Tag: Bukan Sinopsis

Yang Indah Selain Puisi Hujan Bulan Juni

aldiantara.kata

 

Kenangan adalah fosil—tidak akan bisa menjadi abu

“Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar saputangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.

Bagaimana mungkin.”

Siapa pula yang bisa menjamin bahwa ada yang pasti, bahwa ada yang selesai, bahwa ada yang tuntas dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki?” (Pingkan)

 

 

Sudah setengah jam berlalu semenjak aku dan kamu berteduh di depan swalayan, akhir-akhir ini cuaca sewaktu-waktu bisa berubah dengan segera. Pagi ini saja aku seharusnya sudah berada di kampus lantaran harus mewawancarai seorang dosen untuk sebuah penelitian sosial. Hujan membuat gerakan kita spontan menepi.

Tidak bisa bahkan jika harus memaksa mengayuh sepeda dalam keadaan cuaca seperti ini. Sepeda kita berdua disandarkan pada pada tempat yang lengang. Tanpa kunci, tanpa titip. Lalu kita berubah menjadi liliput lalu hinggap pada lampu kota yang tetap menyala. Suasana pagi nampak seperti sore. Lebih gelap. Pada tempat yang lebih nyaman, kaca penutup lampu yang diusapi hujan, udara yang menjadi sejuk, wangi tanah yang khas.

Kamu mulai membuka isi tas, aku selalu mengecemu sebagai dorami yang selalu membawa tas penuh berisi macam-macam. Meski begitu, hehe, aku tertawa duluan, sebab kau tau bahwa kau membawa pesananku: roti isi selai coklat kesukaanku yang kau potong kecil-kecil.

“Sampai di mana tadi obrolan kita?” tanyamu.

Mulutku masih dipenuhi roti.

Apa iyaya, kalo orang pacaran harus selalu mengobrol dan banyak pembahasan? Pertanyaan itu tiba-tiba, terbetik melalui suara yang hanya dapat kudengar. Aku tak mengutarakannya.

“Jadi, setelah kau dengarkan podcast Sapardi Djoko Damono di YouTube?”

“Ah iya, Sapardi bilang, Sastra itu bukan isinya (yang terpenting), sastra itu cara menyampaikannya…isi itu orang menulis sajak cinta itu kan sejak Nabi Adam nulis sajak kepada Hawa itu kan sudah sajak cinta. Cara (menyampaikan) itulah yang berkembang terus, (seperti) cara menyampaikan cinta, cara memarahi orang…cara itulah yang menjadi ciri dari setiap seniman…’ ”

“Mana lebih dulu, apakah Sapardi menciptakan puisi Hujan Bulan Juni atau konsep cerita Sarwono dan Pingkan dalam trilogi novel Hujan Bulan Juni?”

“Bahkan dalam novelnya penamaannya harmonis nan serasi, ujung penamaannya dengan “O”, Katsuo, Sarwono, Solo, Manado, Kyoto, Okinawa…” Aku tak merespon pertanyaanmu.

Apa yang kita baca menjadi sebentuk cara Eyang Sapardi menerangkan Cinta, melalui cerita Sarwono dan Pingkan, Katsuo dan Noriko dalam novel trilogi ini.

 

Orang Jepang mengagumi mekarnya sakura dan juga merayakan gugurnya bunga yang hanya berumur seminggu itu.” Kau mulai membuka-buka catatan pinggir buku yang sudah kau tandai.

“Aku jadi teringat pula hal yang membuatku kagum pada negeri Jepang melalui novel Aleph- Paulo Coelho, kata seorang tokoh bernama Yao bercerita, ‘Waktu tinggal di Jepang, aku mempelajari keindahan hal-hal sederhana. Dan hal paling sederhana sekaligus paling menakjubkan yang kualami adalah minum teh. Aku barusan pergi untuk mengulang pengalaman itu dan untuk menjelaskan bahwa terlepas dari semua konflik kita, semua kesulitan, semua sikap kejam dan juga murah hati, kita masih bisa tetap mencintai hal-hal sederhana dalam hidup. Samurai biasanya meninggalkan pedang-pedang mereka di luar sebelum masuk ke rumah, duduk dalam posisi tegak sempurna, lalu ambil bagian dalam upacara minum teh dengan berbagai tata caranya. Sepanjang upacara itu, mereka bisa melupakan perang dan mengabdikan diri untuk memuja keindahan…’ ”

Buku trilogi Hujan Bulan Juni rasanya tidak saja indah dan menarik menyaksikan percintaan segitiga antara Sarwono, Pingkan dan Katsuo, namun juga perihal untaian kalimat indah yang dialamatkan terhadap kota-kota seperti Solo dan Jakarta.

Ada alasan ke Jakarta sekarang, kata Sarwono kepada dirinya sendiri. Ia rupanya kangen sama Jakarta yang semakin macet, yang semakin senang bikin rame-rame, yang semakin tidak bisa dikendalikan, yang mau tidak mau harus dengan ikhlas diterima sebagai tempat berteduh bagi semua yang mau atau terpaksa tinggal di sana. Jakarta merasa sesak nafas tapi tetap saja siap menerima siapa pun yang sayang atau benci padanya. Baginya sama saja. Kota yang baik hati dan lapang dada itu suka berpikir, lampu neon ternyata yang selama ini menjadi daya tarik laron dari kota dan pulau lain. Jakarta yang bijak itu sesekali merasa agak repot memikirkan bagaimana mengubah para pendatang itu menjadi benar-benar urban. Setelah menjadi wargaku, mereka harus diurbankan…”

