Tag: Jerinx

Doa untuk Bli Jerinx

aldiantara.kata

 

Jerinx dan kontroversi

Siapa yang belum pernah memaki Jerinx? Bergetar kaki kita bila dihujani cacian. Dingin penjara padahal belum kita cecap. Tapi keadilan sosial memang memerlukan sedikit darah yang terpecah dipinggir bibir, sebelum akhirnya kita mati tersenyum puas  setelah lelah berjuang. Hingga tiada lagi seorang ibu dan bayi dikandung yang meninggal ketika hendak melahirkan, terhalang peraturan rumah sakit menjerat. Siapa tahu melalui anak yang akan lahir akan muncul pemimpin adil. Seakan hendak dikata Tuhan, “Dunia memang memiliki muara akhir.”

Terlepas dari segala kontroversinya sebagai tokoh yang memiliki banyak pengikut militan, bagiku Jerinx menggunakan suaranya dengan benar. Berani untuk berbeda, demi mengikuti panggilan hatinya sendiri mengkritik ketidak-adilan dan penyimpangan.

Ia dianggap sebagai musuh masyarakat sebab menentang arus mainstream dengan mengatakan bahwa Covid-19 merupakan konspirasi. Disamping penuturannya yang cenderung menggunakan kata-kata yang kasar menyebabkan ia diduga melakukan ujaran kebencian kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan mengatakan ‘Kacung WHO’ yang menyebabkannya masuk penjara. Banyak framming media dan komentar warganet yang seakan terjebak dengan penuturannya yang kasar dan penampilan fisiknya yang dipenuhi tato.

Pada satu sisi Jerinx memang layak dikritik. Salah satunya dari sifatnya yang emosional dan penyampaian pendapatnya yang keras dan cenderung kasar. Terlepas dari kepercayaannya yang mengatakan bahwa covid-19 merupakan konspirasi elit global, namun pada sisi yang lain, aksi sosial dan apa yang disuarakannya akhir-akhir ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Ketika orang-orang berjuang untuk hidup di bawah ancaman kematian dan aturan pembatasan wilayah, Jerinx dan kawan-kawannya mengadakan aksi sosial dengan membagi-bagikan pangan gratis selama lebih dari dua bulan untuk warga Bali yang membutuhkan. Jerinx juga menyuarakan kasus ibu-ibu hamil yang keguguran hingga meninggal dunia lantaran prosedur rumah sakit yang rumit pada awal pandemi.

Jerinx antara BTR, RUU Permusikan serta Lirik Lagu Sarat Kritik

Sementara itu, tidak pada kali ini saja Jerinx bersuara. Sebelumnya ia menjadi buah bibir masyarakat dalam perjuangannya menyuarakan Bali Tolak Reklamasi, menentang RUU Permusikan. Bahkan sebelum itu melalui lagu-lagunya, sebagai bagian dari personil dari band Superman Is Dead (SID), ia menuliskan lagu-lagu yang sarat akan kritik sosial dan perjuangan.

Jerinx bersama rakyat Bali tergabung dengan gerakan Bali Tolak Reklamasi yang secara akademis oleh para pakar dan ilmuwan, Kota Denpasar akan banyak menerima dampak negatifnya. Di samping akan menghancurkan muara alami untuk lima sungai besar di Bali, juga akan menyebabkan banjir di daerah pesisir Selatan di Bali.

Jerinx juga menentang RUU permusikan yang dianggap membatasi ruang ekspresi dan seni. Namun, sebagai musisi, Jerinx bukan ‘orang baru’ yang melihat adanya banyak permasalahan di negeri ini. Maka dari itu, melalui lagu-lagu yang disuarakannya bersama band SID sudah sejak lama ia berteriak melawan.

