Tag: Corona

Istirah Covid

Oleh: Azki Khikmatiar

Manusia selalu sibuk mencari kekayaan hingga lupa untuk mencari keselamatan
Sepertinya manusia baru sadar bahwa kematian adalah hal yang menakutkan
Entah apa sebab musabab virus corona ini meruntuhkan keberanian manusia
dan merubahnya menjadi ketakutan luar biasa?
Apakah bentuk kemarahan alam
atau justru karena sikap manusia yang begitu kejam?

Ambisiambisi perlahan menjelma amunisiamunisi
yang secara tidak sadar dapat melukai orang lain maupun diri sendiri
Jadi, siapa sebenarnya tokoh antagonis dari segala bentuk ketakutan yang terjadi?
Apakah mereka yang berebut penutup muka
dan dipaksa bertahan dengan hiruk pikuk kota?
Ataukah mereka yang sibuk mencari muka
di tengah ketakutan penduduk dunia?
Ah sudahlah!
Sepertinya bumi sedang merindukan kata istirah.

Pemalang, 15 Maret 2020

Sebelum Tidur

Di embung. Banyak orang berolahraga. Di tepiannya, banyak orang pergi memancing. Di sekitarannya, banyak orang berjualan. Di kedalamannya, banyak orang duduk merenung. Di sudut di mana aku tak diperhatikan, aku memperhatikan mereka.

Manusia kerap membutuhkan ruang yang luas. Dari mata yang mulai rabun keterbatasan pandangan yang melihat bangunan atau jarak dekat gawai yang membuat kepala pening.

Pada kondisi waktu tulisan ini terbit, sebuah perusahaan bisa tutup sementara karena tiga karyawan positif corona. Peringatan! Agar manusia tak melulu berjalan tanpa sadar. Bekerja rutinitas. Lupa sedang apa dirinya. Sebagian manusia bekerja menyerahkan dirinya kepada pemodal. Takut kepada atasan. Mustahil katakan tidak bila diperintah. Berani melawan nuraninya. Mungkin aku akan demikian juga bila waktunya.

Manusia berkumpul semalam. Bersenang-senang. Pulangnya merasa kesepian.

Driver ojol membantuku membelikan makanan. Memakai jaket khusus. Kubawakan uang pas. Rupanya tutup poin dan bersiap pulang menuju rumahnya. Mengganti jaket kerjanya dengan pakaian hangat yang telah disiapkan di bagasi kendaraannya. Ah. Apa cuma aku yang melihatnya berbeda. Rupanya aku bermental feodal ketika dia berjaket kerja, dan aku bermental egaliter ketika dia berbaju biasa. Kusisihkan doa kebaikan agar ia bahagia dalam kehidupannya.

Penjual jagung susu keju melayaniku sebagai pelanggan terakhir. Kuperhatikan wajahnya yang senang dagangannya laris. Kuperhatikan ia memberikan jagungnya sebelum mengambil uangnya, meski kuulurkan uangnya terlebih dahulu. Kusisihkan doa kebaikan agar ia bahagia dalam kehidupannya.

Kusadari lebih dalam. Berdoa untuk orang lain dalam keheningan suasana tanpa ada yang mengetahui adalah hal yang sulit. Bagiku.

Sebelum tidur. Kuperhatikan kedua tanganku. Kuangkat ke atas. Kupandanginya. Bagaimana bisa organ tubuhku bisa saling bekerja sama dengan sempurna. Lalu dengan alasan apa kenikmatan ini tidak kusyukuri. Setidaknya aku bisa ketik tulisan ini, lalu bercerita. Aku bersyukur padaNya. Kusisihkan doa kebaikan untuk diri sendiri dan kudoakan manusia di dunia ini. Agar bisa bekerja dengan segenap hati, tidak lupa untuk melihat langit dan menghargai diri sendiri. Lalu mengatakan pada jiwanya: kita adalah manusia berkulit-daging dan perasaan. Bukan robot yang dipaksa bekerja untuk akumulasi dan pemuasan keinginan, kemudian asing terhadap dirinya sendiri.

Ternyata tak bisa tidur hingga kini. Kulanjutkan saja membaca.

Biawak Tunisia, Kadal Aljazair

“Seorang akademisi, mereka itu pasti bicara by literature menurut mereka, artinya sumber-sumber yang dipercaya menurut mereka. Kan tidak perlu semua orang percaya dengan sumber-sumber mereka, saya juga punya sumber sendiri…hanya keberaniannya ada atau tidak? Keberanian untuk mengungkapkan yang berbeda dan logis.” –Budi Setiawan a.k.a. Budi Dalton, Dosen-Aktor.

“Tapi saya pikir hadiah terbesar yang diberikan pada saya dan banyak dari kita adalah kesempatan untuk menggunakan suara kita untuk mereka yang tidak bersuara…saya pikir, kita takut akan ide perubahan personal, karena kita mengira bahwa kita harus mengorbankan sesuatu, melepaskan sesuatu. Tetapi manusia terbaik adalah yang sangat inventif, kreatif dan pandai. Saya pikir ketika kita menggunakan cinta dan kasih sayang sebagai prinsip, kita bisa membuat, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem perubahan yang bermanfaat bagi semua makhluk hidup dan lingkungan.” Joaquin Phoenix dalam pidatonya ketika memenangi Oscar Best Actor 2020 melalui film Joker.

 

 

Tidak terasa. Sudah banyak sarjana diwisuda. Setelah sekian waktu orang bertanya kapan. Bukan aku. 2 KB 2 GB. Data mengalir yang kini tertuju pada pidato pertama rektor baru disaksikan secara online.

