aldiantara.kata

 

Aku mulai saja dengan membuka lapisan tanah yang kuinjak sebagaimana membuka lapisan karpet. Anak-anak semut sedang bersekolah menghafalkan tabel periodik unsur kimia. Kelabang sedang memastikan berapa jumlah kaki. Aku jadi sungkan bertanya apa mereka sedang mengalami semusim pandemi? Beberapa guru-guru semut tak menjawab pertanyaanku, seekor dari mereka menjelaskan kesibukan mereka menelaah mana makanan manis yang bisa dikonsumsi dan mana yang tidak. Beberapa kelompok semut datang, mengabarkan untuk segera mengangkut teman-teman mereka yang mati terinjak. Sementara di dinding, mereka masih bersentuhan untuk memastikan apakah mereka satu koloni dengan mereka.

Rayap mendongak heran melihatku memakai kain penutup mulut. Wabah fluktuatif. Kini meningkat lagi. Di tempat ibadah, orang menahan-nahan agar tidak batuk. Orang tak boleh sakit. Tak boleh demam. Tak boleh ketahuan! Satu per satu tumbang. Disaran merebah istirahat. Pembatasan wilayah lagi. Warga desa dipaksa panik banyak warga mati mendadak. Obat-obat alternatif bermunculan. Orang-orang segera memburu sembako. Pamong praja menenangkan melalui khotbah klise. Undur-undur terbahak mendengar cerita. Si amis budi yang biasa terlihat senyum dan tawa kini banyak mengerutkan kening didera pening.

Aku kembali menutup tanah. Berpamit kepada satwa-satwa yang hidup dengan kesibukan lain. Induk ayam menggiring anak-anaknya mencari sarapan. Kusalami sang induk sambil curigai aku hendak mencuri anaknya. Aku hanya ingin mendengar cerita kesibukan dunia perayaman. Mereka sedang sibuk entah di pasar atau di kampus. Unggas ini enggan bercerita. Namun sang induk bertanya perihal Nenekku. Aku katakan bahwa aku tidak bisa mengunjungi Nenek di desa. Warga sekitar takkan berkenan menerima orang dari wilayah jauh. Namun aku masih terhubung melalui doa yang senantiasa kurayu kepada Tuhan.

Ketika aku hendak terbang dan menuju tempat lain, roh halus penunggu rumah kosong yang terbakar pada tahun 90-an menyapaku dengan sedikit arogan. Aku bertanya kepadanya apakah di dunia roh halus aku boleh batuk dengan sopan? Roh halus rumah mengabaikan pertanyaan, ia memakiku dan mengeluh bahwa manusia tak lagi takut kepadanya. Aku katakan kini manusia ketakutan akan kehilangan kepada sesuatu yang memang asalnya bukan miliknya. “Apa roh halus sudah mendapatkan vaksin?” Ia terdiam sejenak, juga tak menggubris pertanyaan. Ia malah merasukiku dan membuatku menyiksa diriku sendiri.

Namun entah darimana induk ayam tahu perihal nenek yang sedang sakit dan aku yang menderita menahan untuk tidak batuk dengan etika yang baik. Apa unggas itu bisa berbincang dengan semut yang sedang memastikan rekan koloninya, atau mendapat kabar dari siput yang dongkol lendirnya dieksploitasi untuk kecantikan kulit. Masih kuat saja menahan untuk tidak batuk?

Lebih baik aku menulis saja ketimbang harus memandangi lebih lama ubin kamar mandi yang dingin. air sumur timba di belakang segar seperti biasanya. Aku berpakaian yang terasa hangat baru selesai diseterika. Aku menulis beralaskan meja ruang tamu. Tidak menulis sebagai terapi, kondisi di sekitar seperti ini. Berita-berita duka bersahut-sahut saling membalas. Orang-orang terdekat. Rapal-rapal doa tanpa kenal waktu dan tempat. Semua terjadi tiba-tiba. Sekeluarga tumbang mengisolasi diri. Masker bekas sudah penuh hendak diganti.

Positif, negatif, positif, negatif. Simbol-simbol penentu, menanti hasil dengan gelisah. Rumah sakit tak kuasa menampung seluruh pengadu. Orang memburu penimbun tabung oksigen, serta alat-alat medis. Unit gawat darurat bejibun bak barak pengungsian. “Tidak ada kamar kosong, tidak ada kamar kosong.” Sebagian malah menyogok untuk mendapatkan ruangan beristirahat. Nenek menunggu mendapatkan ruangan lantaran sakit. Nenek berbisik, “Jangan zalim pada rakyat kecil, jangan zalim pada rakyat kecil.”