aldiantara.kata
Selalu pada tanggal belasan Desember, aku selalu teringat-ingat repetisi bacaan dahulu. Tanggal 17 Desember 1942 lahirnya Soe Hok-Gie, sementara 16 Desember 1969 Hok-Gie meninggal.
Bacaan buku Mereka yang Mati Muda, membicarakan biografi singkat mengenai tokoh-tokoh Indonesia inspiratif yang meninggal pada usia muda. Diantaranya ada Chairil Anwar, Ahmad Wahib, Hok-Gie, Jenderal Sudirman, dan lain-lain.
Hok-Gie, yang sederhana kupahami sebagai aktivis mahasiswa yang idealis, menginginkan perubahan di negerinya, memiliki cinta dan kepedulian yang teramat besar kepada manusia yang lain, penyuka sastra dan film, hingga naik gunung.
Tentang Hok-Gie pertama kali dikenalkan oleh Kakakku, yang memberi pinjam buku Mereka yang Mati Muda. Juga buku ekslusif tentang Hok-Gie secara khusus, Soe Hok-Gie: Sekali Lagi. Hingga Kakakku mengajakku di kamarnya yang (ketika itu) penuh nyamuk untuk menonton Film Gie. Melihat bagaimana idealisme kemanusiaan, sikap protes terhadap keadaan yang menurutnya tak sesuai dengan hati nurani, pecinta sastra dan film, anak muda yang hobi untuk naik gunung, hingga Hok-Gie yang sama seperti kebanyakan anak muda lain, yang juga menonton film blue.
Membicarakan Hok-Gie, seperti mendengarkan lagi lagu-lagu seperti Donna Donna – Joan Baez, Nurlela, Badai Selatan, hingga genjer-genjer yang dianggap identik dengan PKI. Kesemuanya menjadi OST. Dalam film Gie.
Pembawaan aktris Sita Nursanti dalam menyanyikan lagu donna donna dalam film Gie begitu memikat. Tak terlupakan. Kakakku yang bahkan meminjamiku mp3 sekitar tahun 2008 atau 2009 untuk dengarkan lagu Joan Baez ini.
Suasana yang kuingat, berada di ruang beranda rumah, suasana kelabu, hujan turun dengan deras. Mendengarkan lagu ini berulang-ulang tanpa jemu.
Dalam salah satu buku, aku melihat kakakku menuliskan namanya yang disandingan dengan Hok-Gie. Kakakku menulis, “Arra-gie”. Aku bahkan mengenal kakakku yang juga tumbuh dengan idealisme yang serupa, namun juga kepedulian yang tinggi kepada yang papa.
Melalui buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi, kecintaan Hok-Gie pada alam sangat besar. Hok-Gie mendaki Gunung tertinggi Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Pulau Jawa. Dalam buku itu diceritakan bagaimana perjalanan menuju Gunung Semeru hingga menceritakan Hok-Gie dan Idhan Lubis meninggal setelah menghirup gas beracun di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Hal tersebut yang membawa keinginanku untuk dapat mendaki suatu puncak gunung. Akhirnya terealisasi dimulai dari kelas tiga menengah atas hingga duduk di bangku perkuliahan kini, tentu jauh sebelum viral film 5 cm.
Ketika duduk di sekolah menengah pertama, ada cerita menarik. Teman-teman angkatan yang hendak menawarkan untuk membuat kaos tim futsal, aku memilih nomer punggung 16 dan nama Soe Hok-Gie. Akhir-akhir ini beberapa kali aku tertawa sendiri mengingatnya.
Angka enam belas yang kupilih secara tak sengaja tepat menunjuk tanggal wafat Hok-Gie, dan nama Soe Hok-Gie sendiri aku bawa dan kenakan di sekolah Islam. Padahal Hok-Gie bukan seorang pemain futsal (mungkin ia gemar bermain bola), dan terlebih Hok-Gie beragama Katolik. Bila ditafsir-jauh, apa ini bentuk toleransi yang tlah kupupuk sejak dini? HAHAHA. Toh waktu itu belum populer istilah kafir-mengkafirkan di telingaku.
Dalam menyusun tulisan ini, aku kembali menyaksikan talkshow dari Najwa, Kick-Andy, atau film dokumenter soal Soe Hok-Gie di kanal YouTube. Tidak sedikit orang-orang yang mendapatkan inspirasi dari sosok Hok-Gie, hingga aku sampai pada suatu titik, “Gie tidak (benar-benar) mati, kehidupannya adalah inspirasi. Gie hidup dalam hati dan pikiran pengagumnya.”
