aldiantara.kata

Futsal

Usai ku bermain futsal, setelah bel bunyi pertanda waktu habis, bila jadwal sedang padat, biasanya menjelang berakhirnya waktu, sudah ada tim bersiap menunggu ganti.

Aku dan teman-teman pun tidak langsung pulang, melakukan pendinginan setelah olahraga, berbincang, atau sekedar duduk melepas lelah mengatur nafas.

Sudah beberapa kali aku futsal di tempat ini, biasanya para mahasiswa atau karyawan yang juga menyewa lapang.

Aku dan teman-teman baru selesai futsal tepat pukul 21.00. Bagiku cukup dan tidak terlalu malam.

Aku berjalan keluar lapang, terlihat sudah ada yang menunggu untuk berganti. Terlihat seperti pengajar pondok pesantren, ustadz, atau musyrif. Mereka membawa tiga orang anak kecil seusia sekolah dasar.

Sebagian dari orang dewasa terlihat melakukan peregangan, pemanasan, berlari-lari kecil, adapun anak-anak kecil baru memasuki lapangan setelah menghabiskan siomay yang dibelinya di luar lapang. Mereka hanya melakukan pemanasan dengan passing dan shooting bola.

Tak lama seseorang datang belakangan, membawa sebuah bola, sepertinya memang bola bawaan pada tempat itu tidak terlalu enak dipakai.

Hal menarik yang kuperhatikan adalah mengenai pakaian yang mereka kenakan. Setengah dari mereka masih mengenakan peci putih. Beberapa di antara mereka menggunakan celana training, sebagian kenakan celana sontog, bahkan ada yang menggunakan sarung!

Akhi, ngerasa (nafas) sesak, ndak? Atur nafas saja.” ucap salah seorang dari mereka.

Aku memang tidak mengerti apakah cara mereka berpakaian berdasar kenyamanan yang relatif seperti itu atau memang memilih jalan keyakinan agar tak terbuka aurat?

Permainan mereka atraktif, shooting cukup kuat, meski sebagian mereka tak gunakan sepatu. Meski kutebak usia mereka rata-rata di atas tiga puluhan, mereka nampak tak cepat lelah. Ah, kenapa aku memframing mereka dan pakaiannya dengan golongan herbalis, peminum madu dan habbat sauda’?

Saat aku melihat mereka bermain, yang kupikirkan, apakah kegiatan itu tak buat mereka ingat soal peristiwa Karbala ketika Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib wafat terbunuh? Apakah saat mereka menendang bola, mereka merasa tak menghormati kepala Imam Husain? Bagaimana soal hadis Nabi mengenai olahraga yang dianjurkan seperti memanah, berkuda dan berenang?

Memang aku tak sampai merasa kafir ketika aku dan teman-temanku mengenakan celana pendek, berkaos kaki panjang.

Beberapa teman-teman sesekali berucap takbir. Atau sekedar bersuara yang cukup didengar kalangan mereka.

“Allahu Akbar!”

“Astaghfirullah”

Meski kusadari, beberapa dari mereka pun menyadari tatapan-tatapan yang aneh dari sekelilingnya, berikut komentarnya.

 

Komentar

Meski sedikit tercium bau anyir politis, tak sengaja memang aku mengikuti berita perseteruan antara Artis Nikita Mirzani dan Ustadz Maaher at-Thuwailibi. Saling berbalas sindirian. Membaca setiap tweet diantarakata mereka buatku berpikir, kenapa aku suka dengan keributan?

Memang tidak sekedar sabab musabab yang kuperhatikan, melainkan komentar-komentar netizen yang saling hujat, berkubu, bahkan beberapa nya ‘menyindir’ dengan ayat al-Qur’an.

Karena Nikita seorang wanita, yang dianggap menghina Habib Rizieq, seorang netizen menyitir hadis Nabi saw. mengenai kebanyakan perempuan akan masuk neraka, ‘Aku melihat ke dalam Surga, maka aku melihat kebanyakan penduduknya adalah fuqara dan aku melihat ke dalam neraka, maka aku menyaksikan kebanyakan penduduknya adalah wanita.

Ada juga komentar yang berusaha menengahi dengan menyitir ayat al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sebagian  pembela lain menyitir al-Qur’an surat 53 ayat 32, “…Jangan engkau menganggap dirimu paling baik/suci, sesungguhnya Allah lebih mengetahui siapa orang yang paling bertakwa.”

