aldiantara.kata
Tulisan ini termasuk pada kategori ‘bukan sinopsis’ blog diantarakata. Sebab, aku merasa enggan gaya kepenulisanku seakan terjerat kepada struktur-struktur yang baku. Hingga saat buku ini kubaca, buku Creative Writing karya A.S. Laksana ini sudah menuju cetakan kelima yang diterbitkan oleh Penerbit Banana.
Aku terkejut lantaran tiba-tiba saja dalam beberapa saat, Sulak menyudahi dongengnya dalam memberitakan tip menulis kreatif dalam Creative Writing. Tidak terasa. Ia seakan-akan sedang mengajak pembacanya berjalan-jalan di taman, dalam perjalanannya itu Sulak menceritakan tip menulis kreatif dengan setiap masing-masing babnya yang berkait kelindan. Tulisan Sulak ‘menyengat seperti lebah’ yang kerap mengkritik penulis yang tak sabaran, sekaligus mengkritik penulis yang nampaknya ‘malas’ membaca dengan berdalih hendak menelurkan gagasan yang orisinil.
Suguhan Sulak ‘Melayang seperti kupu-kupu’ lantaran ketika mendongengkan tip menulis kreatif dengan menggunakan analogi sehari-hari agar mudah dipahami, kerap membuat imaji pembaca melayang-layang terbayang pada penuturan analogi cerita Sulak. Nampaknya ia begitu mengagumi Muhammad Ali dengan mengutip sebaris kalimat puitisnya yang kesohor kala berduel tinju, “Menyengat seperti lebah, melayang seperti kupu-kupu” sekaligus mengungkap fakta Muhammad Ali yang kerap menulis dan membacakan puisi yang ia buat guna mengejek calon lawannya sebelum bertanding.
Sapaan pada awal tulisan dari Sulak, panggilan akrab A.S. Laksana, sudah memberi poin penting dasar kepenulisan, “Karena itu, beri kesempatan kepada tangan Anda untuk melakukan apa yang memang menjadi kesukaannya.” Yaitu dengan memberikan kebebasan terlebih dahulu apa yang menjadi kegelisahan pikiran dari penulis, tentunya sebelum masuk kepada pengolahan selanjutnya.
Baca juga: Self Healing dengan Berpuisi di Iran
Sejenak, pikiranku asik sekali, mempertanyakan mengapa Sulak menaruh bab ‘Bacalah’ pada bagian akhir, padahal aktifitas menulis dan cara menjadikan gaya tulisan yang mengalir seringkali didahului oleh aktifitas membaca.
Aku belum banyak membaca tulisan-tulisan Sulak, namun buku ini menunjukkan betapa luas pemahaman serta kreatifnya Sulak dalam menyajikan tulisan-tulisan di dalamnya, salah satunya dengan mengutip cerita pada film Fahrenheit 9/11 garapan Michael Moore yang tampak mengolok-olok pemerintahan era George W. Bush yang dinilai tak becus dan serampangan. Sejatinya fokus Sulak bukan pada kritik Michael Moore pada pemerintahan Bush, melainkan pada tulisan di ruang kelas, tempat Bush berdiri kala menceritakan buku kepada anak-anak, “Membaca membuat negeri kita besar.”
Sulak mengkritik pendidikan di negerinya, “Tulisan semacam itu, atau yang bunyinya mendekati itu, tak saya jumpai di ruang kelas SD saya.” Selain itu, “Memang SD saya tidak memiliki perpustakaan sehingga tulisan semacam itu jika ditulis di dinding mana pun, hanya akan menjadi slogan yang mubazir. Guru-guru saya pun tidak ada yang pernah menganjurkan agar murid-murid banyak membaca. Mungkin mereka sendiri pun kurang membaca. Yang biasa mereka sampaikan adalah nasihat agar kami, murid-murid yang selalu naik kelas maupun yang kadang tidak naik, menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa.”
Perpustakaan sekolah yang seadanya, di dalamnya berisi kumpulan buku-buku hibah yang lawas dan tak menarik, sebagian besar berdebu, dijaga oleh penjaga yang cuek dan tak suka baca buku serta perihal sebagian guru-guru yang kurang membaca menjadi kritik keras. Visi dan misi menjadi negara besar yang tak ditopang dengan semangat membaca, seakan Sulak katakan bahwa semua itu sia-sia jika para manusianya yang tidak menggandrungi aktifitas membaca.
Sulak berdongeng, “Pikiran Anda, sumber kekuatan imajinasi Anda, tak beda dari perut Anda dan seluruh organ tubuh yang lain: ia perlu makanan.” Maka bahan bakar terbaik bagi pikiran adalah membaca. Creative writing, menulis kreatif, pada perjalanannya tidak bisa tidak dengan membaca!
Namun, apa yang dibaca tentu perlu dituangkan kepada tulisan, sehingga terjadi dialog antara apa yang dibaca, dan terjadi di sekitar pembaca. Sangking gemasnya, Sulak bahkan menyarankankepada calon penulis agar menulis tanpa ide, menulis dengan buruk, serta menulis cepat. Menulis tanpa ide pada intinya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide.
