati waiting list terbanyak dalam memperoleh pekerjaan? Alias susah kerja?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Saran saya adalah daripada menarik uang sebanyak 1500k dan bisa dicicil dalam tenggat tiga tahun, lebih baik memberi modal kepada mahasiswa 1500k. Bukankah lulusan UIN tidak semua menjadi dosen? Tidak semua menjadi guru? Tidak semua memiliki pondok pesantren? Tidak semua memiliki modal? Daripada baru belajar ternak lele setelah lulus, lebih baik saat menjadi mahasiswa diberi modal dan pengetahuan untuk beternak sejak dini. Gunakan banyak relasi yang ada. Berikan modalnya.

Untuk apa para mahasiswa disuruh mengisi indeks prestasi yang pernah dicapai selama SMA atau sederajat pada Data Pribadi Mahasiswa di Sistem Informasi Akademik (SIA) kalau tidak dijadikan bahan analisis potensi masa depan. Buatlah cluster. Berikan modal untuk pengembangan. Jangan hanya yang juara karya tulis ilmiah yang diberikan modal pembinaan.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk menikung pacar atau istri orang lain, sebaiknya manfaatkan potensi skill speak speak iblis dalam komunikasi ini untuk menjadi Youtuber. Menjadi host podcast. Berikan modalnya.

Daripada mahasiswa Bapak Plt. Rektor yang terhormat sibuk ngopi, sementara ide-ide brilian mereka menguap, berikan modal blog berbayar kepada mereka agar mereka bisa menumpahkan ide-ide mereka lewat tulisan.

Atau kumpulan-kumpulan tulisan terorganisir kemudian dengan nama besar Bapak salurkan kepada media-media massa.

Berikan modal juga kepada mahasiswa yang sudah biasa berjual buku-buku pemikiran, atau bisnis-bisnis lain.

Berikan pula mentor-mentor terbaik untuk mereka sebagai pendamping, pantau progres mereka. Keuntungan yang didapat oleh mahasiswa bisa dibagi hasil kepada kampus agar mengembangkan sarana dan prasarananya sebagaimana terencana. Dengan demikian, satu orang mahasiswa saya kira mampu mengumpulkan profit lebih dari 1500k yang diharus dibayarkan kepada kampus selama tiga tahun. Tanpa hutang sana sini. Tanpa membebani orang tua di kampung. Di samping itu, justru mahasiswa diberikan pengalaman kerja dan memperdalam passionnya.

Kalau modal kampus kurang, atau Bapak yang meragukan ide absurd ini. Tenang saja, Pak. Saya ada solusi alternatif lain, pertama, jual saja Pak beberapa mobil dinas kampus yang toh pejabat-pejabat kampus sebagian besarnya sudah memiliki kendaraan pribadi di rumahnya. Kedua, bisa gunakan saya dan mahasiswa yang spesialisasi demonstrasi untuk menuntut kepada Pak Menteri Agama agar cairkan dana untuk mahasiswa. Nah alternatif ketiga, bukankah rekan-rekan mahasiswa di antaranya ada yang memelihara……tuyul? Hohohoho.

Anyway, semua ini dengan maksud agar rekan-rekan mahasiswa ini sudah terbiasa bekerja, Pak. Daripada harus mengandalkan kartu prakerja yang nganu. Ruwet. Ruwet. Ruwet.

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Apapun teknisnya nanti. Saya menunggu langkah progresif Bapak daripada harus menarik uang dari mahasiswa.

Tidak perlu banyak pikiran mengenai materi perkuliahan yang nanti akan tertinggal, Pak. Rekan mahasiswa sudah pintar-pintar. Materi perkuliahan untuk satu semester bisa dipadatkan untuk satu bulan. Toh bukankah mahasiswa selama ini dalam mengunyah dan mengejewantahkan materi perkuliahan banyak terbantu dengan Ctrl C dan Ctrl V?

Yang Terhormat Bapak Plt. Rektor. Tuubuu. Taubatlah untuk kembali di sisi mahasiswa. Teori Ma’na cum Maghza yang digagas oleh Bapak saja sudah memantik banyak penelitian-penelitian jurnal atau tugas akhir. Saya pun bisa membayangkan bila langkah progresif Bapak tempuh. Hal ini mampu membuka mata khalayak ramai. Kebijakan kampus dekat dengan kemashlahatan masyarakat. Langkah utopis apapun tiada yang mustahil untuk dibumikan.

Di samping itu, kebijakan Bapak ini mampu memantik penelitian rekan-rekan mahasiswa, khususnya prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Agar tidak melulu berbicara konsep-konsep yang……Ruwet. Ruwet. Ruwet; Judul-judul yang cenderung dipaksakan. Melainkan kombinasi antara Al-Qur’an, teori Ma’na Cum Maghza, dan kebijakan publik, sosial-politik, sejarah, dan lain-lain, yang tentunya buah dari keteladanan Bapak.

Semoga Bapak sehat selalu dan dalam penjagaan Allah. Saya kangen mendengar cerita heroik Bapak dahulu ketika waktu silam menjadi saksi ahli dalam sidang BTP yang dinilai menistakan agama. Dengan pengetahuan Bapak yang mapan dan dalam mengenai al-Qur’an, Bapak berani menentang arus pandangan mainstream, membela yang tertindas, lantang mengatakan bahwa BTP dalam pengetahuan Bapak tidak bermaksud menistakan agama. Lantas, apakah saat ini Bapak sama beraninya dalam melindungi ‘anak-anak Bapak’ ini, mahasiswa-mahasiswi Bapak dengan mengambil kebijakan progresif? Barangkali jabatan Bapak sebagai Plt. Rektor tidak akan berlangsung panjang, buatlah murid-murid Bapak ini semakin bangga dengan langkah progresif yang ditunggu-tunggu.

Demikian tulisan ini dibuat. Mohon maaf atas semua kesalahan. Dari saya yang selalu menghormati Bapak Plt. Rektor.

Btw, kalau saya masuk parpol, parpol apa Pak yang cocok untuk saya? Heuheuheu.