Tag: Hujan

Hujan yang Datang Tepat Waktu

Apakah masih sama tafsirannya, tentang kereta api, sepeda yang terparkir menjadi pagar, pematang di belakangnya, di antara waktu yang memburu. Di antara candi-candi yang tak pernah sepi dari peziarah.

Bagaimana tentang hujan, yang tiba waktu petang, apakah rintiknya, pernah, singgah, menjadi rintikmu, yang kini jadi rintikku, menakali tubuh kita, juga membasahi kata-kata di dalamnya, yang tak sempat terucap.

Bukankah kelabu langit, ialah sama abu nya dengan pertanyaan “kapan temu itu?” yang tidak ada pada deretan angka almanak pada dinding dingin itu. Barangkali engkau sudah pandai berkilah, bahwa akhir-akhir ini, rintik-rintik yang selalu kusebut-sebut, di mana ia selalu membawa kawannya yang berisik bernama angin, tidak pernah datang terlambat, selepas sembahyang Asar.

Apakah masih sama tafsirannya, tentang rasa sepi, sebuah temu yang selalu mencari ujung temali, batas akhir, meminta kita untuk pulang.

Bagaimana tentang rindu, yang tiba sebagai temaram, apakah masih aku dalam bayang setengah gelapmu itu, dalam dekap, yang tak perlu kata-kata di dalamnya, yang hendak diucap.

Bukankah parau suaramu, yang susah untuk menjelaskan itu, adalah keindahan, ketimbang engkau mudah menitip lewat sebuah lagu.

Akhir Pekan, Tidak Ada Rencana Kita Bertemu?

aldiantara.kata

Akhir pekan. Tidak ada rencana kita bertemu?

Berada pagi, hujan tiba-tiba menjadi deras. Pikiran yang berbuah tanya, tentang waktu kapan akan mereda. Pertanda rencana yang harus mengada. Saatnya kembali beristirahat? Maaf jika ini mengingatkan, ada draft yang tertinggal? Rencana-rencana yang belum menemukan jalan? Jangan terburu menamui sesal. Ia sedang bersantai pada beranda. Hanya ia yang butuh istirahat. Manusia selalu mention-mention akun “sesal” yang sedang tenar. “Syukur” menganggur. Ia hanya dilirik dan menjadi status media sosial, diketikkan dengan pikiran cemas.

Degup debar dada. Kapan tenang menjadi payung pada hujan pagi. Tempat teduh bagi segala resah. Adakah manusia yang terbangun pada pagi lalu terbebas dari rencana? Ingatan dan kelupaan. Lalu kita pun tersadar bahwa Ayah dan Ibu sudah memberi sinyal panggilan tak terjawab. Nenek jauh di desa yang menanyakan kapan libur panjang sekolah. Tenaga seada-ada, mengapa cinta sedemikian agung bila berkumpul pada wadah rindu.

Video call. Keluarga di rumah. Bertanya tanpa ada rencana. Berkabar sebelum semua menjadi hambar. Screenshot, lalu jangan unggah melalui media apapun. Untuk apa?

Semoga semua dalam keadaan sehat. Baik-baik keadaan yang dalam jarak yang tak dekat.

Sedang menyepi, ditemani suara hujan. Asik juga.

Akhir pekan. Yuk, lagi?

Kecemburuan Hujan

Oleh: Atropal Asparina

 

Saat itu tampias hujan sungguh tak sopan
Tiba-tiba saja menyentuh tanganmu padahal
Gaun kondangan itu cantik mutlak paripurnamu

Hujan semakin kurang ajar!
Membesar mulai membelai pipimu
Kupacu motor demi berteduh dari sikap tak senonohnya
Senyummu lewat spion entah pada siapa
Kupasang badan sebelum menepi di pinggir rumah ibadah
Jika saja salah satu tetesmu ada yang merayap menyelinap ke selain wajah dan tangannya
Doaku pada Tuhan menantimu hujan!

Akhirnya kita berteduh dalam diam
Kau lebih suka memandang hujan ternyata, sialan!
Kerongkonganku tercekat saat
tanganmu mengayun mencoba meraba tetes hujan yang tak sopan itu
Meski ada tetes hujan yang paling edan
Yakni mereka yang tak berhasil menyentuh tanganmu lantas terjun membanting aspal seperti kalah lalu memantul menuju bawah rokmu, goblok!