Gambaran mengenai Jakarta dalam “Jakarta Itu”,

Jakarta itu debu
Jakarta itu macet
Jakarta itu banjir
Jakarta itu motor
Jakarta itu yel-yel demo buruh
Jakarta itu mal
Jakarta itu pedagang kaki lima yang mati-matian membela kios-kiosnya
Jakarta itu rumah kumuh yang berderet sepanjang rel kereta yang satu demi satu dibongkar polisi tata kota
Jakarta itu berangkat subuh pulang magrib
Jakarta itu pedagang keliling burger yang menyulap Für Elise menjadi ikon oditorinya
Jakarta itu ondel-ondel
Jakarta itu Pak Ogah yang setia menunggu di tikungan jalan
Jakarta itu jerit klakson mobil Jakarta itu angkot tua yang batuk-batuk dan mogok persis di tengah jalan
Jakarta itu petugas pe-elen yang gugup ketika mengusut sekring mana yang ngadat sehingga aliran listrik melupakan tugas sehari-harinya
Jakarta itu wajah-wajah yang mulutnya ditutup masker warna-warni sehingga terhambat ketika mau meneriakkan semboyan “Hidup Jakarta!”
Jakarta itu terhimpit pintu ka-er-el yang menunggu sinyal keberangkatan.
Jakarta itu cinta yang tak hapus oleh hujan tak lekang oleh panas, kata Pingkan kepada dirinya sendiri sambil mengingat-ingat wajah Sarwono ketika melambaikan tangan dari balik dinding kaca ruang keberangkatan. Itu bukan pepatah, itu klise yang bersikeras untuk menjelma kembali ke habitatnya yang purba sebagai larik puisi. Pingkan selalu menarik napas dalam-dalam setiap kali mengucapkan itu diam-diam sambil menambahkan, Jakarta itu kasih sayang.

Percakapan “Masih ingat jalan ke Solo?” (dalam buku ketiga, Yang Fana adalah Waktu) antara Pingkan dan Sarwono benar-benar membuat orgasme pembacanya. Tentang peta menuju Solo, jalan menujunya saling dititipkan di alam bawah sadar keduanya. Tentang jalan lurus di mana jalan tersebut dihiasi dengan berbagai pemandangan agar kekasihnya bisa betah. Serta keinginan untuk tersesat bersama dengan kekasihnya.

 

Raut wajahmu ternyata tak bisa menyembunyikan rasa kagum setelah membaca buku trilogi Hujan Bulan Juni tersebut. Bahasa cinta yang dingin, sekaligus menggebu-gebu, namun tetap disampaikan dengan bahasa yang indah. Di dalamnya juga digambarkan Sarwono sebagai antropolog yang berkelana menyelesaikan proyek penelitian kampusnya di Universitas Indonesia; menguraikan permukiman Kali Code sebagai contoh masyarakat pinggiran, meneliti ke Tobelo untuk meneliti perihal konflik agama, ke Kyoto menyampaikan makalah dan menjelaskan masalah liyan dan diaspora di Indonesia,  hingga memerhatikan wajah calon mertuanya yang berasal dari Sulawesi Utara dengan memerhatikan bentuk wajahnya berdasarkan bangsa Mongol Utara.

Meskipun demikian, dalam perjalanan panjang penelitiannya, justru menarik lantaran pada prosesnya selain percakapan baik langsung, WhatsApp atau bahkan percakapan imajiner para pecinta itu yang saling bertaut, tidak saja dipenuhi di dalamnya bahasa-bahasa cinta yang indah, melainkan banyak nilai di dalamnya,  terdapat di antaranya muatan kritik sosial sebagai peneliti namun sekaligus pula menunjukkan keoptimisannya, dikatakan, “Ia (Sarwono) sadar, hasil laporannya hanya menjadi bukti selesainya pekerjaan oleh si pemberi dana proyek sering tanpa niat untuk membaca dengan cermat apa yang tersirat. Namun, ia yakin suatu saat nanti laporannya akan dibaca oleh seorang atau dua atau tiga orang cerdas yang bisa ‘membaca’-nya sebagai protes terhadap keadaan absurd yang terasa semakin lama semakin memberati masyarakat.

Muatan kritik sosial di dalamnya juga nampak ketika pada suatu waktu Sarwono menjumpai anak sekolahan yang pulang cepat lantaran guru-guru sibuk rapat, juga perihal ‘keseragaman’. Mendengar jawaban si anak sekolahan,

Sarwono tertawa, tukang becak tertawa, anak-anak tampak seperti bingung lalu ikut-ikut tertawa. Seragam tertawa. Dan semuanya berlalu begitu saja seolah tidak ada kejadian apa-apa, seolah-olah tidak ada yang tadi tertawa. Sejak menjadi mahasiswa ia sering berpikir mengapa semuanya harus seragam, mulai dari baju sekolah sampai cara berpikir yang dikendalikan kurikulum yang seragam, yang harus ditafsirkan secara seragam juga. Tadi pun, mereka seragam tertawa seragam. Bangsa ini tampaknya akan menghasilkan anak-anak yang seragam.

Selain itu, kritik sosial juga nampak ketika Sarwono sebal lantaran tiga buah puisinya yang dimuat pada sebuah surat kabar seakan tak dihargai dengan tata letaknya berada di sudut halaman, “kalah meriah dibanding berita politik, kriminal, gambar-gambar yang semakin lama semakin berdesak-desak, dan iklan.

Kamu bercerita pula kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan, sementara keduanya berbeda, Sarwono beragama Islam dan Pingkan beragama Katolik,

Begitu keluar dari kota kedua orang muda Jakarta itu menyaksikan adegan yang biasa mereka saksikan di Jakarta: beberapa kelompok orang mencegat mobil untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan Rumah Tuhan. Bedanya adalah, di Jakarta Rumah Tuhan itu mesjid, di Menado tentu saja gereja.”

