aldiantara.kata

 

Setelah kau bacakan puisi Joko Pinurbo (Jokpin) awal malam itu, mata rasanya berat sekali agar tetap terjaga. Puisinya menegaskan keberadaan kita pada rentang jarak yang terukur jauh, setiap suara yang dikeluarkan takkan terdengar gemanya pada masing-masing kita. Apa kita akan bermimpi dan bertemu saja di Danau Lungern? Agar benar, puisi Jokpin ini, jarak itu tak pernah ada, pertemuan dan perpisahan hanyalah dilahirkan oleh perasaan.

Puisi Perjalanan Pulang (1991)

…Aduh sayang, jarak itu
sebenarnya tak pernah ada. Pertemuan
dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.

Salam bagimu, peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.

Aku tertidur. Gelap.

Tak bermimpi apa-apa, bahkan hanya sekedar terbayang wajahmu.

“Mengapa tak berkirim pesan?” tanyamu.

Kau bercerita, malam tadi nyatanya sulit tidur. Tidak sampai waktu satu babak pertandingan sepakbola, mata kian terjaga dan sulit terpejam. Kau bilang diskusi mengenai himpunan puisi-puisi Jokpin seakan belum selesai dibahas, kemudian kita masih saja membahas satu sama lain melalui telepon.

Kau berbaring ke kanan, kau malah ingat puisi Jokpin yang mengkritik bahwa tiada yang benar-benar berkuasa. Pun tidak ada yang benar-benar menjadi manusia merdeka. Semua seperti ada yang mengendalikan, atau dikendalikan. Laiknya boneka. Dikendalikan rutinitas, yang dipenati oleh lingkaran yang tak juga menemukan titik pangkal.

Boneka, 1 (1996)

Saya datang dari negeri yang pemimpin
dan rakyatnya telah menyerupai boneka.
Saya tidak betah lagi tinggal di sana
karena saya ingin tetap menjadi manusia.

 

Apa arti kenyamanan bila tanpa kehadiran. Namun rasa dingin, kerap diperlukan untuk menegaskan arti penting seseorang yang berada pada titik jemu hubungan. Manakala seseorang itu tak lagi menawarkan apa yang menjadi kebutuhanmu, sementara dirimu seakan menjadi satu-satunya seorang yang kesepian.

Puncaknya, tatapan kekasihmu tidak lagi berisi, sementara kau merasa tak diperhatikan, lalu hanya dia yang senyatanya ada. Menafkahi kegelisahanmu.

Gadis Malam di Tembok Kota (1996)

Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.

Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika Cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?

 

Hingga tiba perjalananmu pada tubuh puisi Jokpin, kau hampir terhanyut terbawa mimpi, kala tiba pada puisi Doa Mempelai, sampai kepada layar hitam percepatan waktu yang membawamu kepada masa yang tiba sekejap, baitnya terbaca oleh pikiranmu yang belum lekas beristirahat.

Doa Mempelai (2002)

Malam ini aku akan berangkat mengarungimu.
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku,
tapi insyaallah saat bisa kutemukan
sebuah kiblat di ufuk barat tubuhmu.

 

Tamu-tamu malam datang seiring mengelam. Gagasan-gagasannya tiba tanpa sebetulnya kau undang, merasukimu dengan pikiran yang sedang berkelana, menamui setiap emosi jiwa yang berbaring di atas ranjangnya. “Apa yang akan kulanjutkan pada pagi ini, yang kupikirkan dini hari ini. Siapa yang akan berada di meja makan pada siang nanti di hadapan, yang kususun draft percakapan sebelum akhirnya obrolan hanya menjadi klise, kabar mengabar serta detail mimik yang kulatih dini hari ini.

Kau tak bisa menahan tamu-tamu malam yang berduyun merebah di pikiran, memohon untuk kau layani sekaligus. Anjing di luar menyalak melawan gigil, politisi gadung mengonggong melawan gagal.

Anjing (2003)

…Aku baru sadar
bahwa anjing-anjingan bisa lebih anjing
dari anjing sungguhan.

Seorang ibu terdengar baru kembali dari rumah malam itu, pagar besi berderit cukup keras terdengar terbuka, mencari anaknya yang tak kunjung pulang. Tak hanya kegelisahan, namun ibu selalu merapal doa yang dengan sendirinya meredakan amarahnya. Suaranya akan semakin merdu setelahnya tiada. Nasihatnya adalah pelukan kekal serta cinta suci dengan alamat jelas. Bahkan Tuhan takkan pernah menolak doa seorang ibu.

Tiada (2003)

Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu
yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada
di bingkai foto yang mulai kusam.

 

Kau berbaring ke kiri, rasakan sendiri jantung yang berdebar. Kecemasan kadang tak membutuhkan penawar, ia mesti kau ziarahi dengan penuh sabar.

Rumah Sakit (2004)

Bila tak ada obat yang kuanggap mujarab,
dengan lembut dan hangat perawatmu mencium
jidatmu: “Minumlah aku, telanlah aku, makanlah aku.

 

Kau beranjak berdiri, kau malah semakin tak bisa tidur, lagi-lagi diantarakata puisi Jokpin memenuhi kepalamu dengan pertanyaannya yang tajam, “Zaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?”

Pemulung Kecil (2006)

Sesekali ia bercanda juga:
‘Zaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.’

 

Sudah pukul setengah tiga. Kau masih terngiang dengan puisi Kacamata milik Jokpin. Ada puisi pada setiap jengkal bentala yang kita lintasi. Ada mengenai rindu atau diantarakata yang kita titipkan untuk kita nukil pada sajak-sajak hening, yang kemudian kita kenang.

Kacamata (2012)

Ada senja kecil yang sedang berdoa
di mata saya dan doa terbaik adalah sunyi.
Seseorang akan memberi saya kacamata
untuk memancarkan cahaya sunyi senja
ke jalan-jalan yang dilewati puisi.

 

Tiada yang dapat dipercaya lagi? Selain orang-orang menyudutkan kepentingan dan asumsi-asumsi. Apa kau masih percaya kepada tendensi penyair, yang pertaruhkan kata-katanya melawan kekuasaan yang tak berpihak pada keadilan?

Penyair Muda (2010)

Tega sekali kautinggalkan aku
hanya untuk berburu kata-kata.
Kau tak tahu, kata-kata tak bisa menaklukkan hatiku.
Hanya hati kata yang dapat membuat
dadaku berdenyut dan mataku menyala.

 

Lekaslah kini dikau beristirahat, kekasih. Embun di atas daun biar waktu saja yang menjaga kewarasannya, pagi ini. Secara bergantian senandung fajar yang menjadikannya syahdu.

 

Sumber Kutipan:

Joko Pinurbo, Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu: Sehimpun Puisi Pilihan (Jakarta: Grasindo, 2016)