Dengan gaya nyeleneh kekinian. Pernah memamerkan sebuah lukisan melalui salah satu medsosnya. Apakah Pak Rektor tertarik menjadikan melukis atau teater menjadi matakuliah wajib perkuliahan?

Siapa tahu mahasiswa bukan saja pandai melukis tentang gunung kembar dengan matahari di antara keduanya atau laut dan pohon kelapa. Namun juga pandai menggambar klepon atau martabak.

Belajar dengan Bapak sebelum menjadi rektor sangatlah menyenangkan. Sebelum menjadi rektor, aku menyalami Bapak, padahal ketika itu aku sedang bersiap futsal, dengan kaos futsal oranye namun masih memakai celana jeans. Bapak bilang, “Bajunya bagus. Kalau kamu masuk kelas saya, ndak apa-apa.”

Penasaran. Singkatnya, setelah mengambil matakuliah beliau, tidak ada aturan di kelasnya kecuali mahasiswa yang masuk harus punya bekal bacaan yang cukup. Tidak ada presentasi: yang ada, Bapak hanya menunjuk acak mahasiswa, lalu tanya: “Anda membaca apa?” Lalu mahasiswa yang ditunjuk menjelaskan bla bla bla. Kalo hasil bacaannya singkat, biasanya dikomen, “Udah? itu saja?” atau kalau cukup bagus, “Nah ini baru mahasiswa saya.”

Namun karena sudah tau triknya. Pokoknya yang penting asal ngomong panjang. Biasanya beliau respon dengan pura pura tidur atau pura pura berpikir. Berkuliah begitu sederhana namun menggugah. Kuliah berarti sharing soal bacaan beragam yang tak terbatas. Layaknya kritik pada kelas perkuliahan kebanyakan yang monolog dari dosen atau presentator yang mirip khutbah Jum’at dibanding diskusi ilmiah. Di buka dengan doa. Di akhiri dengan doa. Tidak ada bantahan-perdebatan, atau ide segar muncul ke permukaan. Malu malu tai biawak Tunisia. Malu malu tai kadal Aljazair.

Seakan beliau katakan tak penting baju yang dikenakan, tapi persiapan atau ide yang mahasiswa geluti.

Ah, kok aku malah tulisanku mengalir dengan damai berbicara soal wisuda dan suasana perkuliahan. Padahal aku mau curhat moodku memburuk ketika mendengar seorang teman yang ditolak judul skripsi oleh dosennya. Teman kirimkan screenshot percakapannya. “Ganti judl sj mas geh. Cari tokoh yang otoritatif di bidang tafsir ya. Gak meyakinkan tokoh yang dikaji. Tidak ada diskursus akademik yg cukup signifikan utk dikaji.”

Barangkali lantaran aku yang sudah membaca cukup banyak karya-karya tokoh tertolak dalam proposal skripsi temanku itu, prasangka buruk ku katakan sang dosen belum cukup membaca tokoh kajiannya. Aku ngga mengatakan Eko Prasetyo (Ekopras) seorang mufasir. Dalam karya terbarunya “Tafsir Progresif Al-Ashr” beliau katakan memang karyanya bukan tafsir, juga sebetulnya dikatakan hal senada dalam karya-karya sebelumnya, Al-Alaq dan Kitab Pembebasan. Namun sebagai seorang aktifis, Bung Ekopras berusaha memahami ayat-ayat al-Qur’an menurut kemampuannya. Aku hanya berpendapat gagasan-gagasannya layak diteliti.

Bukankah semua soal perspektif atau problematisasi. Apa karena beliau bukan seorang ‘ulama’, tidak paham bahasa Arab serta syarat-syarat mufasir lain yang ketat.

Pikiranku berkelana menuju tulisan Ingrid Mattson. Dikatakan di dalamnya: “Tuhan memberi kaum muslim, individual maupun kolektif, penglihatan dan pendengaran, dan kecerdasan untuk mempelajari konteks linguistik dan historis al-Qur’an. seseorang tidak mungkin menguasai semua aspek ajaran al-Qur’an meskipun ia habiskan seluruh masa hidupnya…Memang, banyak orang Islam paling berpengaruh (secara positif atau negatif) yang membuat klaim tentang al-Qur’an pada abad ke-20 tidak dididik sebagai ulama.

(Ingrid Mattson mencontohkan) Sayyid Qutb dikenal sebagai penulis yang menarik perhatian orang Arab dengan pemaparannya tentang keputus-asaan banyak orang terhadap para penguasa di Timur Tengah yang sombong dan menindas. Ia menuliskan kegelisahannya  itu dalam tafsirnya yang terkenal, Fi Zhilal al-Qur’an.

Abu al-A’la al-Maududi pendiri Jemaat-e-Islami di India…adalah seorang jurnalis. Dengan diterimanya argumentasi bahwa pintu ijtihad harus dibuka dan bahwa ijma’ harus diperluas sehingga bisa mencakup suara orang-orang nonpakar, para penulis seperti Qutb dan Maududi tidak merasa terhalang oleh latar belakang keilmuannya untuk menerangkan makna al-Qur’an.”

Sialnya aku dalam tulisan ini seperti mencari pembenaran dan pembelaan. Tapi kurangajar juga dosen itu. Seorang temanku yang lain bermaksud meneliti teori maqashidnya setelah pengukuhan guru besarnya. Dosen itu girang dan menunjukkan langkah-langkah selanjutnya agar teorinya bisa diangkat sebagai penelitian. Oh, apa karena Ekopras bukunya tak berjudul bahasa Arab, atau namanya tidak ada Abu atau ada Al Al nya, bacaan dosennya bermasalah atau aku yang bebal.

