Tag: Eko Prasetyo

Celah

Memang nasibnya kaum mustadh’afin. Kaum yang dilemahkan oleh keadaan. Melihat perkembangan jagat dunia maya, nyaris pesimis manusia mencari celah untuk tunjukkan eksistensinya. Apa yang belum ada? Hal baru apa yang bisa dilakukan? Merintis sesuatu saat ini seperti halnya meramal kebangkrutan sendiri, bersamaan.

Bersamaan pula, manusia dipaksa untuk tetap bertahan hidup. Meneruskan jalan hidup yang sudah dimulainya.

Terkadang berpikir, aku kini sudah terlalu “tua”, haruskah memulai jalan dari awal untuk kembali belajar?

Sudah. Sudah. Tugasku barangkali memikirkan sesuatu yang utopis. Yang kupikirkan saat ini mungkin dianggap sebagai hal konyol: agar corona segera berpamitan, internet harus dinonaktifkan. Biar saja tidak tahu informasi soal corona. Biar masing-masing dinas kesehatan setempat yang lakukan sosialisasi langsung turun ke masyarakat. Sekalian tidak hanya sosialisasi, melainkan agar dapat melihat langsung bagaimana manusia-manusia hidup dalam ketidak-berdayaan.

Bila melihat manusia yang hidup dalam ketidak-berdayaan, bidang keilmuan mana yang harus bertanggung jawab? Ekonomi kah? Sosial kah? Agama kah? Kumerenung manusia kini hidup dalam sekat-sekat yang terbatas. Namun juga tidak bisa hidup menguasai banyak hal sekaligus dengan keterbatasannya.

Pada sebuah seminar pada tahun 2019, Eko Prasetyo bilang, “Andai Soekarno menuruti bidang keilmuannya, mungkin dulu beliau sudah menjadi mandor. Andai Hatta menuruti bidang keilmuannya, beliau mungkin sudah menjadi pegawai bank. Andai keduanya menuruti bidang keilmuannya saja, Indonesia mungkin belum merdeka.”

Yang kupikirkan saat ini pula, apa yang kubaca dari tulisan Buya Syafi’i Ma’arif dalam buku Menerobos Kemelut. Dalam salah satu bagian beliau menerangkan bahwa dalam kondisi segenting apapun, tidak boleh memelihara kepesimisan. Sebab dalam al-Qur’an menyiratkan pesan keoptimisan dengan terus beramal. Lalu Buya katakan, andai dalam al-Qur’an terdapat suatu ayat yang membolehkan manusia untuk menyerah, maka dirinya terlebih dahulu yang mengamalkannya. Barangkali pesan keoptimisan pasti selalu ada dalam semua kitab suci.

Yang kupikirkan saat ini, anak TK melihat gunung dan hutan melalui internet. Sebagiannya tiada lagi yang menggambar pemandangan dua gunung kembar, matahari di tengah-tengahnya, jalan lurus menuju gunung, di pinggir jalannya banyak pepohonan, dihimpit sawah yang padinya digambar seperti huruf V. Sementara petaninya tidak ada di sawah. Anak-anak TK kini sebagian hanya pandai menggambar rumah atau bangunan besar. Sementara mereka berlibur semester tidak lagi berekreasi dengan tema pemandangan alam atau kebun binatang, melainkan mengunjungi sebuah bangunan asing, mereka tidak memasukinya, begitu pula guru-gurunya, mereka semua hanya berdiri memandangi bangunan asing tersebut dengan jarak dua puluh meter. Semuanya terdiam memandanginya selama dua jam, lalu pergi kembali pulang.

Wong Bodo Sing Duwe Karep

Daendels dalam tampak jalan memukulku sebagai angin. Menjajah malam dalam bayang tentara perang. Malam purnama.

Aku bertamu pada Martodikromo.

Martodikromo, bicaranya selalu berbobot. Sebelum memulai pembicaraan, beliau dengarkan cerita kawanku, Bahduki, perihal tesisnya yang berbicara mengenai otentisitas tafsir isyari. Penafsiran terhadap suatu ayat yang lahir dari isyarat-isyarat tertentu yang ditangkap oleh mufasir. Seringkali mengabaikan makna dzahirnya.