Beberapa waktu kemudian, sitiran hadis tentang kebanyakan wanita masuk neraka, dicounter dengan riwayat hadis lain mengenai seorang pezina yang diampuni Allah setelah memberikan minum kepada seekor anjing yang hampir mati kehausan.

Cacian kotor pun bahkan “mendapatkan” ayatnya! Seakan bersikap keras dengan menghina dan bersikap kasar kepada sesama manusia merupakan perintah Tuhan, seorang ustas bahkan melegitimasi perbuatannya sebagai sebentuk jihad, melabeli kaum yang tak sepaham dengan kafir dan munafik. Lagi-lagi menyitir sebagian ayat al-Qur’an, kali ini Surat at-Taubah ayat 73.

Dalam kolom komentar, ada yang menghujat, atau sekedar membela satu dan lain. Tak tahu cara bedakan mana akun asli ato fake. Akun yg diaktifkan ketika untuk menghujat, semua gunakan topeng. Apa hanya dengan menggunakan topeng manusia bisa jujur? Atau sebuah bukti bahwa kita menyadari bahwa hujatan sebetulnya bukan hal baik. Ah memang, puasa yang baik adalah puasa menahan diri untuk tidak menghujat, berlalu menahan amarah, jeda, lalu berpikir “tidak seharusnya” aku menghujat.

Bahkan kini kesyahduan takbir berdampingan dengan ucap anjing-babi sebentuk makian. Anjing-babi yang lucu dan tak bersalah disitir urat manusia sebagai sumpah serapah.

Sebentar.

Apa jangan-jangan aku yang salah? Cara kita menghujat itu memang tanpa emosi? Itu budaya kita! Sudah kah anda menghujat hari ini?

 

Manusia memang khalifah fil ardh (Pemimpin di muka bumi), aku rasa agama apapun secara substansial setuju akan hal itu. Tapi, kini khalifah berebut kuasa, berebut pengaruh, berebut firman Tuhan. Menyerang atas nama Tuhan! Khalifah dipaksa bertikai dengan ‘khilafah’, apa kiamat terjadi karena bumi yang tak kuat menopang manusia manusia yang kian bengis? Hipokrit, mengatur Tuhan, menunjuk hidung orang berdasar ayat yang diperebutkan!

Daripada kelak harus dihantam gunung dan laut yang meluap, kebencian kepada sesama ibarat racun yang memakan tuannya. Manusia akan mati dengan sendirinya dengan dendam. Bahkan sebelum kiamat tiba.

Manusia keblinger. Membuat kitab suci untuk tuhannya sendiri, nafsinya sendiri, kemenangan dirinya sendiri, mahakuasa Aku, yang sejatinya lemah.

Kitab suci telah “hilang”! Siapa mau tunduk? Semua taat pada penafsirannya masing-masing, yang dianggapnya kebenaran tunggal. Yang suci adalah kitab suci, bukan penafsirannya.

Kulit bukan lagi merujuk kepada warna putih, hitam, kuning atau sawo matang, tapi masing-masing sudah ada stempel-stempel keAkuan dan ormas.

 

“…kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah” (2 Korintus 2: 17a)

Televisi beternak bencong
Pamer aib bersama politisi songong
Cendekiawan ngomong sesuai pesanan
Agamawan KW disulap jadi perlente
Nabi palsu bersurban kekuasaan
Ditahbiskan oleh malaikat gadungan
Lantas, jingkrak-jingkrak bersama para iklan
Menyanyikan jingle  kemewahan
Usai ceramah dangkal di alam maya
Tentang surga yang selalu memabukkan
Atau neraka yang senantiasa mengerikan
Sambil merangket Tuhan
Mereka berebut firman-firman keutamaan
Atas nama pribadi dan kaum segolongan

Puisi Gus, Bicaralah! –Sosiawan Leak

Seperti bola! Ayat diperebutkan! Kitab suci tak lagi jadi penengah. Pemuka agama, tiada tajinya berhadap media.

Sedikit

Ah tidak-tidak, sedikit saja. Aku hendak mengatakan sesuatu, tanpa tahu harus meletakkan pada rimba kata-kata apa, semacam nasihat untuk diriku sendiri, “Aku yang harus bertanggung jawab dengan ide-ideku, jangan tunjuk hidung orang lain.”