Berapa banyak skripsi membahas mengenai Sayyid Qutb atau Maududi. Ahsudahlah.

Pikiranku mengembara pada tulisan Ziauddin Sardar mengenai Otoritas Penafsiran. Sebelumnya, padahal melalui dosen itu dalam ruang perkuliahan yang selalu menekankan bahwa teks al-Qur’an terbatas, sementara konteks yang melibatkan tafsir al-Qur’an harus selalu aktual seiring dengan berkembangnya zaman. Mengkritik tafsir al-Qur’an tidak sama dengan mengkritik al-Qur’an.

Dalam tulisan Sardar: “Untuk mempertahankan dominasi mereka atas orang yang mungkin menafsirkan al-Qur’an atau membacanya dengan cara yang berbeda, para ulama itu menggunakan sejumlah taktik. Mereka mereduksi konsep al-Qur’an tentang ‘ilm, yang merujuk pada semua jenis pengetahuan, menjadi hanya berarti pengetahuan agama. Kemudian, mereka menyatakan bahwa orang yang punya pengetahuan agama lebih mulia daripada orang yang tidak memilikinya. Mereka mereduksi konsep Islam tentang ijma’ yang berarti kesepakatan semua orang menjadi kesepakatan segelintir ulama pemilik hak istimewa, yang dicapai melalui proses yang panjang dan berat. Pengertian itu menutup pintu ijtihad atau penafsiran baru.”

Ohya, kutipan di atas bisa jadi berbahaya bila dipahami serampangan, seakan secara bebas dan tanpa keilmuan apapun memahami kitab suci, bahkan dipelintir demi kepentingan praktis atau tujuan tertentu yang mencederai kemanusiaan. Namun, coba saja baca tafsir progresif Ekopras mengenai Kisah dalam al-Qur’an, Surah Al-Alaq atau karya terbarunya Tafsir Progresif Al-Ashr. Dari asbabun nuzul, makna harfiah hingga kritik sosial kepada kondisi kini dibahas didalamnya. Tidak jarang juga beliau kutip pandangan mufassir kenamaan seperti Thabari, Sayyid Qutb, Hamka hingga Quraish Shihab, dll.

Kondisi sosial yang terus bergerak, sementara sebagian penafsiran yang kolot cenderung merepitisi penjelasan-penjelasan lampau, agama cenderung pasif merespon, bukan mengilhami kreatifitas-kreatifitas yang cenderung baru. Ah apa karena buku Ekopras terbitan Yogyakarta, bukan terbitan Beirut Lebanon? Konteks seringkali tak menunggu kondisi seorang yang memahami al-Qur’an harus ‘mapan keilmuannya’. Sisalah agama yang ompong dan menjelma sebagiannya menjadi brand bisnis dan keuntungan laba pasar.

Dalam tafsir progresif al-Ashr, seseorang mengkritik dengan memahami bahwa rugilah waktu manusia yang dihabiskan untuk memenuhi seluruh keinginannya. Seseorang mengkritik melalui pemahamannya terhadap Surah Al-Ashr, “…manusia memahami waktu dalam konsep yang ekonomistik: bertambah usia, bertambah dewasa, bertambah kaya. Bahkan waktu manusia dikuras untuk mengumpulkan, mengakumulasi, dan menyambut hidup dengan perhitungan laba dan rugi. Manusia telah menyetarakan waktu dengan nilai uang yang selalu menjadi kiblat kegiatan manusia sehari-hari. Padahal waktu itu tak sama dengan uang.”

Tak usah kusebut siapa “seseorang” dengan pemahaman di atas. Karena orang tersebut bukan tokoh otoritatif. Ia tidak signifikan untuk diteliti. Andai pemahaman tersebut keluar dari pemahaman ‘ulama otoritatif’, dosen itu mesti berkomen: “Geh. Geh. Saya kira ini menarik, Mas.”

Ah. aku memang bebal dan emosional. Memang dilematis, namun pada keadaan ini tiba-tiba aku jadi muak dengan arogansi otoritas.

Pak Rektor. Aku cukup senang pembayaran UKT mundur. Tapi nominal tagihan tak berubah. Sebagai rektor baru yang progresif dan mencintai hal-hal baru dan unik. Buatlah kami tantangan sebagai pengganti UKT. Misal dengan berkolaborasi dengan mahasiswa membuat festival makanan jadul paradigma integrasi-interkoneksi. Lumayan untuk menyambut new normal dengan tetap berpegang pada protonkol. Prokotol. Eh. Protokol kesehatan.

Di dalamnya bisa misal memadukan klepon isi gula merah yang kapir dengan klepon isi kurma atau minyak zaitun. Keuntungan lumayan sekaligus promosi kampus, bukan? Atau dengan membuat film atau konten media dengan target 1000 like dan subscribe. Siapa sesuai target bebas UKT.

Doa Kesejahteraan

Sepanjang jalan menuju kegelapan malam. Kehidupan membisikiku, “Tempatmu mungkin bukan di sini, namun, selama belum sampai kepadamu petunjuk, bukankah hidup dan apa yang kamu miliki harus kamu perjuangkan?”

Entah itu kutipan dari siapa atau dalam buku apa. Aku lupa.

Kalau WS Rendra punya Sajak Orang Lapar. Bait-baitnya menggugah. “Kelaparan adalah pemberontakan.”; Kelaparan “adalah penggerak gaib dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin.”