Pada hari Jumat, “Pingkan melihat jam tangannya, mendadak bilang, ‘Sar, ini kan dah jam setengah 12, Jumat. Pergi sana kamu ke Mesjid Gedhe. Nanti telat lho. Yen kowe telat, dongamu ora bakal ditampa. Naik becak yang tadi dipakai aja, biar cepat.’ … Selama mendengarkan khotbah di Mesjid Gedhe ia (Sarwono) tetap mendengar kata demi kata Pingkan di sela-sela seruan pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai apa pun, kecuali untuk mendekatkan diri dengan Allah. Itu perintah Allah, itu perintah Muhammad SAW, itu yang menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang lain, yang selalu mengingatkannya untuk mengharamkan kata ‘liyan’ dalam cara berpikirnya, Biarlah kata itu tetap ada di kamus, tetapi tidak perlu digunakan untuk mencibir, apa lagi menyiksa orang lain.

Bahkan mengenai nasionalisme Sarwono ketika ditawari untuk tinggal di negeri lain, “Ia (Sarwono) tidak ingin tinggal di mana pun kecuali di negeri yang menyenangkan karena selalu geger ini. Ia masih harus menuntaskan keinginan untuk blusukan dari pulau ke pulau agar bisa menghayati hal-hal pelik yang tidak akan bisa diuraikan, apa lagi ditata, tanpa didasari keikhlasan untuk memahami dan menerimanya.

 

Ketika terdengar suara gitar John Williams memainkan ‘Concierto de Aranjuez’, keduanya sepenuhnya diam mendengarkan, Pingkan mencium rambut Sarwono”,  “…ada Paco de Lucia, Pepe Romero, dan bahkan Joaquin Rodrigo sendiri, tapi bagiku sentuhan jari-jari Williams mewakili siutan angin Firdaus.”, “Tak tahu kenapa, aku ingat lirik lagu Norwegian Wood yang pernah kaubilang kau suka itu, she asked me to stay, and she told me to sit anywhere, so I looked around, and I noticed there wasn’t a chair”, “Ia merindukan Sarwono, yang suka berbagi earphone kalau sedang cari-cari bahan di perpustakaan kampus sambil mendengarkan “The Swan” versi jazz Bob James adaptasi yang dicuplik Le carnaval des animaux karya Camille Saint-Saëns. Ia benar-benar merindukannya.”, Arthur’s Theme  dinyanyikan Rumer, menjadi  playlist Pingkan ketika merindukan Sarwono.

Aku menunjukkan kepadamu ceklis catatan pinggirku. Setiap di mana Pingkan atau Sarwono mengutip sebuah judul lagu, maka aku berhenti  membaca sejenak, mencari lagu tersebut lalu dengarkan. Kupikir aku menyukai lagu-lagu para pecinta yang mabuk asmara. Sepertinya aku sedang menikmati kisah cinta gila ‘Layla Majnun’ tanah air ini.

Kau mengangguk.

Yang kumaksud adalah aku begitu menyenangi  bahasa cinta baik Pingkan atau Sarwono baik yang terucap ataupun tidak oleh keduanya. Tersampaikan atau hanya tergumam sebagaimana para pecinta yang masih menyembunyikan perasaannya terdalam. Seperti Pingkan yang suatu kali menyandarkan tubuhnya lebih rapat ke Sarwono, berbisik kepada dirinya sendiri, “Apa dosa dan salahku maka telah mencintai laki-laki Jawa yang sering zadul mikirnya ini?

Tentang kepekaan Pingkan yang meminta petugas restoran untuk mengecilkan suara musik lantaran memahami ekspresi Sarwono yang terlihat tidak nyaman. Atau Sarwono yang tanpa mengindahkan tata cara naik pesawat terbang, begitu mendarat Sarwono mengirim WhatsApp pada Pingkan, “aku rindu kamu, Ping.” Kecemburuan Sarwono pada Katsuo dengan memanggilnya Sontoloyo. Pingkan yang tak menjawab ucapan Sarwono melainkan merangkul Sarwono dan bertubi-tubi menciuminya di warung kampus. Pingkan yang cemburu kepada Dewi, asisten peneliti Sarwono. Pingkan yang hanya mau dengan Sarwono, “Maunya Sarwono, Pingkan hanya sama dia. Bodoh ya gak apa-apa, pokoknya sama dia saja.”.

Pingkan yang merasa cengeng pernah diam mendadak dan ingin menangis ketika Tante Keke membujuknya untuk meninggalkan Sarwono. Atau dalam rindunya Pingkan bilang, “ ‘Aku kangen, Sar’, disertai selfi yang sudah dikrop sehingga hanya tampak bola matanya yang seperti memantulkan kuntum sakura... Dan semua yang telah dilakukannya di Kyoto, semua kalimat dan gambar yang dikirimnya lewat dunia maya tidak lain adalah ungkapan dan sumpahnya bahwa ia mencintai sahabat kakaknya itu—tanpa walaupun tanpa meskipun.

Pingkan yang selalu memakai jaket ketika keluar malam lantaran ingat anjuran Sarwono. Pingkan yang tak berhenti menulis surat untuk Sarwono sebab ingin kertas berisi tulisan tangannya menjadi tanda kasihnya. “Aku sangat capek tapi harus nulis terus. Sar! Aku Pingkan, Sar, yang waktu masih SMP pernah nitip surat ke Toar dan dia bilang, ‘Kamu gila apa? Kan bisa WA atau e-mail aja ke Sar.’ Ya tapi aku ingin kau memegang kertas yang ada tulisan tanganku aku ingin kau merabanya dan membayangkan apa pun yang ingin kaubayangkan tentangku. Sar!”