Martodikromo kemudian bercerita mengenai ayat 26-27 Surah Ali Imran sebagai ayat perlawanan terhadap tiran. Hasil perenungan dan pergolakan batinnya. Ayat yang dibaca Martodikromo adalah ayat revolusi! Namun, kepasrahan Martodikromo adalah perjuangan tak kenal lelah, bukan berdiam diri. Melawan tiran yang merampas tanah rakjatnya. “Seperti itukah bentuk penafsiran isyari?” Tanyanya tersirat. Terpantul dari realita yang dihadapi Martodikromo.

Kukatakan kepada Martodikromo, beberapa buku yang kubaca serta dosen yang selalu katakan: teks kitab suci terbatas dan tidak mungkin berubah, sementara konteks selalu dinamis menuntun masalah yang pelik dan kompleks. Lantas bagaimana cara agar teks yang terbatas berdialog dengan konteks yang tak terbatas agar tertjipta kemaslahatan bagi kemanusiaan?

Kukatakan kepada Martodikromo, sebagai tokoh yang juga seorang aktifis, Eko Prasetyo dalam Kitab Pembebasan memahami kisah Musa as. melawan Fir’aun dalam al-Qur’an layaknya aktifis yang menentang Orde Baru yang tiran. Dalam kitab-kitab tafsir atau ayat-ayat dalam kitab suci sekalipun, pasti tidak akan ditemukan pembahasan mengenai konflik agraria yang dihadapi Martodikromo secara spesifik. Jika seorang hamba mau mencari, maka aku yakin bahwa Allah tentu akan berikan pemahaman kepadanya. Maka bagiku, keyakinan Martodikromo dengan menjadikan ayat revolusi sebagai pegangan jalan perjuangannya merupakan bagian dari jawaban dari Tuhan untuk Martodikromo yang selalu sulit tidur kala malam, kerap merenung, memperkuat ibadahnya, mempelajari sejarah tanah airnya, belajar ilmu hukum, serta taat sebagai santri kepada kiainya.

Banyak yang kukagumi dari sosok Martodikromo, salah satunya ketika mahasiswa datang bertamu. Beliau selalu berdiskusi dan bertanya mengenai penelitian mahasiswa, meminta file pdf. serta membacanya dengan teliti.

Martodikromo mengakui bahwa terkadang, agar menjaga kewarasan sebagai manusia, seseorang “dipaksa” menjadi “Wong bodo sing duwe karep” (Orang bodoh yang punya keinginan). “Karep” atau “keinginan” yang dimaksud kupahami: keinginan terciptanya kemashalatan sosial, yang timbul lantaran kegelisahan seseorang terhadap kondisi sosial yang dihadapinya.

Barangkali seperti Martodikromo, bukan Kiai yang hafal dan menguasai ratusan kitab otoritatif, bukan seorang sejarawan atau pakar hukum, namun konflik agraria menggerakkannya untuk mempelajari semuanya. Barangkali seperti Jerinx, seorang musisi, bukan pakar kesehatan, namun mengambil peran “antagonis” selama wabah corona agar bangsa ini terbebas dari rasa takut berlebihan terhadap wabah yang melemahkan kekuatan bangsa, sembari melakukan aksi sosial memenuhi perut orang-orang kelaparan yang belum miliki pekerjaan lagi. Barangkali seperti Eko Prasetyo, seorang aktifis, geram dengan sebagian pemuka agama yang lebih dekat dengan ‘dakwah pesanan’ industri hiburan, menjadikan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an sebagai kritik bahwa beragama adalah merubah keadaan sosial menjadi lebih baik. Seperti aku yang “bodo, ra duwe karep” (bodoh dan ngga punya keinginan), namun perlahan muncul keinginan atau “karep” dengan meneladani tokoh-tokoh di atas semakin besar.

Otoritas selalu memiliki keterbatasan.

Bab IV

Manusia diciptakan dengan sempurna. Al-Maraghi tafsirkan tidak hanya dengan bentuknya yang paling baik, namun juga karunia akal agar dapat berpikir dan menggali ilmu pengetahuan sehingga dapat mewujudkan segala inspirasinya. Menuju kemaslahatan manusia.

Eko Prasetyo dalam buku terbarunya, Tafsir Progresif Surat Al-Ashr, menjelaskan dengan menggugah mengenai keadaan manusia yang merugi. Al-Maraghi katakan manusia merugi lantaran habiskan umur untuk mencari keinginan dan pemuasannya. Ekopras bilang yang rugi ketika manusia tak lagi kritis atas situasi yang dialaminya.