Suatu sore, tidak sengaja aku menonton serial Upin Ipin di YouTube judul: Quraisy. Dalam film pendek tersebut dimulai ketika sebelum madrasah diniyah, sementara itu  Syekh Abdul Karim sang Ustadz, Aruffin bin Abdul Salam, Ariffin bin Abdul Salam, Muhammad Al Hafeezy, Susi Susanti, Ismail bin Mail, Muhammad Izzat Ngathiman telah berkumpul di madrasah, Ehsan bin Azaruddin yang terlambat datang lalu mengucap salam dengan cemilannya yang masih ia santap sambil jalan dan mulut yang penuh makanan. Lantas Syekh menegurnya, “Ehsan, duduk…Jangan bercakap bila mulutu penuh.” (Apa benar redaksinya seperti itu? Heuheuheu)

Kemudian Syekh meminta para murid untuk mendengarkannya membacakan Surah Quraisy. Setelah selesai, Izzat bertanya kepada Syekh, “Ustaz, kenape name surah ni Qu ra…Quraisy?”

Syekh: “Name Quraisy diambil dari lafadz Quraisy yang terdapat pada ayat pertama surah ini. yang merujuk kepada kaum Quraisy. Kaum Quraisy ialah kaum yang tinggal di Mekkah dan merupakan penjaga Ka’bah……” Kemudian Syekh meminta murid untuk membacakan Surah Quraisy per ayat, kemudian Syekh akan terangkan maksudnya.

Syekh: “Surah ini diturunkan sebagai peringatan tentang nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kaum Quraisy, sebab itu mereka diperintah untuk menyembah kepada Allah. Suratu Quraisy ada baaanyak khasiatnya yaaa. Contohnya dalam bulan puase bila makan sahur, kita baca surah ni (Quraisy), insyaallah, kita akan merasa kenyang dalam waktu lama….”  (channel YouTube Adjie Kuncoro, dipublish pada tanggal 29 Mei 2018).

Ah sebetulnya aku tidak pandai untuk menjelaskan selanjutnya ini, yang ingin kusampaikan adalah aku tertarik dengan bagian ending filmnya, Surah Quraisy dibaca dengan maksud memohon kepada Allah agar terhindar dari lapar; merasa kenyang dalam waktu lama. Nilai edukasi cukup jelas menurutku: memotivasi anak agar kuat menjalani puasa hingga berbuka.

Dalam studi tafsir, sebuah surat atau ayat al-Qur’an yang yang dipraktikkan individu atau masyarakat muslim ke dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan resepsi fungsional. Pada suatu kasus, antara ayat yang dibaca dan praktik terkadang tidak ada kaitannya. Sebaliknya, pada suatu kasus adanya keselarasan antara ayat atau surat yang dibaca dan praktiknya.

Dalam contoh resepsi fungsional pada film Upin Ipin ini, termasuk kepada adanya keselarasan antara ayat yang dibaca dan praktik.  Agar tidak merasa lapar ketika menjalankan puasa, maka bacalah Surah Quraisy. Barangkali keselarasan ini terletak pada ayat keempat, kurang dan lebih artinya, “(Allah) yang telah memberikan makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar…….”

Di sebagian masyarakat, praktik resepsi fungsional sebetulnya bukanlah hal yang asing. Contoh lain seperti halnya pembacaan surah Yusuf dan Maryam bagi seorang ibu hamil adalah doa, harapannya agar kelak memiliki keturunan berkarakter seperti Nabi Yusuf as. atau seperti Siti Maryam.

Atau seorang aktivis Farid Esack yang bercerita mengenai Ibu dan Neneknya yang selalu melafalkan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an ketika memasak sesuatu untuk mendapatkan rasa makanan yang nikmat.

Resepsi al-Qur’an ialah bagaimana seorang menerima, merespon, memanfaatkan, atau menggunakannya baik sebagai teks yang memuat susunan sintaksis atau sebagai mushaf yang dibukukan yang memiliki maknanya sendiri atau sekumpulan lepas kata-kata yang mempunyai makna tertentu. –Ahmad Rafiq.

Bahkan masih banyak lagi kiranya aktifitas sehari-hari kita yang tidak disadari merupakan resepsi fungsional dari ayat atau surah al-Qur’an.

Semesta membisikiku: Jika dalam semesta pengetahuan terdapat Teologi al-Ma’un: kaitan antara doktrin tauhid dan pembelaan terhadap golongan tertindas dan lemah, baik secara sosial ekonomi maupun iman-pendidikan; suatu teologi pemihakan kepada kaum miskin, telantar, tertindas dan terpinggirkan. Apakah sudah ada gagasan mengenai Teologi Quraisy? “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Manusia mana yang dapat terbebas dari rasa takut. Ketakutan tidak saja kini relevan dengan terorisme, kini virus corona menjadi mimpi buruk yang telah menjadi nyata, membuat manusia menahan nafas. Sementara itu baru saja kudengar di sekitarku ada 200 orang pemutusan hubungan kerja pada sebuah instansi pemerintah. Menyisakan PNS yang sebagiannya masih bingung menyalakan komputer tak sanggup gantikan kinerja fresh graduate yang magang. Kini pun banyak orang-orang lapar.

“(Allah) yang menghilangkan lapar.” Diperlukan cara kreatif manusia agar terpenuhi kebutuhan pokoknya. “(Allah) mengamankan mereka dari ketakutan.” Diperlukan cara berkelanjutan manusia yang memberi sesama: ketenangan, rasa aman dan optimisme menghadapi wabah corona ini.

Ah rumit sekali tulisan ini.

Beri makan, bebaskan dari rasa takut.