Aku kini sedang membaca kembali buku diari Hok-Gie yang terkenal, Catatan Seorang Demonstran (CSD). Daniel Dakhidae bahkan memberi pengertian bahwa diari adalah “potret dengan sinar rontgen dan penjelmaan diri paling dalam dari seseorang.”
Harsja W. Bachtiar dalam CSD mengenang Hok-Gie sebagai “seorang cendekiawan yang ulung yang terpikat pada ide, pemikiran dan yang terus menerus menggunakan akal pikirannya untuk mengembangkan dan menyajikan ide-ide yang menarik perhatiannya.” Hok Gie juga merupakan “seorang pemuda yang penuh cita-cita dan terus menerus berjuang agar kenyataan-kenyataan yang diwujudkan oleh masyarakat kita dapat diubah sehingga lebih sesuai dengan cita-citanya yang didasarkan atas kesadaran yang besar akan hakikat kemanusiaan.”
“Kecaman yang dilontarkan oleh Soe Hok-Gie dilancarkan atas pemikiran yang jujur, atas dasar itikad baik. Ia tidak selalu benar, tapi ia selalu jujur. Ia pun tidak melancarkan kritikan-kritikan dan kecaman-kecamannya tanpa merasa prihatin.”
Percakapan dengan kakaknya, Arief Budiman, diabadikan pula salah satu percakapannya dengan Hok-Gie yang aku kutip dari CSD, kata Hok-Gie,
“Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan. Jadi apa sebenarnya yang saya lakukan? Saya ingin menolong rakyat kecil yang tertindas, tapi kalau keadaan tidak berubah, apa gunanya kritik-kritik saya? Apa ini bukan semacam onani yang konyol? Kadang-kadang saya merasa sungguh-sungguh kesepian.”
Arief Budiman juga menuturkan, “Saya tahu di mana Soe Hok-Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di Jalan Kebon Jeruk, di Kamar Belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya.”
Buku CSD menemukan banyak pengagum, salah satunya Mira Lesmana, sutradara, yang memunculkan tokoh Rangga pada film Ada Apa Dengan Cinta sebagai manifestasi dari Gie, yang ia bayangkan sebagai sosok yang dingin dan angkuh serta gemar membaca.
Meskipun beberapa tahun berikutnya sebelum menggarap film Gie, Mira Lesmana sempat untuk melakukan riset dengan bertanya kepada kerabat-kerabat dekat Hok-Gie, bahwa Hok-Gie “bukanlah sosok yang pendiam, dingin, pemikir dan angkuh. Melainkan sosok yang riang, tidak bisa diam, lincah, penyayang, senang berdebat, supel, dan ramah. Namun, hampir semua sepakat, Gie adalah sosok yang sederhana, berani, jujur, dan tidak mau berkompromi dengan kekuasaan. Apalagi bila kekuasaan itu menihilkan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.”
Tahun 16 Hok-Gie sudah membaca Romeo and Juliet. Pada tahun yang sama juga ia sudah mulai suka filsafat. Gila! “Sekarang sastra bagiku tak ada apa-apa. Biasa saja. Aku mulai suka akan filsafat.” Dalam CSD, Jum’at, 14 Februari 1958.
Pada usia 16 pula Hok-Gie sudah bisa merangkai kata, “Cinta murni lebih baik masuk ke keranjang sampah. Tak ada. Sesuatu yang dihayal-hayalkan.”
“Harus diakui oleh semua orang bahwa membicarakan mengenai perempuan adalah obrolan (kosong) yang terenak….Bagi Perempuan apakah yang paling aktuil sebagai bahan pembicaraan?”
“Semalam datang anjing hitam di rumah kami. Dan anjing itu harus mati ke akhirat yang lebih baik, dari dunia yang kotor ini.”
Membaca keluguanmu ketika masa remaja, “Aku nulis karena iseng-iseng. Hari Sabtu mulai Puasa. Si Sungkar sebagai Islam Ortodox Puasa sedangkan si Sahib puasa tapi ada pause. Kalau pause boleh makan rambutan.”
Kau juga bicara soal perempuan, Gie, katamu, “Dasar perempuan. Perempuan akan selalu di bawah tingkat laki-laki, kalau begitu, yang diurusin baju dan kecantikan. Akhirnya ditendang ke lubang dapur.”
Membaca buku harianmu yang sering debat dengan Pak Effendi di sekolah. Rasanya iri mengetahuimu yang sejak usia 16 sudah mengenal sastrawan India, R. Tagore, atau N. St. Iskandar, Leo Tolstoy, Amir Hamzah, dan lain-lain.