Membaca itu malah kubayangkan ‘Pingkan’ Velove Vexia yang tergila-gila pada Adipati ‘Sarwono’ Dolken sebagaimana filmnya. Tak bisa membayangkan yang lain. Ini mungkin kekurangan kenapa aku malah menonton itu terlebih dahulu baru kemudian membaca novelnya.

Meski demikian, sesekali dibuatnya aku cemburu sebagai pembaca ketika Pingkan dan Katsuo waktu di Kyoto. “Pingkan hampir mabok ketika menyusuri sungai yang membelah Kyoto pinggirnya dipenuhi bunga sakura. Masih terasa dingin, dan Katsuo dibiarkannya memeluknya untuk mengusir hawa yang bisa mengurangi nafsu makan itu.” “Dan tampaknya gadis itu (Pingkan) malah merasakan sedikit rasa tenteram sehingga tidak ingin melepas tangannya. Ada yang dirasakannya mengalir lambat-lambat lewat jari-jari Katsuo menyusup ke telapak tangannya, semacam butir-butir halus selembut pasir yang turun lewat gelas waktu yang lehernya sangat sempit dan panjang berkelok-kelok persis spiral yang ujungnya di bawah tidak ketahuan wujudnya.

 

Hujan pada bulan Juni segera berakhir. Sementara langit, tetap menjadi tempat aku dan kamu menengadah, butiran air bak mutiara yang turun berangsur reda. Kau mencuri pandang kepadaku, sementara aku bertanya, “Apa ada yang indah selain dari puisi Hujan Bulan Juni?”

“Banyak!”

Catatan pinggir tersisa pada bukumu kemudian berbicara dalam benak kita berdua. Tubuh kita beranjak normal, lalu kita tuntun sepeda yang sedari tadi terparkir di swalayan di atas genangan air dengan bias cahaya warna dan warni yang menyelimuti tanah.

Bahwa kasih sayang ternyata tidak cabul, ternyata terasa semakin pesat lajunya walau waktu yang selalu tergesa-gesa terasa berhenti, ternyata bukan godaan untuk mendesah dan terengah.

Bahwa kasih sayang ternyata sebuah ruang kedap suara yang merayakan senyap sebagai satu-satunya harap yang semakin khusyuk pelukannya kalau senyap yang tanpa aroma tanpa warna tanpa sosok tanpa asesori mendadak terbanting di lantai kemudian melesat terpental ke langit-langit untuk turun perlahan sangat perlahan memeluk dan mem bujuk mereka berdua agar tidak usah mengatakan sepatah kata pun sedesis huruf pun sebab kata cenderung berada di luar kasih sayang

Dan kasih sayang tidak bisa disidik dengan kata sekalipun berupa sabda bahwa ketika berpelukan, mereka merasa seperti dituntun untuk sepenuhnya mempercayai bahwa kasih sayang tak lain adalah Kitab Suci yang tanpa kertas tanpa aksara tanpa surah dan ayat tanpa parabel tanpa kanon tanpa nubuat tanpa jalan tanpa karma tanpa gerak tanpa siut yang membujuk mereka membayangkan dua ekor kuda jantan dan betina yang saling menggosok-gosokkan lehernya di perbukitan ilalang yang menjanjikan tempat bertengger bagi butir-butir embun terakhir kalau cahaya matahari pertama bersinggungan dengan cakrawala.

 

Tiga Sajak Kecil

di jantungku
sayup terdengar
debarmu hening

di langit-langit
tempurung kepalaku
terbit silau
cahayamu

dalam intiku
kau terbenam

 

“Selalu ada yang terjadi tidak untuk bisa dipahami, tampaknya.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki keberanian untuk bertanya dengan tulus kepada diri sendiri kenapa ini begitu dan kenapa itu begini.
Selalu ada saat ketika kita tidak memiliki kemampuan untuk menatap tajam mata kita sendiri dan bertanya, Kenapa kau menyiasatiku begitu? Pertanyaan retoris yang sejawabannya tak lain, Kenapa kau menatapku tajam begitu?
Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak juga mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Kesana, Saudara, ke sana.”

“Hanya ada kasih sayang yang tidak diatur oleh siapa pun kecuali mereka yang berada di ruang kedap suara

Hanya ada perpisahan yang sejenak menyesakkan tapi yang segera disusul dengan jerit pertemuan kembali yang menjadikan langit mendadak tampak lebih biru dan laut kelihatan lebih cemerlang seperti cermin di bawah langit yang tak selesai-selesainya bersolek.”

 

Sumber Kutipan:

Novel Trilogi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

Bekas-Bekas Jari Tanganmu, Sapardi Djoko Damono

aldiantara.kata

 

Tumben sekali kau bersemangat membahas buku. Tak ada angin, tak ada hujan. Meski sekarang sudah memasuki bulan Juni. Dadak-dadak kau malah ingin bercerita soal buku Eyang Sapardi Djoko Damono; ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ alih-alih buku Hujan Bulan Juni.

Kau malah bilang meski puisi-puisi populer Eyang Sapardi begitu ngena’, tetapi kau bercanda bahwa kau ingin dianggap berwawasan luas dengan membaca buku Eyang Sapardi yang lain, agar tak melulu membahas Sapardi berarti puisi Hujan Bulan Juni dan Aku Ingin. Iya-iya kau serius?

“Ngga juga, sih. Siapa tahu sepenggalan saat membaca bukunya bisa aku kutip lalu dijadikan status WhatsApp.” Jawabmu.