 

 

Sumber Gambar: Pixabay

Ahmad Rafiq, “Sejarah Al-Qur’an: Dari Pewahyuan ke Resepsi (Sebuah Pencarian Awal Metodologis) dalam Islam, Tradisi dan Peradaban diterbitkan oleh Bina Mulia Press, 2012.

Buya Syafi’i Ma’arif, “Teologi Al-Ma’un Muhammadiyah (1)” dalam www.republika.co.id

Resep Membuat Teh Terbaik

“Dia yang mencintai, tak pernah menyadari kedalaman dirinya sampai saat berpisah tiba.” Khalil Gibran

 

Selama wabah corona ini, sebagian waktu kumanfaatkan untuk menyelami kesahajaan Mahatma Gandhi. Seorang Mahaguru dari India. Seorang yang sejak kecil pemalu dan tidak suka berteman. Hanya buku-buku pelajaran yang menemani masa sekolahnya.

Gandhi kecil juga seorang penakut: maling, setan, ular. Ada juga beberapa kesamaan denganku, di antaranya takut gelap. Mustahil untuk tidur dalam keadaan gelap. Gandhi tidak bisa tidur tanpa lampu menyala.

Pada akhirnya, Gandhi dikenal tumbuh menjadi pemimpin spiritual serta sosok penting dalam Gerakan Kemerdekaan India. Gandhi pula sebagai sosok yang telah berhenti untuk membenci manusia hingga empat puluh tahun lebih.

Namun, yang hendak kuceritakan di sini bukan mengenai Gandhi secara personal, melainkan dalam penyelaman kesahajaan Gandhi, Ia menceritakan beberapa pengalamannya dengan buku.

Pertama, Gandhi bercerita, “Selama saya masih di bangku sekolah, secara praktis saya tidak membaca apa-apa kecuali buku teks dan setelah saya terjun kehidupan yang penuh dengan kesibukan waktu untuk membaca sedikit sekali. Oleh karena itu saya tidak berani mengatakan mempunyai pengetahuan banyak dari buku. Namun demikian, saya yakin bahwa saya tidak begitu rugi karena keterbatasan ini. sebaliknya, kesempatan membaca yang terbatas ini boleh dikatakan telah memungkinkan saya mencernakan secara menyeluruh apa yang saya baca.”

Kedua, Gandhi berkata, “Pengetahuan ilahi tidak dipinjam dari buku-buku, melainkan harus direalisasi dalam diri kita. Buku memang merupakan suatu bantuan, tetapi seringkali dapat merupakan hambatan.”

Ketiga, Gandhi bercerita, “Tentang buku-buku pelajaran yang begitu banyak dibicarakan orang, saya tidak pernah mempunyai keinginan apa pun untuk membicarakannya. Saya bahkan tidak ingat lagi apakah saya telah banyak menggunakan buku-buku itu yang ketika itu dapat diperoleh.

Menurut saya, para pemuda itu tidak perlu dijejali dengan sejumlah besar buku itu. Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya. Saya sungguh tidak mengingat banyak dari apa yang diajarkan oleh para guru dari sisi buku pelajaran, tetapi sampai sekarang pun saya masih ingat dengan jelas tentang hal-hal yang diajarkan oleh guru-guru, di luar guru pelajaran.

Anak-anak pada umumnya dapat menyerap hal-hal lebih banyak tanpa harus berusaha terlalu keras melalui telinga dibandingkan melalui mata mereka. Seingat saya, saya belum pernah membaca sebuah buku dari depan sampai habis bersama murid-murid saya. Tetapi saya memberikan kepada mereka, seluruh yang dapat saya cernakan dari berbagai buku yang telah saya baca, dengan menggunakan bahasa saya sendiri, dan saya yakin sedikit banyak mereka tetap menyimpan isi-isi buku itu dalam ingatan mereka. Sulit bagi mereka untuk mengingat apa yang mereka pelajari dari buku, tetapi apa yang saya tanamkan dalam diri mereka melalui kata-kata atau melalui mulut, mereka dapat mengulangnya dengan mudah.

Membaca merupakan tugas bagi mereka, tetapi mendengarkan kata-kata saya lebih disenangi selama saya tidak membuat mereka bosan karena tidak dapat menyajikan mata pelajaran itu menarik.” (diambil dari buku terjemahan Mahatma Gandhi: Semua Manusia Bersaudara, diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, 2009)

Cerita Gandhi di atas tiba-tiba kuingat setelah kudengar kabar salah seorang Guruku, Dr. H. Syaifan Nur, M.A. wafat pada hari ini. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sedih mendalam. Keramahan dan kedalaman ilmu dalam filsafat dan tasawuf tidak menyisakan celah pintu keraguan untuk masuk. Kebaikan beliau terhadap sesama sudah harum tercium bahkan sebelum mengajarku pada matakuliah Pendekatan Studi Islam. Memang pertemuan dengan beliau dalam ruang perkuliahan tidak berlangsung lama.

Berjalan dengan tenang, tatapan yang tajam namun penuh simpati, serta senyum yang tak pernah tenggelam pancarannya melalui wajah beliau mendapat tempat mulia dalam memori pikiranku juga khalayak.

Tidak salah banyak mahasiswa yang menyebut beliau lebih dari sekedar guru/dosen, melainkan sebagai seorang ‘Ayah’.