Baginya, rugi manusia menjadikan hubungannya dengan manusia lain sebagaimana terhadap benda: relasi majikan-pekerja atau subjek-objek. Manusia yang merugi lantaran kehilangan keunikannya. Manusia kian seragam antara satu dengan yang lainnya. Manusia merugi karena tergelincir pada naluri hewaniah: rakus, tamak, dan sewenang-wenang. Manusia merugi sebab kemampuan manusiawinya terus menurun: tak mampu berempati terhadap sesama, tak mudah untuk membela mereka yang teraniaya, kurang berani berpihak pada yang tak berdaya.

Sebagian akademisi dalam banyak penelitiannya pada bab IV senang sekali membuat klasifikasi pemisah. Mapping yang seolah memudahkan. Membagi hitam dan putih. Sejujurnya, bukankah kehidupan tidak sesederhana itu?

Manusia makhluk unik. Dalam upaya memecahkan suatu permasalahan, aku cenderung meyakini, tidak harus diselesaikan dengan cara normatif. Dunia, rasaku yang mungkin tidak benar, membutuhkan orang-orang yang ambyar, menyelesaikan masalah di luar pakem, yang terkadang melakukan “pekerjaan kotor”, karena cara-cara normatif saja ngga cukup.

Aku tidak sedang membela seseorang. Namun mengapa harus tertipu dengan tampilan luar. Tertipu dengan tato, bahasa yang kasar dan alkohol? Orang berpendidikan sudah banyak, tetapi mengapa tidak mulai membaca fenomena dengan pertanyaan mendasar ‘apa’, ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’?

Seakan suara berbeda dari mayoritas adalah pemberontakan. Harus dibungkam dan diadili dengan umpatan.

Menurutku, Jerinx tidak benar-benar menantang WHO. Sebaliknya, membela rakyat tanah airnya. Meskipun dengan cara “kotor”. Meskipun mengumpat, Jerinx menghibur tenaga medis dan korban positif covid di Wisma Atlet Kemayoran. Menantang agar dipertemukan dengan korban positif covid tanpa APD, itu bahasa sensasinya. Maksud yang kutangkap adalah kegelisahannya menangkap raut sebagian besar rakyat yang ketakutan dengan wabah ini. Ketakutan berlebihan. Hal ini buruk. Dampak lanjutannya ekonomi lumpuh namun tidak ada yang merasa bertanggung jawab dan meneguhkan solidaritas.

Jerinx menantang WHO, namun ia sibuk membagi-bagikan makanan dan sayur bersama tim nya selama hampir dua bulan (masih berlangsung) setiap harinya. Ketika dalam peristiwa bom bali hampir dua dekade silam, ia menjadi sukarelawan di rumah sakit. Demonstrasinya terbaru yang menolak rapid test dan swab, aku malah membaca narasi kemanusiaan di belakangnya, misal di mana ia bersimpati terhadap ibu hamil yang seharusnya memerlukan penanganan cepat, tetapi administrasi menghambat penanganan dengan persyaratan rapid. Ia prihatin dengan korban kecelakaan yang membutuhkan pertolongan sigap tetapi dihalangi dengan persyaratan rapid.

Karena ia sebagai musisi, maka ia membuat lagu-lagu perjuangan dan optimisme. Misal dalam lagu tarian kesepian, dalam liriknya yang indah: “…Meski lelah dan tersisih, percayalah ku akan bangkit menemukan sebuah ketulusan, menarilah rayakan sepi itu sendiri, kawan sejati akan datang aku berjanji.”

Karena mungkin ia merasa suara ‘lembut nan baik-baik’ tidak lagi didengar dan berpengaruh bagi khalayak, maka ia harus menempuh cara kotor ini.

Ah, anjir. Lebay banget tulisanku.

Bukankah ini adalah bumi manusia yang unik. Yang tidak bisa kita hakimi hitam atau putih. Dokter yang bekerja keras bilang pada masyarakat agar diam di rumah. Baik. Jerinx suarakan agar masyarakat tidak takut berlebihan terhadap wabah. Juga baik. Dokter tangani pasien di rumah sakit. Jerinx dkk aksi sosial teladankan kebaikan bagi-bagi makanan dan bahan pangan. Ah, aku tak pandai sekali membaca fenomena dan merangkai kata. Namun harapanku, tulisan tolol ini setidaknya berharap menghentikan seseorang agar berhenti mengumpat di medsos pada fenomena yang ia nilai secara tidak fair.