Melalui buku harian itu aku memahami dinamika pikiranmu, Gie. Sekitar usia 18 tahun, bahkan mengenai ada atau tidaknya cinta suci itu, Gie katakan, “Bagiku cinta bukan perkawinan. Kurang lebih 1-2 tahun yang lalu aku yakin bahwa cinta = nafsu. Tapi aku sangsi akan kebenaran itu. Aku kira ada yang disebut cinta suci. Tapi itu akan cemar bila kawin…Aku kira aku pun akan bersikap seperti itu. kalau aku jatuh cinta aku tak mengawininya.”
Maaf, Gie. Aku picik. Mencari kata-katamu yang bagus untuk kupamerkan. Masih sangat banyak lagi tentu, tapi tak mungkin kutuangkan melalui satu tulisan ini saja.
Dalam buku dokumenter yang disusun Tempo, di dalamnya dalam sebuah fragmennya menceritakan bagaimana Hok-Gie menginisiasi penyebaran pamflet dan poster berisi Tritura agar bisa sampai di Jawa, kala itu belum ada FB dan medsos lain. Namun Hok-Gie menemukan solusi, penyebaran lewat gerbong kereta!
Unjuk rasa Gie—sebagai sosok dibalik layar—dan mahasiswa Sastra dan Psikologi selalu menarik. Hok-Gie salah satu di antara perancang aksinya. Herman Lantang katakan, “Demo anak Sastra selalu menarik perhatian karena pesertanya sebagian besar perempuan. Gaya mereka beda.”
Ide lain Hok-Gie dalam berunjuk rasa seperti mahasiswi meletakkan bunga di pucuk senapan tentara seraya berkata, “Bapak-bapak juga punya anak dan istri , bukan?” yang membuat para tentara kemudian terdiam dan hatinya lumer atau Gie mengusulkan mahasiswa UI membuat tanda pengenal sebagai antisipasi jika terjadi chaos, dengan satu celana dilipat yang menandakan itu aksi mahasiswa UI, selain memakai jaket almamater kuning.” Atau Gie mengusulkan pengempisan ban-ban mobil anggota Kabinet Dwikora agar tak bisa bergerak.
Atau cara unjuk rasa menarik lain, ketika suasana memanas karena sebagian mahasiswa tidur di jalanan menghadang panser, para mahasiswa duduk di jalanan, mahasiswa yang beragama Islam melakukan salat di tengah jalan.
Sepertinya hatiku akan berdebar-debar bila hidup pada masa itu, sekaligus bangga lantaran mahasiswa selalu punya cara kreatif dalam menyuarakan aspirasi.
Ah, Gie. Kini berbeda. Mahasiswa berdemonstrasi sebagiannya kulihat hanya simbolis mengospek juniornya untuk berani turun ke jalan. “Menguji”. Suatu niat konyol yang merendahkan nilai berunjuk rasa. Berunjuk rasa bukankah tidak semain-main itu kan, Gie? Hanya bermodal suara dan nyali. Di samping itu, meskipun idealis, pergerakan masih terkotak-kotak. Tidak salah kini unjuk rasa sebagian mahasiswa malah meresahkan masyarakat. “Mengganggu”, kata sebagian masyarakat. Terdengar menyakitkan. Kini negeri ini butuh sosok penggerak massa kreatif sepertimu.
Aku ingin bertanya Gie, sepulang kamu berdemonstrasi, apa kamu merasa bahagia? Atau kembali merasa kesepian?
Sudah akhir tahun, Gie. Ketika tulisan ini ditulis. Hujan di luar masih begitu awet, di sela angin.
Apa pada akhir tahun kamu juga merayakan natal, Gie? Orang-orang di sini sibuk merencanakan tahun baru.
Gie, bukankah di negeri kita tinggal orang-orang belum bisa berdamai dengan perbedaan? Seorang yang mengaku moderat, namun pada saat yang sama juga mengebiri sebagian hak yang lain, merasa waswas. Merasa terancam dengan kelompok yang berbeda hingga akhirnya tebang pilih. Kita belum benar-benar merayakan perbedaan, bukan? Menonton televisi dengan program siraman rohani agama lain saja sudah berdebar dan merasa berdosa, buru-buru lalu mengalihkan program.
Selamat hari natal dan ulang tahun, Gie. Panjang umur, untuk hal-hal yang baik. Dirimu dikenang, bertambah usia “kehidupan”mu. Tulisan ini bukan apa-apa, semoga berkesempatan juga untuk membaca catatan-catatanmu dan karyamu yang lain!