Kaitannya dengan Gandhi di atas, “Saya selalu merasakan bahwa buku pelajaran yang paling benar bagi seorang siswa adalah gurunya.” Kata Gandhi. Bapak Syaifan Nur seorang dosen teladan. Dengan kedalaman keilmuannya, saat mengajarku, beliau ekstrak ratusan bacaan dalam memorinya ke dalam bahasa yang ringan kepada mahasiswa kala perkuliahan, tentu tak mengurangi bobot pembicaraan. Jarang-jarang bahkan tidak pernah beliau ‘pamerkan’ bahwa beliau membaca melalui buku A, B, C dan D yang menyebutkan bahwa bla..bla..bla.. Bahasanya membisiki, Diksi yang digunakannya menuntun, mahasiswa tidak sedang diajari.

Dalam perkuliahan sudah beliau berikan referensi-referensi penunjang matakuliah.  Adapun selanjutnya lebih kepada nasihat untuk mahasiswa dan cerita-cerita perjalanan akademik, diselingi candaan sederhana yang mendidik, lalu kembali kepada pembahasan topik matakuliah.

Terkadang setelah cukup serius berdiskusi mengenai sebuah topik perkuliahan, beliau alihkan kepada pembahasan yang segar dan mengundang senyuman. Sang Ayah rupanya memahami kepenatan anak-anaknya. Mulai dari nasihat  kepada para mahasiswa yang akan menikah dan menjadi suami istri, kemudian cerita masa kecil Bapak Syaifan Nur yang gemar membaca lewat komik Kho Ping Hoo, hingga life hack sehari-hari. Kehidupannya sendiri adalah teladan yang baik bagi para mahasiswanya.

Salah satu life hack yang diajarkan kepada mahasiswanya adalah resep membuat minuman teh terbaik. Beliau jelaskan dari mulai memanaskan air hingga mendidih. Kemudian teh dari berbagai merk dibuka isinya lalu dituangkan dalam satu wadah, dicampurkan, kemudian teh tersebut dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih. “Mantap. Jangan tambahkan gula.” Ujar beliau sembari mengangkat jempol kanan nya.

Bagiku bila direnungkan akan sangat filosofis sekali: Menerima (meracik) perbedaan (ragam merk Teh) apapun sekitar kehidupan manusia. Proses penerimaan perbedaan tentu memerlukan dialog dan konflik (tungku api) yang tidak mudah.

Selamat jalan Bapak Syaifan Nur. Keteladananmu abadi. Bukankah bahkan Tuhan sekalipun takkan mampu menahan aliran deras doa-doa tulus dari anak-anak semestamu ini untukmu, Ayahanda?

Minggu Kelabu

Ah kadangkala media dan sebagian orang cukup berlebihan memframing suatu peristiwa. “Jangan kemana-mana!” “Kota ini sedang dalam penegakkan aturan yang ketat.” Hingga ketakutan kini sedang naik daun. Corona menjadi mafia menerror setiap insan bernafas.

Malam minggu tiba. Ah. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian. Keluar juga kalian dengan pasangannya. Sementara aku berada di motor sembari berusaha menghabiskan sisa jok dengan badan yang mulai menggemuk sendirian.

Ingin sekali rasanya berubah menjadi polisi kemudian menilang dan memeriksa KTP mereka satu per satu pasangan kekasih itu, apakah mereka berada pada satu alamat yang sama: “Ah tepat sekali, Bapak. Kami secara sengaja tinggal pada alamat kos bahkan ranjang dan fetish yang sama!”

Sudahlah.

Sepanjang perjalanan malam minggu kelabu ini, toko-toko tidak sedikit yang masih tutup. Jumlah ketersediaan berkurang, namun tidak dengan tukang parkir. Jumlahnya masih tetap. Bahkan ada pula sebuah toko yang dijaga oleh dua tukang parkir.

Sempat sebal. Namun setelah dipikir-pikir, dalam kondisi yang sulit seperti ini, jangan marah pada tukang parkir. Jangan marah pada pencopet. Jangan marah pada rentenir. Jangan marah pada begal. Jangan marah pada penipu. Karena beginilah cara rakjat akar rumput bertahan hidup: bukankah sama-sama bersaing-sama kotornya dengan para kapitalis kelas kakap? Bedanya hanya dari cara berpakaian dan kendaraan…Sementara pada saat yang sama, sebagian agamawan sibuk pada seminar dan webinar.

Minggu kelabu membawaku berkelana menuju kawasan pesisir pantai selatan. Ketakutan akan wabah corona mengkristal sebagai serpihan-serpihan kaca dalam alam pikiran. Di jalan raya, virus berhasil memojokkan manusia dan membiarkan alam kepada muasalnya yang dingin dan sunyi. Bersih dari jejak kaki manusia yang mendekam pada sudut ruang rumah: sibuk mendengarkan berita televisi.

Minggu kelabu menuntun mataku kepada pertunjukkan sulap Indomaret dan Alfamart berubah menjadi Tomira: Toko Milik Rakjat di Kulon Progo. Kau tau sendiri bukan, bila sulap penuh dengan intrik dan kecepatan (~kebijakan) tangan? Hanya nama saja yang berganti dengan dalih sebagai solusi terbaik untuk merawat eksistensi perekonomian lokal di samping tetap mengizinkan toko modern beroperasi, daleman nya tidak sedemikian signifikan berubah. Baca lebih lanjut tulisan yang merupakan hasil penelitian Saudara Johan Ferdian JR yang berjudul: “Toko Milik Rakyat (Tomira): Apakah Benar Milik Rakyat?” dalam www.medium.com.