Dalam lagu Sunset di Tanah Anarki Jerinx menulis, “Kubasuh luka dengan air mata. Oh, hatimu beku serta jiwamu yang lelah. Tak henti lawan dunia. Dengan mimpi besar untuk cinta.” Dalam lagu Jadilah Legenda, ia menulis, “Untuk Indonesia, teruslah bertahan. Walau dihancurkan, disakiti Kau tetap berdiri di sini. Untuk Indonesia, jadilah legenda. Kita bisa dan percaya.” Juga dalam lagu Jika Kami Bersama Jerinx turut menyuarakan, “Aku berteriak lantang untuk jiwa yang hilang
Untuk mereka yang selalu tersingkirkan.

Teruskan Perjuangan Jerinx!

Pandemi belum selesai, namun aku menyadari bahwa disamping tenaga kesehatan yang sedang berjuang hebat, masyarakat juga membutuhkan aktivis sosial yang turun ke jalan menyuarakan kepedihan rakyat.

Setelah keluar dari bui lantaran kasus ujaran kebencian terhadap IDI, hal ini tidak menyurutkan keberaniannya untuk speak up terhadap ketidak-adilan. Kondisi pandemi yang sudah lebih dari setahun membuat matanya terbuka dengan keadaan sosial masyarakatnya yang banyak terdampak dari sektor ekonominya. Kata-katanya yang cenderung pedas dan menyudutkan pihak-pihak dengan tegas, membuatnya kini harus kembali terancam masuk penjara. Sementara dalam usia pernikahan yang belum lama bersama Nora Alexandra (istri Jerinx), mereka berdua sedang merencanakan program kehamilan.

Sudah sejak awal Jerinx melawan. Hal inilah yang setidaknya perlu dilihat oleh sebagian kalangan yang membenci Jerinx. Toh sejatinya Jerinx pada salah satu lirik lagu yang ditulisnya dalam judul Kuat Kita Bersinar sudah mengatakan bahwa, “Harus percaya tak ada yang sempurna.”  Perjuangan di dalam membela rakyat kecil perlu kita teruskan. Jerinx kini sedang menunggu panggilan kepolisian dengan kasus barunya yang dianggap telah mengancam seorang pegiat media sosial. Menepilah dulu, bli. Semoga keluargamu bahagia dan sejahtera. Segera punya momongan dan cepat besar menjadi ‘singa’ seperti Bapaknya.

Wong Bodo Sing Duwe Karep

Daendels dalam tampak jalan memukulku sebagai angin. Menjajah malam dalam bayang tentara perang. Malam purnama.

Aku bertamu pada Martodikromo.

Martodikromo, bicaranya selalu berbobot. Sebelum memulai pembicaraan, beliau dengarkan cerita kawanku, Bahduki, perihal tesisnya yang berbicara mengenai otentisitas tafsir isyari. Penafsiran terhadap suatu ayat yang lahir dari isyarat-isyarat tertentu yang ditangkap oleh mufasir. Seringkali mengabaikan makna dzahirnya.

Martodikromo kemudian bercerita mengenai ayat 26-27 Surah Ali Imran sebagai ayat perlawanan terhadap tiran. Hasil perenungan dan pergolakan batinnya. Ayat yang dibaca Martodikromo adalah ayat revolusi! Namun, kepasrahan Martodikromo adalah perjuangan tak kenal lelah, bukan berdiam diri. Melawan tiran yang merampas tanah rakjatnya. “Seperti itukah bentuk penafsiran isyari?” Tanyanya tersirat. Terpantul dari realita yang dihadapi Martodikromo.

Kukatakan kepada Martodikromo, beberapa buku yang kubaca serta dosen yang selalu katakan: teks kitab suci terbatas dan tidak mungkin berubah, sementara konteks selalu dinamis menuntun masalah yang pelik dan kompleks. Lantas bagaimana cara agar teks yang terbatas berdialog dengan konteks yang tak terbatas agar tertjipta kemaslahatan bagi kemanusiaan?