“Quote a la a la … ”

“Lalu berpikir perihal kesenduan, membacanya pada sebuah kafe dengan kaca berembun, memandangi jendela sembari ditemani secangkir kopi. Tapi pada kenyataannya hasil fotonya nampak biasa saja, faktanya berada di kafe cangkir biasa dengan angel mainstream, ngga ada estetik-estetiknya.” Aku melanjutkan.

Kau merengut. Menyadari aku bercanda tapi benar adanya.

Lalu kau bercerita bahwa kau sedang membereskan almari bukumu yang sudah lama tak kau sentuh sejak sibuk dengan tugas akhir kuliah. Kau bilang yang penting beli dulu saja buku-bukunya, pasti ada waktu untuk nanti dibaca.

Aku jawab, “Iya kalau memang buku-bukunya akan terus utuh. Bulan lalu aku harus membuang beberapa buku yang sudah mendapat invasi rakyat rayap. Tinggal sesal kenapa mereka harus menyerang buku-buku yang belum tamat dibaca.”

Kau melanjutkan cerita, kau bilang, ketika membereskan buku-buku, tiba-tiba buku Eyang Sapardi ini kebetulan menyembul di antara yang lain, dibacalah sebelum dirapikannya kembali. “Eh di awal-awal beliau mengutip quote Robert Frost, ‘And of course there must be something wrong. In wanting to silence any song.’ ” Kau bilang jadi teringat dengan puisi terjemahan Robert Frost yang baru kau baca di rumah sastra www.diantarakata.com berjudul Stopping by Woods on a Snowy Evening.

Kemudian, aku mengajakmu untuk bergegas mencari tempat yang baik untuk berbincang. Selatan Kampus Bayangan terdapat banyak pilihan tempat nongkrong (cari waypay).

Katamu, meskipun kafe-kafe belakang kampus banyak sediakan buku, para pengunjung lebih dulu memastikan password waypay. “Buku-buku terjemahannya tak menarik.” Ucapmu ketus.

Meski percakapan kita terpotong dengan waiter yang mengantarkan pesanan, kau sudah sibuk mencari guratan pensil yang kamu tandai pada lengan buku, pinggirnya. Kau bilang membacanya dengan sedikit kantuk, bak kenangan yang menggelayuti kelopak matamu agar lekas beristirahat.

“Aku menandai rangkaian kata yang relate dengan keadaanku.”

Dengan demikian, pada masa yang akan datang, baris baca yang terlewat saat ini, bisa jadi akan mengena’ di kemudian hari. Piiih! Aku malah sibuk memperhatikan tahi lalat sebelah kiri bibirmu.

Kau mulai membacakan apa yang kau beri tanda, pada judul puisi pertama, “Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?

“/2/

Apakah kenangan bisa begitu saja meninggalkan tubuhku?
Ada yang terasa nyeri ketika sesuatu kebetulan kautangkap dalam kenangan, pada suatu pagi yang jeritnya bagai ombak, ketika perempuan itu dulu bertanya padamu tentang segala yang telah kaulalui, tentang bekas-bekas jari tanganmu yang masih bisa terbaca di seluruh tubuhnya. Kau tidak ingat benar apa yang ditanyakannya, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan kembali darimu. Ia toh sudah menjadi daun penanggalan yang tiap bulan kausobek dan kaucampakkan di tempat sampah.”

“Bicara kenangan, apa yang sebenarnya ingin ia dapatkan darimu?” diulanginya.

“Kalau lagi rindu kepada kenangan yang sudah jadi lampau, selalu ada harap mengulangi momen yang pernah, kan?”kau mulai berlagak menafsir.

“Sidang skripsi?” tanyaku.

(aku tak ingin menceritakan kelanjutannya, tapi kemudian dia melemparkan kepadaku sesuatu)

 

Ternyata, aku dan kau sama-sama suka dengan puisi “Rumput”. Banyak orang dalam kehidupannya yang menyimpan sesal dengan apa yang sudah dijalani dan yang jalan yang tak dipilih. Kita bacakan, bergantian.

“Seandainya tidak kuambil jalan ini. Jangan katakan itu. Sebab kau tidak bisa tawar-menawar dengan masa lampau. Dan tak boleh menyebut apa pun yang sudah pernah kaujalani, atau tidak pernah kaujalani, sebagai nanti. Sebagai bayangan dirimu sendiri.”

“Seandainya kulalui jalan yang satu lagi.
Jangan pernah mengucapkan itu sama sekali.
Kalau yang kaupanggil rumput memang harus rumput, ambil saja jalan yang menjulur di depanmu dan lanjutkan saja kehendak (kehendak?) yang telah melemparkanmu kemari. Sekarang ini.”

Jalan tak pernah berdusta
apakah ia harus membujur ke selatan
atau utara, apakah ia harus berkelok
atau lurus saja, apakah ia siap menerimamu
berjalan perlahan menyusurinya.

Jalan tak pernah diberi tahu di mana akhirnya,
tak pernah diajar merencanakan
arah selanjutnya; ia hanya boleh rebah,
begitu saja, dan menjadi sahabatmu.
Kauhayati atau tidak, ia jalan.
Yang menjulur di bawah
matahari. Ia tidak mengatur langkahmu
di kelokan itu. Ia tak lain jalan,
di bawah matahari.

Kelokan tak meributkan rumput, tak peduli apakah rumput memang harus rumput dan tidak boleh dipanggil lain, misalnya burung atau kijang. Yang bebas terbang, yang menggemaskan larinya.

Kelokan akan menerimamu dengan ikhlas, seperti kalau ia menerima hujan kiriman di musim kemarau. Seperti kalau ia menampung bulu bunga randu yang tak lagi dikehendaki angin. Seperti kalau ia menerima saja segala kehendak jalan. Ia, kau tahu, sungguh tulus.