Ah, Tomira mengingatkanku pada suatu bangunan megah, tiada tahun tanpa pembangunan fisik, tiada waktu berlalu tanpa memikirkan akreditasi, konon katanya tempat mencerdaskan anak bangsa. Tertulis pada bangunan tersebut, “Kampus Rakjat”. Aku sedikit ragu dengan kebenarannya. Setelah kuusap kedua mataku, ah ternyata mataku salah lihat. Bangunan ini lihai sekali dalam menggunakan intrik dan kecepatan (kebijakan) tangan. Pertunjukkan Sulap yang unpredictable. Ternyata bangunan itu tak lain bagaikan koperasi: jual beli gelar. Astaga. Selama ini hadirin berikut rakjat ikut tertipoe. “Kampus Rakjat: Benarkah Menguntungkan Rentenier?” Orang tua mahasiswa harus rela meminjam uang demi (~pendidikan anak-anak semestanya) pertunjukkan sulap: Uang pendidikan mahal. Bahkan ditambah beban biaya ekstra!

Setelah sampai di kawasan pesisir pantai selatan, Kiai Seniman sampaikan bahwa perlawanan rakjat menolak sertifikasi tanah oleh TNI semakin membara: aku masih dengan khusyu mendengarkan banyak kisah dan petuahnya.

Sepulangnya,

Minggu kelabu memperlihatkanku pemandangan yang menunjukkan harmoni semesta: seorang pria tampan bertato pada lengannya sebelah kiri, membonceng seorang perempuan cantik berjilbab besar dengan motor matic.

Minggu kelabu belum berakhir, sesampainya di peristirahatan, ketika membuka laptop, cahaya lampu kamar berganti shift dengan kegelapan. Mati lampu! Ah aku phobia. Membuatku sesak nafas dan mencari sumber cahaya persis seperti laron.

Kunyalakan senter handphone. Namun yang terlihat bukanlah keadaan kamarku. Melainkan jiwaku yang kotor, pekat. Terpampang jelas.

Dunia Luas

Aku merindukan dunia yang luas. Kini sempit. Sesempit ruangan sekitarku menghabiskan hari-hari karantina mandiri. Bung Karno pernah mendekam dalam dingin jeruji. Begitupun Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Begitupula Hatta, hatta Tan Malaka.

Namun kini aku mendekam dalam ‘LP level pejabat’ lantaran wabah corona. Tidak seperti Hamka yang menyusun Tafsir Al-Azhar. Aku produktif membuang sampah-sampah makanan hingga tisu bau amis.

Produksi, produksi, produksi. Buatku jengah. Jadilah manusia kreatif banyak duit. Jadilah kreatif yang mengundang banyak khalayak untuk berkunjung, agar banyak endorse iklan: bisa cepat kaya!

Jangan lupa giveaway kontrasepsi agar semakin dicintai viewer.

Di Whatsapp berseliweran iklan pakaian dan obat jerawat. Di kedai kopi borju mahasiswa banyak memesan espresso dan lava cake. Sementara penelitian mereka mengenai “resistensi masyarakat petani”; “Pemberontakan rakyat” hingga “Konsep Kemiskinan”.

Aku merindukan dunia yang luas. Di mana seorang bapak dan anak berada dalam satu atap pekerjaan. Dan sang anak bangun dan terpejam dalam bayang keteladanan hidup sang bapak. Lihatlah di Pesantrian Ombo yang menjadi santri lantaran terdampak kesibukan orangtuanya di rumah.

Aku merindukan dunia yang luas. Tidak sesempit ruangan ini. Aku tidak ingin punya jam kantor, aktifitas rutin-monoton, rekan-rekan kerja yang berbaju rapi kantoran: karena sudah sering kuamati di Pornhub keyword ‘at office’. Namun tak ku download karena kampus tak beri aku pulsa dan kuota. Aku tak berkenan produktif kreatif dalam bayang industri: aku ingin jadi manusia saja.

New Normal

Anton Chekhov gambarkan hidup manusia yang tak seindah dengan yang dicita-citakan. Melalui cerpen-cerpennya.

Manusia sibuk dengan gawai mencari berita: lowongan pekerjaan, melihat kehidupan selebriti dengan keirian, serta tawa-tawa yang sembuhkan luka.

Corona tak melulu tentang identifikasi korban positif. Corona adalah cermin yang tak lagi bening. Bagaimana bisa masyarakat modern setiap individu memiliki keinginan yang sama: pendidikan tinggi dan punya banyak uang.

Fakta sperma kini tiada lagi mencengangkan. Satu yang berhasil membuahi ovum, bersaing saling sikut. Sama sepertiku dan manusia kebanyakannya, kini. Bertarung untuk menjadi orang yang paling banyak memiliki segalanya. Segalanya harus dimiliki sehingga menjadi ‘manusia ‘ dengan cara bertarung.

Manusia bertarung, semesta biar saksikan.
Kaum pemodal bertarung, tukang becak menadah tangan bertahan hidup.

Corona adalah saat manusia menjadi manusia. Manusia adalah topeng. Topeng yang digunakan dalam stori-stori medsos. Atau dalam liput layar kaca televisi. Atau wawancara bersama wartawan.

Pesantrian Tanpa ‘Bangunan’

Ombo sudah tiba di Kota Gudeg. Tidak terasa pertemanan kami sudah tujuh tahun. Dari kota kelahiran RA Kartini.

Ia mengeluh soal pertambangan pasir dan tempat wisata yang belum dikelola dengan baik. Ombo masih berjuang memberikan apa yang ia bisa untuk memajukan desanya.

Tahun lalu ia merantau ke Sumatera Selatan untuk berdagang. Sebelumnya ia melamar pekerjaan di ibukota. Kagum rasanya dengan banyak pengalamannya. Daripada aku yang malah pusing dengan tugas akhir berikut tumpukan kertas prin-prinan yang tak kunjung selesai. Juga gelar yang tak pantas disandang.