Menulis dengan buruk, sejatinya Sulak memberi saran agar menulis tanpa beban, jangan berekspektasi tinggi, serta hal terpenting, mencurahkan apa yang menjadi kegelisahan, “…draf pertama yang buruk, ketika ia ada, akan jauh lebih baik dibandingkan tulisan sempurna, tetapi tidak pernah ada.” Sulak seakan hendak katakan, “tulislah apa yang berada di pikiranmu.”
Menulis cepat, berarti segera tumpahkan kepada tulisan, sebelum ide-ide, kegelisahan yang berkecamuk pada alam pikiran serta merta sirna. “Seorang penulis yang baik biasanya juga pencatat yang baik. Mereka mencatat hal-hal penting yang mereka dapatkan dari bacaan. Mereka mencatat kejadian-kejadian yang menarik perhatian mereka.”
“Perkara mood itu hanyalah kemanjaan yang harus diperangi.” A.S. Laksana –
Baca juga: Bekas-Bekas Jari Tanganmu, Sapardi Joko Damono
Analogi Sulak, seringkali terambil dari ilustrasi-ilustrasi sederhana kehidupan sehari-hari, begitu memudahkan pemahaman kepada para pembacanya, seperti kala menjelaskan perihal ‘Jangan menulis sekaligus mengedit’ lantaran ekspektasi penulis yang menginginkan secara instan tulisan bagus pada saat itu juga, Sulak menyuguhkan analogi menarik dengan membayangkan penulis sebagaimana halnya tukang bangunan. “Pasir, batu dan semen tidak akan pernah kita nilai keindahannya. Yang dinilai keindahannya adalah bangunan yang tercipta dari bahan-bahan tersebut,”
“Mungkin hanya penulis yang tidak sabaran yang ingin menulis sekali jadi.” A.S. Laksana –
Adapun pada bagian ‘Show, Don’t Tell’ Sulak banyak menyuguhkan beberapa contoh di mana ia menekankan, bahwa yang terpenting adalah menuangkan gagasan terlebih dahulu. Sebab selalu ada waktu pada upaya penajaman tulisan. Ada diantarakata menarik pada bagian ini yang kutandai.
“Mengongkretkan konsep-konsep abstrak (cinta, benci, dendam, sedih, frustasi, marah, dahsyat, cantik, pengap, dan sebagainya) pada intinya adalah mencari pengucapan tidak langsung terhadap sebuah konsep, dan ini memerlukan detail yang cermat, ingatan yang baik atas kejadian-kejadian, dan kepekaan terhadap keseharian. Anda bisa mendeskripsikan tentang pengap tanpa menggunakan kata itu sama sekali. Anda bisa melukiskan cinta tanpa menggunakan kata itu sama sekali. Anda bisa menyampaikan hati yang pedih tanpa menggunakan kata pedih sama sekali.”
Sampailah daku kepada kata-kata Ernest Hemingway yang kujumpai dalam buku ‘dongeng’ Sulak ini, “Kekuatan emosi tidak lahir dari kata-kata besar, ada kata-kata yang lebih simpel, lebih baik, dan lebih lazim, dan itulah yang digunakan. Kemudian Sulak mengutip ungkapan Isaac Asimov, bahwa rahasia menulis produktif adalah menulis dengan simpel dan apa adanya, yakni dengan menjadi diri sendiri. “Anda hanya bicara dengan cara yang mudah dipahami, dan dengan gaya apa adanya (kecuali Anda politisi yang terbiasa di panggung dan menganggap teman Anda adalah konstituen partai Anda).” Lagi-lagi Sulak ‘menyengat seperti lebah’, menyindir politisi yang selalu berbelit-belit dalam membela pendapatnya.
Sulak sadar bahwa dirinya penuh kekurangan, terlepas dari segala pencapaian hebatnya. Maka aku memahami, bahwa cara terbaik menunjukkan tip menulis kreatif adalah dengan menunjukkan bacaan atau kutipan hebat dari para penulis hebat dunia, sebagaimana yang dilakukan Sulak pada ending bukunya, ia mengutip tulisan Malcom X yang diterjemahkan dari “Coming to an Awareness of Language” yang dimuat dalam Language Awareness. Di dalamnya menunjukkan kesederhanaan kata-kata yang digunakan Malcom X, perjalanan pengetahuan dan pembelajarannya yang justru banyak diambil ketika dirinya di penjara, sehingga satu-satunya cara untuk meningkatkan kemampuan apapun dalam hidup adalah dengan cara melatihnya.
Bila ada pertanyaan, apakah sembari menulis ‘Bukan Sinopsis’ ini, aku sambil mempraktekkan kiat-kiat menulis kreatif a la Sulak? Bisa iya bisa juga tidak. Aku juga hendak berapologi bahwa aku adalah tukang bangunan yang sedang membangun, sembari melihat gedung indah yang sudah jadi! Namun yang pasti, sekaligus pula aku sedang mempraktikkan prinsip Isaac Asimov dengan menulis secara simpel dan apa adanya. Menjadi diri sendiri. Diterima? Diterima? Heuheu.