Lantas, mengapa kita masih percaya pada satu media yang memframing pemikiran kita, yang membuat kita bersikap tidak adil dalam pikiran dan perbuatan?

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

Pemikiran Progresif ‘Iqra’

Sejak kecil Eko memang telah diwarisi semangat membaca oleh ayahnya. Dimulai dari membaca koran mingguan yang dibawa oleh ayahnya, hingga majalah-majalah Islam yang mengaitkan antara iman dan gerakan sosial. Melalui Kyai Khasanuddin, Eko mulai tertarik akan diskusi. Membaca menyuguhkan kepadanya ide, gagasan dan petualangan.

Melalui pengalaman masa kecilnya, Eko seringkali menggandrungi setiap bacaan, hingga geram hendak mengubah bahasa ide menuju tindakan. Dengan demikian beliau tidak pernah menyukai buku pelajaran. Ditulis dengan dingin tanpa emosi. Sangat membosankan. Baginya, buku tidak sekedar bacaan, tetapi juga senjata. Setelah masuk kampus UII dan memimpin lembaga pers Keadilan, melalui wadah itu Eko mengasah kemampuan menulisnya sekaligus mempertemukannya dengan tokoh berikut ide dari ‘Dewa ilmu sosial’ seperti Paulo Freire, Antonio Gramsci Hingga Michel Foucault. Eko telah menemukan pasangan hidup sebenarnya: buku dan tulis menulis.

Bagi Eko, ‘Takkan pernah ada wahyu yang begitu progresif dan mendorong manusia untuk memeluk pengetahuan, kecuali perintah iqra…Maka saya memahami iqra sebagai perintah yang punya makna beraneka: meminta kita untuk tak menanggalkan kegiatan membaca, terus mendorong kita untuk membaca dalam kondisi apa saja dan jadikan bacaan sebagai ibadah utama. Melalui membaca saya benar-benar merasa punya iman.’

Buku Eko Prasetyo ini tidak saja kaya akan informasi, melainkan juga kritik sosial. Tanpa tiang pengetahuan, maka pengajian hanyalah ekspresi dogma dan doktrin. ‘Tak membuat ummat menjadi kritis dan pintar, tapi ngawur dan bodoh. Semua kreasi manusia dianggap bid’ah.’ Kebanyakan orang meyakini ajaran yang buta pada toleransi. Lebih banyak lagi orang yang percaya kalau agama tugasnya menghakimi.’

Eko juga mengkritik mengenai kondisi pendidikan sekarang. ‘Sekolah-sekolah agama dengan bayaran tinggi menjamur di mana-mana. Kerapkali metode mereka hanya hapalan dan disiplin buta. Tradisi pengetahuan yang membekali dengan kesadaran kritis dan kesangsian sirna. Anak-anak dilatih jadi pasukan penghafal yang gampang sekali diarahkan untuk membela maupun memusuhi yang berbeda. Pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan agama sebagai sentimen untuk meraup pelanggan. Bisnis agama apapun kini menghasilkan laba yang tinggi seiring dengan melonjaknya basis kelas sosial umat. Maka umat menjadi konsumen yang gila pada apapun yang berbau agama, film, kosmetik, busana hingga tempat kediaman.’

Semua hal di atas bagi Eko lantaran kita memang tak lagi mengamalkan iqra. ‘Mustinya beragama berarti merubah keadaan. Iqra merupakan jembatan kita memahami kitab suci. Diperkenalkan kita tentang potensi diri. Diberitahu tentang ancaman. Sekaligus disampaikan pada kita harapan. Melalui perantaraan Iqra kita jadi manusia yang memahami hakikat, peran dan fungsi. Itulah para utusan Tuhan yang menjadi monumen perubahan sosial. Iqra bukan kegiatan membaca saja melainkan aktivitas progresif yang menumbuhkan kesadaran paling militan.

Iqra tak lagi sebagai perintah ‘membaca’ tapi ‘mengubah, mengilhami dan menerangi’ jalan sejarahnya.’