Perasaan kaum muslim bercampur aduk. Kebahagiaan memasuki bulan Syawal tidak bisa disembunyikan meski baru berpisah dengan tamu agung Ramadhan. Tidak ada aksi kerusuhan seperti tahun kemarin. Tetapi Corona seakan merenggut kebahagiaan manusia. Memaksanya menampung rindu. Berjarak dengan keluarga dan kekasihnya. Membuat manusia pandai berkata-kata. Berpuisi. Mencipta ruang imaji angan abstrak kehidupan. Takbir menggema. Asma mu kuulang di bawah-Nya dalam dendam dan penat kesendirianku.

Djiwa manusia terbelenggu dendam, bernoda khilaf. Idul fitri mengusap wajahku dan menengok kedalaman jiwaku sekali lagi, yang buruk. Manusia terlalu bahagia dengan kedatangan Syawal hingga tak bersungguh-sungguh menyapa manusia, sekali lagi. Kini aku hidup di zaman citra dan media. Manusia mengucapkan selamat hari raya idul fitri dalam status media sosialnya, hingga lupa banyak pesan pribadi orang lain yang belum dijawabnya. Manusia lain ucapkan selamat idul fitri dengan mutiara kata indah. Hingga lupa menyertakan hatinya dalam bercakap dan silaturahmi. Ucapan yang kering, seremonial. Ah, manusia itu ternyata adalah aku. Dengan kedalaman hati yang buruk, dengan wajah tebal samudera hati keburukan.

Memahami manusia serumit jalan kehidupan yang kusut dan sulit ditebak. Gigi sensitif sudah ada obatnya, namun hati yang sensitif tidak mudah ‘tuk temukan penawarnya. Dosaku tak terhitung, seumpama bangunan yang tumbuh mekar tak terkendali di perdesaan memakan lahan pertanian. Namun tiada menghalangiku berusaha menumbuhkan mawar dalam lubuk hatimu. Kusebut namamu dengan canda dan kehangatan sebelumku memohon maaf. Berpesan kepadamu sesederhana sapaan dan memastikan keadaannya baik. Kau sapa aku, sebut namaku, membuatku hidup dan dihargai.

Beri tauku jalan menuju pintu maafmu, menyapamu sekali lagi. Meski salahku membekas dalam ingatanmu. Aku hanya selalu mengingat-ingat kebaikanmu. Selamat Idul Fitri. Jangan lupa untuk memperhatikan tetangga kita.