Emosiku reda akibat senyum yang jelas mengarah padaku
Seharusnya senyum itu diabadikan jadi warisan UNESCO
Tapi persetan
Kini hujan mulai merasakan aroma kekalahan
Awan-awan hitam tak lagi dapat menahan nur sejati
Mereka terbirit-birit hilang kekompakan
Seperti dalam hatiku awan gelap cemburu terkikis nur yang merekah terus dan terus

Ba’da senyum itulah
Bibirmu siap mengucapkan sesuatu katamu: “Makasih ya… Udah nganter. Aku selalu suka hujan kok.”
Lalu cepat kujawab: “Sama kok.”
Dalam hati… Anjing!

Hujan di Kota

Oleh: Azki Khikmatiar

Jangan lagi menghitung
rintik hujan yang jatuh di kota
Sebab setiap tetesnya selalu
saja menyisakan luka
Biarkanlah hujan menderu di luar sana
Menghantam dinding dan jendela kaca
Kita harus mulai mengadu dadu berangka
Hingga dada kita menjadi sesak seketika

Pada akhirnya kita harus tahu
Hujan di kota akan membawa kita pada
segenap luka yang semakin membiru
Keyakinan bahwa kita tak saling melukai
hanyalah kedustaan yang akan
terus memburu

Krapyak, 21 Februari 2020

Topeng Avengers

Sumber Gambar: Pixabay

 

Menanti hujan. Dua hari ini yang turun malu-malu. Gerimis. Lalu hilang tiada lagi. Merintik. Merindu. Menitip bekas setitik, cepat mengering berlalu. Disapu kendaraan.

Seperti bercermin pada genangan yang tak berair. Pada fase kehidupan ini. Entah mengapa semesta mempertemukan aku dengan beberapa manusia. Kuamat-amati, aku menilai seseorang di hadapanku ini seperti diriku. Ia sering tersenyum, menyimpan banyak luka.

Keesokan harinya bertemu dengan manusia lain, kuamat-amati, seperti diriku. Tak memiliki banyak teman dan berpura-pura bahagia. Tertawa keras ketika berkumpul, banyak merenung di ujung imajinasinya yang jauh dari keramaian.

Aku tak berusaha mengumpulkan orang-orang yang mirip sepertiku. Aku hanya berlalu. Menanti hujan yang turun malu-malu.

Sudah pagi.

Membuka pintu menghirup udara segar, lima kucing sudah melingkar entah sedang apa. Tiga beraut resah saling memberi isyarat pertarungan berebut wilayah, sementara dua hanya penonton berfose manis. Eh ngga tau ding. Mungkin perebutan selangkangan.

Sesekali seorang kucing melirikku sebagai seekor manusia. Malu-malu lakukan adegan.

Aku menghadap laptop lagi. Ingin kutulis bahwa rahasia hidup kadang harus tetap di dalam kotaknya. Tidak perlu diumbar, meski sudah berpola, biar manjing (manjur). Tapi aku malah hendak mengutarakannya. Seperti pesan Martodikromo, “Kalau mau buat acara, kalo semua mengiyakan, biasanya ngga akan jadi, tapi kalo ada pro-kontra justru acaranya biasanya bakal jadi. Itu ilmu hidup, Mas.”

Atau contoh lain seperti yang pernah kudengar pada sebuah podcast, usia seseorang semakin bertambah, lingkaran pertemanannya semakin sempit.

Kemarin lusa. Pada suatu malam. di pertigaan UNY, aku melihat seorang anak kecil bertopeng avengers Captain America, memeluk tiang listrik pinggir jalan. Entah mengapa itu yang terekam memori pikiranku. Seperti mengkritik keadaan saat ini. Menyuarakan keadilan kini tak memiliki kekuatan apa-apa. Bising. Akhirnya bisu. Semua sama-sama tahu. Sama-sama diam. Dunia memang benar-benar membutuhkan sosok pahlawan super. Lantaran tak tahu lagi bagaimana cara menjalani hidup normal, tak bisa lagi memecahkan permasalahan dengan cara yang normatif.