Irisan buah naga menyisakan beberapa potong di piring meja, jamu yang kau pesan dan temulawak yang kupesan menyisakan sisa setengah. Menuju senja, klakson kendaraan mulai terdengar seperti bersahutan. Jam pulang kerja. Aku melanjutkan perbincanganmu denganmu. Suara menjadi samar, sekitar berputar tanpa kami sadari. Sementara puisi-puisi Eyang Sapardi yang telah kau tandai dengan pensil masih terus berbicara dengan sendirinya melalui suara latar.

Pertanyaan adalah hasrat
untuk meloloskan diri dari kelokan tajam,
pertanyaan adalah taruhan bagi kehendak
yang terus-menerus hanya dibayangkan.
Pertanyaan selalu kembali lagi
ke pertanyaan. Yang jawabannya
tersembunyi rapi dalam pertanyaan.

 

Puisi “Perihal Waktu” Eyang Sapardi berbunyi di alam pikiran kita.

Hei, hari apa kamu?
Kita saling menatap, padahal tak ada
siapa pun yang menyampaikan pertanyaan itu.
Kita mungkin memang ditakdirkan
untuk merasa bahagia, duduk di beranda.

Dan ketika mendengar tokek di belakang rumah
kita suka menghitung ya, tidak, ya, tidak,
dan ya –
kita pun merasa lepas dari angka-angka
yang rumit, yang mengaburkan pandangan kita.
Untuk apa kita harus merasa tidak bahagia?
Untuk apa laron melepaskan sayap-sayapnya
hanya untuk mendekati cahaya?
Untuk apa pula anak desa itu
berlayar ke negeri-negeri jauh
hanya untuk dikutuk menjadi batu?

Selembar angin yang melayang
entah dari mana dan tak ingin
jatuh ke bumi – dan udara menjadi biru
seperti langit yang memantulkan warna laut.
Kita mungkin memang diciptakan
agar ada yang pernah
merasa bahagia.

Hidup adalah penyeberangan
yang menggantung
antara rahim dan bumi.

Siapa yang menantiku di seberang?
Sungguh adakah yang menantiku?

Mungkin ada yang sejak lama menungguku
nun di sana, tetapi adakah jarak
antara yang ditunggu dan yang menunggu,
antara berangkat dan pergi,
antara tanah yang kita kenal
dan yang kita bayangkan pernah ada?
Kali ini aku sendiri, tidak mendengar suaramu
Kita mau ke mana?

Benar, kau pernah bilang tak perlu
membedakan pergi atau pulang,
mengosongkan atau mengisi teka-teki silang.
Stasiun bukan Pohon, bukan Bukit, bukan Gua –
stasiun adalah tempat orang gelisah
karena menunggu kereta, bukan Sabda.
Beberapa patah kata
di papan-papan itu hanya menunjukkan arah,
suara peluit sekedar isyarat –
selebihnya kitalah
yang berurusan dengan makna.

Apakah aku harus
memberimu selamat tinggal
hanya karena di stasiun?

 

Perbincangan kita kembali kepada buku puisi Eyang Sapardi, ‘Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?’ Aku sebetulnya iri ingin menjadi kursi yang kau sandari, sepertinya kau sudah mulai bosan. Aku sampai mengguratkan angka romawi menghitung berapa kali kau menguap. Dari dua puluh empat ayat puisi “Surah Penghujan”, menjadi sesi perbincangan yang terakhir, aku menyukai ayat dua belas, sementara kau menyukai ayat dua puluh.

penghujan mencari ujung akar dan melesat ke daun-daun
yang mengganggu pandanganmu
dan ia terus mencari ujung akar
Aku menyaksikannya menaklukkan urat pohon itu dan
menggoyang-goyangnya dan menekuknya dan merubuhkannya
dan sesudah itu menatapmu dengan penuh kasih sayang
dan katanya kenapa kau masih saja merindukannya? dan Aku
menyaksikannya menyerbu ke dalam kenanganmu yang terletak
jauh di lereng kemarau
*
dan Aku menyaksikanmu memegang dada kirimu.

 

Kau bilang sangat suka dengan amsal kemarau yang mampu mengeringkan bekas-bekas luka.

Kau hanya mencintai kemarau sebagai kemarau kau membayangkan kemarau bisa mengeringkan bekas luka-luka dan kau tidak mencintai penghujan hanya karena suka menjelma tanah hanya karena kau tak menginginkannya mengaburkan pandanganmu.

 

Sudah saatnya pulang.  Kau masih sempat menilik-nilik tanda pada buku, memastikan tak ada yang terlewat. Larut dalam waktu, menyisakan tempat yang mulai menyepi. Kau bilang bahwa kau akan membaca buku Hujan Bulan Juni. Meskipun kau sudah terlebih dahulu menonton Adipati Dolken dan Velove Vexia sebagai Sarwono dan Pingkan. Aku katakan kepadamu bahwa aku kini memiliki ketakutan dalam mengumbar rencana. Biasanya malah tak jadi dilakukan. Kau tak percaya mitos itu, ya?

Di atas motor matic sepulang kita, sama-sama membacakan “Sajak Tafsir

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat
untuk bisa lebih lama bersamamu.
Tolong ciptakan makna bagiku,
apa saja – aku selembar daun terakhir
yang ingin menyaksikanmu bahagia
ketika sore tiba.

dalam hati, tanpa menjaharkannya. Berhasrat. Membacakannya dalam kesunyian namun saling mengalamatkan kepada alamat yang jelas. Tolong, waktu! simpan kenangan ini pada sebuah tabung, agar bisa kutamui, sekali lagi, nanti.