Kukatakan kepada Martodikromo, sebagai tokoh yang juga seorang aktifis, Eko Prasetyo dalam Kitab Pembebasan memahami kisah Musa as. melawan Fir’aun dalam al-Qur’an layaknya aktifis yang menentang Orde Baru yang tiran. Dalam kitab-kitab tafsir atau ayat-ayat dalam kitab suci sekalipun, pasti tidak akan ditemukan pembahasan mengenai konflik agraria yang dihadapi Martodikromo secara spesifik. Jika seorang hamba mau mencari, maka aku yakin bahwa Allah tentu akan berikan pemahaman kepadanya. Maka bagiku, keyakinan Martodikromo dengan menjadikan ayat revolusi sebagai pegangan jalan perjuangannya merupakan bagian dari jawaban dari Tuhan untuk Martodikromo yang selalu sulit tidur kala malam, kerap merenung, memperkuat ibadahnya, mempelajari sejarah tanah airnya, belajar ilmu hukum, serta taat sebagai santri kepada kiainya.

Banyak yang kukagumi dari sosok Martodikromo, salah satunya ketika mahasiswa datang bertamu. Beliau selalu berdiskusi dan bertanya mengenai penelitian mahasiswa, meminta file pdf. serta membacanya dengan teliti.

Martodikromo mengakui bahwa terkadang, agar menjaga kewarasan sebagai manusia, seseorang “dipaksa” menjadi “Wong bodo sing duwe karep” (Orang bodoh yang punya keinginan). “Karep” atau “keinginan” yang dimaksud kupahami: keinginan terciptanya kemashalatan sosial, yang timbul lantaran kegelisahan seseorang terhadap kondisi sosial yang dihadapinya.

Barangkali seperti Martodikromo, bukan Kiai yang hafal dan menguasai ratusan kitab otoritatif, bukan seorang sejarawan atau pakar hukum, namun konflik agraria menggerakkannya untuk mempelajari semuanya. Barangkali seperti Jerinx, seorang musisi, bukan pakar kesehatan, namun mengambil peran “antagonis” selama wabah corona agar bangsa ini terbebas dari rasa takut berlebihan terhadap wabah yang melemahkan kekuatan bangsa, sembari melakukan aksi sosial memenuhi perut orang-orang kelaparan yang belum miliki pekerjaan lagi. Barangkali seperti Eko Prasetyo, seorang aktifis, geram dengan sebagian pemuka agama yang lebih dekat dengan ‘dakwah pesanan’ industri hiburan, menjadikan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sebagai kritik bahwa beragama adalah merubah keadaan sosial menjadi lebih baik. Seperti aku yang “bodo, ra duwe karep” (bodoh dan ngga punya keinginan), namun perlahan muncul keinginan atau “karep” dengan meneladani tokoh-tokoh di atas semakin besar.

Otoritas selalu memiliki keterbatasan.

Bab IV

Manusia diciptakan dengan sempurna. Al-Maraghi tafsirkan tidak hanya dengan bentuknya yang paling baik, namun juga karunia akal agar dapat berpikir dan menggali ilmu pengetahuan sehingga dapat mewujudkan segala inspirasinya. Menuju kemaslahatan manusia.

Eko Prasetyo dalam buku terbarunya, Tafsir Progresif Surat Al-Ashr, menjelaskan dengan menggugah mengenai keadaan manusia yang merugi. Al-Maraghi katakan manusia merugi lantaran habiskan umur untuk mencari keinginan dan pemuasannya. Ekopras bilang yang rugi ketika manusia tak lagi kritis atas situasi yang dialaminya.

Baginya, rugi manusia menjadikan hubungannya dengan manusia lain sebagaimana terhadap benda: relasi majikan-pekerja atau subjek-objek. Manusia yang merugi lantaran kehilangan keunikannya. Manusia kian seragam antara satu dengan yang lainnya. Manusia merugi karena tergelincir pada naluri hewaniah: rakus, tamak, dan sewenang-wenang. Manusia merugi sebab kemampuan manusiawinya terus menurun: tak mampu berempati terhadap sesama, tak mudah untuk membela mereka yang teraniaya, kurang berani berpihak pada yang tak berdaya.

