aldiantara.kata
Doa adalah nyanyian hati yang selalu dapat membuka jalan terbang kepada singgasana Tuhan meskipun terimpit di dalam tangisan seribu jiwa — Kahlil Gibran
Kota yang tak pernah meminta doa. Tak juga pernah katakan akan mendoakan. Bersembunyi dibalik jubah tulus dan ikhlas. Terucap sir dalam sendiri, memberi doa-demi-doa untuk manusia.
Kemana perginya doa-doa yang dirapalkan. Bukan basa-basi percakapan, periksa pada punggung kupu-kupu biru di taman mawar hitam. Katakan agar, “tetap rahasia, doa di kota ini tak pernah menjadi bahan gunjingan.”
Dandelion yang menerbangkan benih-benih, beranjak bersama udara yang berpihak pada angin. Percakapan mereka sebelum menyebar. Menerbangkan sayap selembut kapas bak doa. Di bawah teduh randu alas, seorang anak bermain batu. Tawanya sampai menangis, ceria dicubit angin membuatnya jatuh di atas tumpukan daun.
Anjing yang menjadi pagar. Berlari membuat jejak. Sesekali kegirangan digoda ombak laut.
Lampu dinyalakan pertanda hari akan gelap. Dendam tak kunjung beranjak, sementara rindu tlah menjadi batu karang.
Awan-awan doa berarak berkoloni membentuk wajahmu, tangan menopang dagu, “Kemana perginya doa kita.” Bejana takdir memamah menjadikannya nafas. Sandiwara langit menyulapnya menjadi siluet. Doa-doaku menjelma teduh wajahmu, yang ku tak sudi terjilat angin.
Kemana perginya doa? Orang-orang tak meminta doa. Semua orang mendoakan. Bayangmu dimakan gelap. Jawaban belum kunjung buatmu lelap. Simak cinta bunga bugenvil yang ditinggalkan senja. Merambat pada dinding-dinding kota yang dingin.
Seorang gadis yang masih bernyanyi pada sebuah cafe yang sepi. Ia sedang menghibur hatinya sendiri. Lagu-lagu yang mengisi jiwanya yang tak sempurna. Disaksikan bangku yang lengang. Meja yang dihinggapi benih dandelion, langit bugenvil, tawa anak kecil yang memecah hening.