 

Sumber Kutipan Puisi:

Sapardi Djoko Damono, Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro? (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2017)

Satu Nafas Dua Cinta dalam Asmaraloka

Oleh: Abenza’idun

 

Hujan.

Selagi masih musim hujan, menarik rasanya kita menambahkan bumbu pelengkapnya, iya puisi. Puisi masih menjadi jalan alternatif terbaik yang merupakan output dari ekspresi hati. Apalagi, kala musim hujan seperti ini. Hati akan auto-puitis, terlebih pada muda-mudi yang lagi kasmaran. Tidak hanya muda-mudi saja, karena yang dewasa maupun tua terpantau juga demikian. Mereka seketika menjadi penyair dadakan tanpa undangan. Namun, terkadang mereka tidak menyadari itu.

Membahas tentang puisi, cukup banyak buku antologi puisi yang familiar, semisal Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, Hujan Bulan Juni karya Sapardi, Puisi-puisi Cinta karya W.S. Rendra, Surat Cinta dari Rindu karya Candra Malik, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Joko Pinurbo, dsb. Namun, kali ini aku tidak sedang ingin membahasnya, hati tertuju pada sebuah buku antologi puisi karya sastrawan muda yang belum lama ini launching. Seingat saya pada 12 September 2020 di Kafe Main-main Jogja. Buah karya dari Usman Arrumy atau biasa disapa Gus Usman yang berjudul Asmaraloka: Puisi, Nada dan Cinta. Berisi 52 puisi yang ditulis antara tahun 2013-2020.

Secara keseluruhan Usman membawakan puisi-puisinya dengan bahasa yang cukup sederhana. Saking sederhananya justru sarat akan makna. Namun, tetap mudah dipahami tanpa harus menganiaya kamus dengan membolak-balikkan halaman per halaman.

Demi mata yang diciptakan
Untuk memandang matamu

Demi hati yang diciptakan
Untuk menanggung kesedihanmu
Aku bersaksi bahwa tiada cinta selain engkau.
(Kesaksian)

Kelopak mawar seketika layu
Begitu kusebut namamu

Bila kelak kehabisan suara
Aku akan menyerahkan namamu
Kepada mulut waktu
Dan berdetak di jantungku
(Namamu)

Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku melalui tanganmu

Aku jadi berharap bahwa kelak, entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui hatimu
(Asmaraloka)

Usman terlihat sengaja menggiring imajinasi pembaca selain untuk mencinta kepada yang dicipta sekaligus pada yang Mencipta. Dengan kata lain, mencintai keindahan ciptaan tuhan (eros) sebagai kekasih hati, menjadikan etos (keyakinan) terhadap yang Maha Rahman-Rahiim. Sehingga membentuk imanensi keajaiban Tuhan yang transendensi. Seperti yang diungkapkan oleh Jokpin (Joko Pinurbo) pada bagian pembukaan bahwa,

“Cinta dalam sajak-sajak Usman sering bermakna taksa pada saat dan ruang yang sama. Ketika ia berbicara tentang kekasih, kau dan mu, misalnya. Bisa tertuju sekaligus kepada kekasih sebagai persona insani dan ilahi. Dengan kata lain, sajak-sajak Usman acap kali memadukan cinta imanen dan transenden dalam satu tarikan makna.

Kalau orang jawa menyebut ngiras-ngirus (sekalian) atau dalam peribahasa sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Dari 52 puisi, Usman juga menyajikan musikalisasi pada delapan puisi (prolog, kesaksian, doa, asmaraloka, huruf cinta, rahasia cinta, sabda cinta, kidung kekasih dan jalan). Audionya dapat didengarkan dengan memindai kode QR pada halaman masing-masing pojok atas. Dengan adanya musikalisasi, pembaca tidak sekedar berimajinasi dengan visual belaka, melainkan juga meresapi lewat audio. Agar pengembaraan para pencinta benar-benar mengena dan terhipnotis seketika.

Namun sayang, menurut saya, ada kekurangan dari musikalisasi puisi tersebut. Karena dari beberapa puisi yang dimusikalisasikan, justru kehilangan marwah daripada puisi itu sendiri. Seakan tidak ada bedanya dengan sebuah lagu. Biasanya musikalisasi hanya penekanan pada intonasi, namun ini melibatkan cengkok-cengkok seperti bernyanyi. Walapun belum ada kesepakatan atau konvensi resmi mengenai musik puisi/ musikalisasi. Tapi, Silahkan cek saja.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini tetap recommended untuk para pengembara cinta yang hendak memburu targetnya. Dengan kesederhanaan bahasa (tidak rumit), sehingga dapat diserap oleh semua kalangan. Menjadi stok amunisi yang sewaktu-sewaktu bisa dilesatkan atau sekedar menambah referensi kata.

Mari hidupkan asmaraloka dalam kehidupan agar tidak ada ruang untuk membenci.

 

Jalan Kauman, Grobogan

Abenz

Inspirasta (Inspirasi Sastra)

aldiantara.kata

 