Sebagian akademisi dalam banyak penelitiannya pada bab IV senang sekali membuat klasifikasi pemisah. Mapping yang seolah memudahkan. Membagi hitam dan putih. Sejujurnya, bukankah kehidupan tidak sesederhana itu?

Manusia makhluk unik. Dalam upaya memecahkan suatu permasalahan, aku cenderung meyakini, tidak harus diselesaikan dengan cara normatif. Dunia, rasaku yang mungkin tidak benar, membutuhkan orang-orang yang ambyar, menyelesaikan masalah di luar pakem, yang terkadang melakukan “pekerjaan kotor”, karena cara-cara normatif saja ngga cukup.

Aku tidak sedang membela seseorang. Namun mengapa harus tertipu dengan tampilan luar. Tertipu dengan tato, bahasa yang kasar dan alkohol? Orang berpendidikan sudah banyak, tetapi mengapa tidak mulai membaca fenomena dengan pertanyaan mendasar ‘apa’, ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’?

Seakan suara berbeda dari mayoritas adalah pemberontakan. Harus dibungkam dan diadili dengan umpatan.

Menurutku, Jerinx tidak benar-benar menantang WHO. Sebaliknya, membela rakyat tanah airnya. Meskipun dengan cara “kotor”. Meskipun mengumpat, Jerinx menghibur tenaga medis dan korban positif covid di Wisma Atlet Kemayoran. Menantang agar dipertemukan dengan korban positif covid tanpa APD, itu bahasa sensasinya. Maksud yang kutangkap adalah kegelisahannya menangkap raut sebagian besar rakyat yang ketakutan dengan wabah ini. Ketakutan berlebihan. Hal ini buruk. Dampak lanjutannya ekonomi lumpuh namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab dan meneguhkan solidaritas.

Jerinx menantang WHO, namun ia sibuk membagi-bagikan makanan dan sayur bersama tim nya selama hampir dua bulan (masih berlangsung) setiap harinya. Ketika dalam peristiwa bom bali hampir dua dekade silam, ia menjadi sukarelawan di rumah sakit. Demonstrasinya terbaru yang menolak rapid test dan swab, aku malah membaca narasi kemanusiaan di belakangnya, misal di mana ia bersimpati terhadap ibu hamil yang seharusnya memerlukan penanganan cepat, tetapi administrasi menghambat penanganan dengan persyaratan rapid. Ia prihatin dengan korban kecelakaan yang membutuhkan pertolongan sigap tetapi dihalangi dengan persyaratan rapid.

Karena ia sebagai musisi, maka ia membuat lagu-lagu perjuangan dan optimisme. Misal dalam lagu tarian kesepian, dalam liriknya yang indah: “…Meski lelah dan tersisih, percayalah ku akan bangkit menemukan sebuah ketulusan, menarilah rayakan sepi itu sendiri, kawan sejati akan datang aku berjanji.”

Karena mungkin ia merasa suara ‘lembut nan baik-baik’ tidak lagi didengar dan berpengaruh bagi khalayak, maka ia harus menempuh cara kotor ini.

Ah, anjir. Lebay banget tulisanku.

Bukankah ini adalah bumi manusia yang unik. Yang tidak bisa kita hakimi hitam atau putih. Dokter yang bekerja keras bilang pada masyarakat agar diam di rumah. Baik. Jerinx suarakan agar masyarakat tidak takut berlebihan terhadap wabah. Juga baik. Dokter tangani pasien di rumah sakit. Jerinx dkk aksi sosial teladankan kebaikan bagi-bagi makanan dan bahan pangan. Ah, aku tak pandai sekali membaca fenomena dan merangkai kata. Namun harapanku, tulisan tolol ini setidaknya berharap menghentikan seseorang agar berhenti mengumpat di medsos pada fenomena yang ia nilai secara tidak fair.

Lantas, mengapa kita masih percaya pada satu media yang memframing pemikiran kita, yang membuat kita bersikap tidak adil dalam pikiran dan perbuatan?