Di pertigaan UIN semalam, sebagian warga memprotes aksi mahasiswa yang sedang berunjuk rasa menolak Omnibus Law. Ah sial. Kenapa yang diberitakan di media itu harus berdiksi “Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga”. Kenapa tidak Simpang Tiga Museum Affandi. Atau Simpang Tiga CFC. Atau Simpang Tiga Wanitatama. Haruskah nama kampus yang tercoreng, suara mahasiswa makin tiada didengar lagi. Suara mahasiswa kini harus berhadapan tidak hanya horizontal dengan pemerintah, tapi juga dengan warga masyarakat.

Kini memang sedang ramai-ramainya sih. Orang membaca buku, mencari quote, untuk bahan promosi buku, menjualnya. Lalu mendapat omset besar, banyak follower medsos lantaran tajir, lalu suaranya “layak didengarkan”. Tidak semua memang. Namun, suatu kali berpikir bahwa membaca buku itu seperti aib, mungkin ide yang bagus. Agar membaca itu tak perlu diumbar-umbar di medsos. Biar manjing isi bacaannya. Mengkristal menjadi tingkah laku progresif. Heuheuheu.

Perempuan dengan rambut sepinggang, hitam kecokelatan, sedang sarapan. Setelah ia menikah nanti mungkin rambutnya akan dipotong hingga seleher. Ah, senyumannya kupikir mampu hentikan perang.

Limurta dah pulang. Kukira dia akan tidur lebih lama setelah menyaksikan kekalahan Barcelona di Liga Champion. Entahlah aku menyukai ketika menulis ditemani orang yang tidur. Semalam sudah ngopi dengan Ombo, Bahduki dan Limurta. Sepulangnya. Lupa foto momen. Entahlah. Yang tak sempat didokumentasikan justru kadang lebih menyenangkan.

Sama seperti berkenal-berbincang dengan seorang gadis di kereta. Berbicang. Hingga lupa meminta nomer Whatsapp.

Atau saling berbalas pandang dengan seorang asing di tempat makan, lalu saling melupakan.

Puisi Hujan #6

Kekasih. Bila keesokan pagi kau temukan air yang tergenang di depan rumahmu sisa semalam, barangkali airnya mengandung pesan puisi yang mengetuk pintu hatimu. Bila malam ini kau sulit tidur, dengarlah rintik-rintiknya, meski diksi-diksi ini tak seagung air dari langit. Tak se-syahdu malam yang menyatukan para pecinta di bawah derasnya. Setidaknya perasaan cinta dan rindu mampu meredam luka korban PHK. Meski hujan turun sesaat, manusia bisa bertahan hidup dengan harapan dan cintanya yang agung. Hujan memberi kesempatan kepada manusia agar memperhatikan relung hatinya.

Teh panas yang menjadi dingin. Apa kamu masih banyak diam seperti biasanya. Sesudah dewasa, banyak orang ragu bagaimana bisa berjalan di bawah hujan tanpa sebuah kain menutupi kepala. Hanya saat itu perhatian manusia tertuju kepada cara berlari kekasihnya. Mengabaikan semestanya. Kau tak banyak bicara, hanya isyarat lenguh nafas mencari tempat peneduhan.

Aku tak hiraukan canda tawa manusia di kedai kopi. Kaulah engkau akuku. Berpeluklah tanpa diantarakata. Puisi hujan belumlah selesai.

Brankas Rasa

Meski kita buntu kala bernegosiasi soal hubungan. Namun aku senang kita bisa saling bertukar rekomendasi lagu. Kau bilang secara normatif, lagu yang bagus tergantung pada lirik lagu dan MV nya. Dan kau katakan: harus orang Korea! Sementara yang lain lebih menggandrungi musik indie.

Ajaib bukan, suatu lagu mampu menyimpan kenangan seseorang, yang di dalamnya terdapat brankas pribadi yang abstrak, di mana bisa kita titip perasaan di dalamnya. Lalu menjemputnya kapan pun kita mau.

Kalau pun aku bisa memilih cara menikmatinya, aku lebih memilih membuka brankas rasa itu berdua dalam mobil sedan tua malam hari. Suasana hujan dan lagu favorit kita putar. Suasana dingin. Kita yang terdiam. Tersisa hanya alunan lagu lama dan suara wiper mobil mengusap rintik pada kacanya yang mengembun, lalu menggoda kita agar saling tenggelam pada cara bercinta yang ghaib. Lalu terdengar suara kereta menembus hujan melewati batas waktu.