  1. “Saya selalu percaya bahwa inspirasi bukanlah sesuatu yang bisa saya datangkan, namun inspirasilah yang mendatangi saya” Djenar Maesa Ayu dalam pengantar dalam buku 1 Perempuan 14 Laki-Laki.
  2. “Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudra getar, cakrawala harapan.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  3. “Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu kamar. Suara kokok ayam. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  4. “Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak punya kesempatan untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Waktu Nayla” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  5. “Karena itu juga Wong Asu menulis? Membunuh kesepian. Memberinya terapi untuk diri sendiri.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  6. “Manusia dengan naluri anjing jauh lebih rendah daripada anjing.” Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Wong Asu” dalam buku Mereka Bilang, Saya Monyet!
  7. “Sastra itu bukan sekedar seni menyusun kata-kata, lebih penting lagi adalah bagaimana seseorang telah sampai kepada pilihan kata-kata yang disusunnya itu—yakni bentuk perhatian seorang penulis kepada dunia dan kehidupan sekitarnya.” Seno Gumira Ajidarma dalam testimoni buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  8. “Dalam kuliah itu ia mengatakan bahwa puisi-puisinya merupakan ‘Yoga bahasa’. Yaitu semacam ruang ibadah. Dan, kemudian ia lebih tebal mengatakan: ‘puisiku adalah sujudku’.” Catatan Editor buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  9. “Pernyataan Rendra dalam sebuah wawancara dengan seorang wartawan. ‘Mengapa Anda begitu berani melancarkan protes terhadap praktik pembangunan oleh pemerintah?’ Rendra menjawab, ‘Saya protes dan bersikap kritis terhadap pemerintah bukan lantaran saya berani. Malah sebaliknya, karena saya takut apa yang bakal menimpa anak cucu di masa depan.’ ” buku Doa untuk Anak Cucu – W.S. Rendra.
  10. “Jika kita membuka sejarah hidup sastrawan, menulis baginya adalah kebutuhan, dan sebab kebutuhan itulah maka penyair Carl Sanburg (Chicago, USA) tak demikian peduli apakah sajaknya mendatangkan uang atau tidak. Tetapi baginya, dimuat di jurnal Chicago Poems adalah menjadi harapannya, 20 tahun kontinyu Carl Sanburg mengirim sajaknya ke jurnal itu dan barulah dimuat. Setelah pemuatan pertama itu kemudian terus menerus karyanya dimuat, dan dalam tahun yang sama Sanburg, mendapatkan Pulitzer, hadiah terhormat USA untuk dunia kepenulisan.” Buku Sastra Pencerahan – Abdul Wachid BS

Pemikiran Progresif ‘Iqra’

Sejak kecil Eko memang telah diwarisi semangat membaca oleh ayahnya. Dimulai dari membaca koran mingguan yang dibawa oleh ayahnya, hingga majalah-majalah Islam yang mengaitkan antara iman dan gerakan sosial. Melalui Kyai Khasanuddin, Eko mulai tertarik akan diskusi. Membaca menyuguhkan kepadanya ide, gagasan dan petualangan.

Melalui pengalaman masa kecilnya, Eko seringkali menggandrungi setiap bacaan, hingga geram hendak mengubah bahasa ide menuju tindakan. Dengan demikian beliau tidak pernah menyukai buku pelajaran. Ditulis dengan dingin tanpa emosi. Sangat membosankan. Baginya, buku tidak sekedar bacaan, tetapi juga senjata. Setelah masuk kampus UII dan memimpin lembaga pers Keadilan, melalui wadah itu Eko mengasah kemampuan menulisnya sekaligus mempertemukannya dengan tokoh berikut ide dari ‘Dewa ilmu sosial’ seperti Paulo Freire, Antonio Gramsci Hingga Michel Foucault. Eko telah menemukan pasangan hidup sebenarnya: buku dan tulis menulis.

Bagi Eko, ‘Takkan pernah ada wahyu yang begitu progresif dan mendorong manusia untuk memeluk pengetahuan, kecuali perintah iqra…Maka saya memahami iqra sebagai perintah yang punya makna beraneka: meminta kita untuk tak menanggalkan kegiatan membaca, terus mendorong kita untuk membaca dalam kondisi apa saja dan jadikan bacaan sebagai ibadah utama. Melalui membaca saya benar-benar merasa punya iman.’

Buku Eko Prasetyo ini tidak saja kaya akan informasi, melainkan juga kritik sosial. Tanpa tiang pengetahuan, maka pengajian hanyalah ekspresi dogma dan doktrin. ‘Tak membuat ummat menjadi kritis dan pintar, tapi ngawur dan bodoh. Semua kreasi manusia dianggap bid’ah.’ Kebanyakan orang meyakini ajaran yang buta pada toleransi. Lebih banyak lagi orang yang percaya kalau agama tugasnya menghakimi.’

Eko juga mengkritik mengenai kondisi pendidikan sekarang. ‘Sekolah-sekolah agama dengan bayaran tinggi menjamur di mana-mana. Kerapkali metode mereka hanya hapalan dan disiplin buta. Tradisi pengetahuan yang membekali dengan kesadaran kritis dan kesangsian sirna. Anak-anak dilatih jadi pasukan penghafal yang gampang sekali diarahkan untuk membela maupun memusuhi yang berbeda. Pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan agama sebagai sentimen untuk meraup pelanggan. Bisnis agama apapun kini menghasilkan laba yang tinggi seiring dengan melonjaknya basis kelas sosial umat. Maka umat menjadi konsumen yang gila pada apapun yang berbau agama, film, kosmetik, busana hingga tempat kediaman.’

Semua hal di atas bagi Eko lantaran kita memang tak lagi mengamalkan iqra. ‘Mustinya beragama berarti merubah keadaan. Iqra merupakan jembatan kita memahami kitab suci. Diperkenalkan kita tentang potensi diri. Diberitahu tentang ancaman. Sekaligus disampaikan pada kita harapan. Melalui perantaraan Iqra kita jadi manusia yang memahami hakikat, peran dan fungsi. Itulah para utusan Tuhan yang menjadi monumen perubahan sosial. Iqra bukan kegiatan membaca saja melainkan aktivitas progresif yang menumbuhkan kesadaran paling militan.

Iqra tak lagi sebagai perintah ‘membaca’ tapi ‘mengubah, mengilhami dan menerangi’ jalan sejarahnya.’