aldiantara.kata
Teruntuk diriku, bumiku dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Kamu sedari kecil sudah berkarib dengan hujan. Bahkan dengan dirimu yang sudah menginjak fase dewasa, masih saja hingga kini membayangkan diri sebagai anak kecil yang bermain sepak bola di tengah hujan yang membuat girang bukan kepalang. Menyeleding bola di atas rerumput licin terguyur air suci langit. Rerumput yang menjadi bantalan tempatmu merebah, kamu masih berada di tengah lapangan, wajahmu dengan mata yang terpejam, dicandai rintik merintik. Matamu setengah terbuka lalu melihat rintik-rintik itu benar-benar jatuh dari langit yang abu.
Teruntuk diriku, bumiku dan hutanku, setengah abad yang akan akan datang.
Masa kecilmu yang tumbuh di perkotaan, sebelum virus candu gawai menjangkiti masa kecil anak-anak zaman sekarang, yang kamu dan teman-teman cari adalah sawah-sawah sekitar, sungai-sungai bening mengalir, serta lawatan petani-petani yang berpapasan, memarahi kami yang menginjak-injak lahan mereka, mencuri hasil kebun yang berbuah ranum hingga matang. Kamu bergelayut pada pohon rambutan, melempari biji rambutan kepada setiap orang yang lewat dengan jahil. Atau melempar buah yang telanjur busuk kepada karyawan-karyawan pabrik tak kamu kenal yang kebetulan lewat. Hingga orangtua menjewermu lalu meminta maaf kepada orang-orang. Alam ASRI bahkan menjadi lahan bermainmu yang masih kanak-kanak.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Jangan lupakan bahwa kamu tumbuh besar melalui buaian alam yang mengasuh. Bahkan dari kanak-kanak hingga remaja, di mana kamu belum pernah melihat hutan hingga akhirnya berkesempatan bertamu kepada Gunung Guntur. Menyalami pepohon yang rimbun tanpa memetik, membuat tenda, sembari mendengar bagaimana truk-truk mengeruki pasir pada dini hari. Kamu menikmati nyanyi angin malam yang menggoyangkan tenda. Hingga alam hutan menunjukkan kepadamu curug (air terjun) dengan air alam yang menyegarkan. Bahkan air yang kamu bekal dari mata air masih tetap dingin dan segar bahkan sekalipun supulangnya di rumah.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Kamu harus ingat bahwa setelah masuk perguruan tinggi, lagi-lagi kepada alam manusia banyak menumpahkan keluh kesah dari kepenatan rutinitas. Bersama teman-teman yang lain mengadakan penanaman pohon di lereng Merapi, mendaki banyak gunung di Jawa Tengah, seperti Merbabu, Sumbing, Sindoro hingga ke bagian Timur dengan Gunung Lawu. Wewangi tanah semerbak yang membuatmu hendak kembali mengusap. Melewati pemukiman warga yang sedang menjemur tembakau dengan aroma khas. Hutan-hutan sunyi gagah nan megah berdiri ajeg memberi udara segar kepada manusia yang memeluknya. Monyet-monyet sesekali turun dan berlarian.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Kamu harus ingat cerita Emha Afnan, kawanmu, kawasan hijau desa nya kini sudah dipersiapkan proyek-proyek pembangunan. Seorang pelajar muda bisa apa selain memberi pesan. Cinta kepada alam semakin menjadi-jadi setelah secara langsung melihat, menjadi ‘bidan’ yang membantu mengadopsi bibit pohon kemudian menanam langsung di lahan tersedia, juga sebagai pelajar yang mengembangkan literasinya, khususnya sastra. Tidak saja ayat-ayat kitab suci yang mendorong pemeluk agama agar memperhatikan dan menjaga alam tempat di mana manusia tinggal, namun juga suara sastrawan dengan mengutip banyak amsal keindahan alam. Tidak sedikit juga sastrawan dan aktifis yang mengutuk penebangan liar serta pengrusakan alam demi proyek yang tertuju hanya kepada laba.
Tanpa alam yang indah, bagaimana manusia menghilangkan penat. Bagaimana para pujangga menyusun diksi pada bait karyanya. Bagaimana manusia bisa hidup dengan ancaman bencana ketidak-seimbangan alam. Bagaimana manusia menyusun cerita-cerita kepada anak turunannya, selain soal pembangunan yang kian menggila.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Bencana tak melihat ras suku dan agama. Siapa lagi yang bisa menjaga alam selain manusia itu sendiri. Kamu membaca buku, namun kamu juga harus menjaga alam, barangkali hal itu salah satu prinsip yang relevan. Di antara sekian banyak pesan pesimis bahwa dengan membaca buku, hal itu berarti menebang pohon. Saat pandemi covid-19 melanda—kamu harus sadar bahwa surat ini ditulis ketika covid-19 menjadi wabah di seluruh dunia—dalam dunia pendidikan tinggi terdapat angin segar, penelitian akhir tak lagi menggunakan kertas yang diprint, melainkan melalui file yang dikirim via surat elektronik. Bahkan sebelum pandemi, banyak dari dosen-dosen yang sudah mengajarkan kepada mahasiswanya agar mencetak tugas dengan menggunakan kertas bekas. Kesadaran-kesadaran semacam ini ibarat api yang harus diperbesar.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Kamu harus ingat dengan kutipan bukumu yang pernah kau tulis pada buku diary, kau mengutip perkataan Alfons Taryadi, bahwa “Suatu impian, suatu cita-cita betapapun utopisnya, akan menuntun tangan kita untuk menarik garis yang mengacu ke sana dalam memetakan perencanaan di masa depan. Suatu garis yang mungkin lain daripada arah yang secara robot kita ikuti, kalau enggan sejenak berkontemplasi.”
Kamu juga harus ingat, bahwa tak setiap orang punya keberanian untuk menyuarakan hati nuraninya, bahkan tak punya bakat dan kepekaan untuk menyuarakannya. Dari sekian ribu orang mungkin hanya sekian sastrawan, sekian politikus, dan kolumnis sosial-politik. Karenanya, sastrawan, politikus, dan kolumnis dinanti dan diharapkan setiap orang di setiap zaman. Sastrawan dan kesusastraan sosial-politik selalu dinantikan orang, selalu dirindukan generasi muda dari setiap dekade. Itu merupakan kutipan dari Beni Setia.
Teruntuk diriku, bumiku, dan hutanku, setengah abad yang akan datang.
Aku penasaran jika surat ini sampai kepadamu setengah abad yang akan datang, apakah pesan optimis di daerah sekitarmu yang sudah terlebih dahulu menanam tanaman lewat plastik bekas air mineral yang menjadi potnya, sudah menjadi lahan kebun yang rimbun? Aku penasaran apakah pemandangan sawah-sawah dan pemandangan indah lain hanya bisa disaksikan di tempat jauh dengan biaya yang mahal? Atau keindahan alam dan hutan itu begitu dekat di sekitar kita. Aku penasaran apakah hutan dan segala keindahannya hanya terekam melalui dokumentasi sejarah, atau kamu menjadi bagian pelestari alam progresif, sebab masa lalumu membentukmu hingga masa kini dan masa yang akan datang. Pesan ini bukan saja untukmu dan manusia-manusia yang semasa denganmu, melainkan untuk manusia seluruh alam hingga turunannya nanti.