Ah sudah dulu, aku mau pipis.

Tenda Hujan

Biasanya aku memulai pembicaraan dengan: “Apakah di sini sudah lama hujan tak bertamu?” dengan seseorang. Akan tetapi pertanyaan tersebut kujawab sendiri. Hujan membutuhkan waktu berenung. Tumbuh-tanaman sudah hilang berganti, dirinya tak bisa menyirami semen dan gedung pencakar langit lagi.

Kala hujan turun, tanaman mendongakkan kepalanya ke atas. Menghadap langit, menunggu pesta minuman langit.

Kala musim hujan, setiap manusia membuat tenda ketjil di depan rumah-rumah mereka. Agar para musafir bisa berteduh dan mengunyah goreng pisang panas dan sebuah jeruk, serta segelas teh manis panas. Tidak perlu lagi repot-repot berlarian ke depan toko yang tutup, atau apotik yang menjual obat-obat yang mahal.

Tetapi aku sadar, tidak semua musafir yang berteduh akan menikmati hidangan tersebut di bawah tenda hujan. Sebagian meminta plastik untuk dibungkus, karena kenikmatan itu harus dibagi kepada istri dan anaknya yang juga lapar di rumah kontrakan ketjil, namun mereka sedang dinyanyikan sebuah senandung rintik hujan.

Keteraturan semesta layaknya pertunjukan sirkus, nyaris tanpa kesalahan. Hidup adanya bukanlah sirkus. Namun penuh sandiwara.

Rintik hujan yang turun seperti sirkus keteraturannya. Nyatanya hujan turun dengan kadar rintik yang beragam.

Seorang perempuan paruh baya memanggul sampah. Malam manakala Malioboro menyisakan jejak-jejak manusia yang t’lah berlalu, dipilihnya sebagai rezeki. Sementara makanan sisa setiap rumah sudah basi dan terbuang. Serakah merasa akan habis dimakan sendiri.

Office boy terlihat gontai masuk angin. Diupah dengan rendah. Sementara di seberang jalan sepasang kekasih bertengkar akan keinginan yang belum terpenuhi.

Kekasih. Kalau kita marahan karena sulit menembus birokrasi, bersyukurlah keadaan kita sebagai manusia biasa yang mampu bertahan memenuhi pangan pokok kita.

Lalu bercita-citalah mampu memberi makan orang banyak. Agar tercipta kemiskinan standar: orang miskin yang makan cukup, memiliki rumah, cukup makan buah, dan senang membantu orang.

Beragama secara sederhana, karena beragama dengan ‘pelik’ kini hanya akan menciptakan brand bisnis, bukan kesalehan yang lalu melahirkan kebajikan dan kepekaan sosial.

Cukup kita tunjuk orang kaya itu yang tak punya nurani. Hidup penuh dengan rasa takut jatuh miskin dan kalah pamor.

Mobil dan rumah mewahnya terdapat hak orang miskin yang semestinya kita rebut paksa!

Puisi Hujan #1

Hujan rintik bak doa.
Tuhan-kah pengabul doa penindas?
Mengabul kaya orang yang kaya?
Rintik hujan malam ini sebanyak rupiah yang tertahan untuk korban PHK.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Air Kau tumbuhkan pohonan.
Namun, Si rakus menebang dan membakarnya!

Orang-orang proyek menghabiskan anggarannya di Malioboro
Kereta eksekutif melaju menembus hujan.
Uang itu subsidi kaum papa.
Sanak famili menerimanya sebagai kasih sayang Tuhan.
Oleh-oleh sebentuk kedermawanan
Pegawai Honorer tidak mampu membeli susu. Istrinya sedang hamil.
Tuhan, Engkau jawab dengan air.

Adakah Engkau dalam setiap rintiknya?
Kaum papa yang sudah kenyang dengan lafadz ‘kelak’ dan ‘nanti’ balasannya.
Sabar adalah lauk pauk sehari-hari.
Buah-buah t’lah punah bagi kaum papa kecuali tiga.
Mangga di tempat sampah.
Pisang yang sudah terlalu masak.
Kurma pada bulan Ramadhan.

Tuhan, Engkau jawab dengan air.
Hujan membuatku lapar.
Yang kenyang sedang berada di kereta malam itu.*

Jumat, 1 November 2019