Sebaiknya kini universitas menerapkan kebijakan baru. Ketika mahasiswa baru sudah bayar registrasi perkuliahan, berikan saja gelarnya diawal. ‘Yang penting’ mahasiswa mampu membayar SPP rutin, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa membeli dua ratus kertas hvs, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa kerjakan penelitian atas (~inisiatif mahasiswa) ‘perintah’ dosen, bukan? Apa bedanya antara gelar yang diberikan di awal dan di akhir kalau bukan soal (~penguasaan bidang) uang?

Kini Ombo sedang mengabdi pada sebuah pondok pesantrian baru dengan usia setahun berjalan. Terletak pada sebuah desa yang syahdu dan sejuk. Karena santri-santrinya baru angkatan kedua, sangat mungkin bangunan yang ada tidak memuat untuk memfasilitasi para santri pada tahun ajaran baru.

Daripada harus memperluas bangunan dengan menggusur panorama alam, Ombo dan ide semesta menamui kami malam-malam: para santri tidak tinggal pada sebuah asrama khusus. Melainkan tinggal bersama warga sekitarnya. Agar selain selain dididik oleh Kiai, juga oleh masyarakatnya.

Agar diajari semesta cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Agar diajari cara bangun pagi dan bekerja di sawah jika yang ditinggali keluarga petani. Agar diajari cara memasak dan tidak membuang-buang makanan. Agar diajari rasa malu jika tidak bersungguh-sungguh belajar. Agar santri live in bersama masyarakatnya. Inilah Pesantrian tanpa ‘Bangunan’.

Santri sepulangnya dari kampung halaman membawa buah tangan kepada induk semangnya. Menambah keluarga baru. Mempertajam softskill santri.

Dalam fragmen lain, temanku mengupload status Whatsapp. Mengenai wisuda yang dilaksanakan di sebuah pondok pesantrian. Kini pesantrian yang telah berdiri lebih dari puluhan tahun, tentu memiliki santri yang tidak saja berasal dari daerah pesantrian tersebut berdiri, namun berasal dari berbagai daerah.

Daripada harus diadakan seremoni dengan memajang foto-foto santri melalui bangku berjejer, ide semesta katakan wisuda santri begitu indah jika disambut oleh Kiai setempat di mana santri tersebut lahir.

Pesantren ‘A’ atau ‘B’ hanyalah wadah. Santri adalah kebanggaan milik semesta berikut masyarakatnya. Santri bukan milik lembaga ‘A’ atau ‘B’. Kiai-kiai dapat memberi nasihat-nasihat utuh mengenai keadaan negerinya.

Pesantrian tanpa ‘bangunan’: hendaknya tidak melulu berorientasi ‘pembangunan’ fisik. Pesantrian merupakan lembaga pendidikan semesta. Bila ide semesta ini ada manfaatnya, kupikir hal ini bukanlah suatu hal utopis. Juga tentu hal ini pun bukan satu-satunya ide alternatif.

Keadilan Hukum yang Mabuk

Ada yang hilang ketika corona. Keadaannya dianggap membaik, namun tidak selalu menjadi kabar menggembirakan. Sebuah keluarga yang biasanya berkumpul secara kamil harus mulai ucap berpisah masing-masing menuju peraduannya.

Tidak ada yang lebih baik antara meninggalkan dan ditinggalkan.

Kasur yang berantakan kini ditiduri sepi. Gelas-gelas kotor di atas westafel, kini berbaris rapi menyisakan bau susu yang tak dicuci bersih.

Anak-anak dalam selimut kantuk mendengar pesan agama dari lisan Ibu dalam letihnya. Saban bakda fajar Bapak-Ibu mendekap kami dengan peluk nasihat. Rasa takut akan masa depan duduk menopang jantung dan paru-parunya agar senantiasa terjaga.

Kami bersimpuh berdoa pagi memulai hari.

Namun kini satu-persatu anak-anak Bapak-Ibu harus kembali pada garis jalan hidupnya. yang tak akan pernah lupa kepada kerahiman Ibu dan jalan menuju pulang.

Ada yang hilang ketika corona. Tidak saja nafas kehidupan dan orang-orang yang tercinta, namun juga keadilan hukum. Semua berlalu ketjuali berita melalui media. Akan dikunyah dengan cara yang berbeda. Semua kembali akan membincangnya tanpa bisa berjalan mundur dan memungut sisanya.

Orang-orang tahu bahwa detik yang berlalu tlah menjadi sejarah. Banyak orang enggan berpikir dan justru mengulangi kejahatan yang serupa.

Semesta yang tak pernah terlelap terlebih lagi Pemiliknya.

Nurani berbisik memenuhi jiwa Musisi menyanyikan suara kemanusiaan yang terdengar bising di telinga sebagian khalayak. Baginya manusia tidak bisa terkungkung oleh rasa takut. Terjepit lapar. Engkau begitu tegar hadapi hujatan. Demikianlah keyakinan.

Suara hati khalayak diteruskan Komedian menyiram muka keadilan hukum yang mulai mabuk. Berjalan sempoyongan namun masih sadar pada siapa harus mengabdi. Pada yang berkuasa!!!

Sudah memasuki Sore, Pak, Bu. Anak-anak semestamu harus berdoa lagi. Melanjutkan hidup. Meski sadar keberhasilan perjuangan adalah mimpi siang. Bukankah kewarasan nurani harus terjaga senantiasa?