Setiba-tibanya, teramat kuatnya pikiran terjaga menuju pagi. Rindu menjumpaimu sebagai embun. Serta lanskap yang menjemput kerlap mata tanpa kabut, menyebut namamu dalam cemas. Dalam suara yang senyap, memanggilmu. Tersisa puisi Hujan Bulan Juni yang kubaca lamat-lamat, diksi-diksi Sapardi menari, membawaku kepada suasana lawas. Tapi sosok Pingkan telah menjelma dirimu. Muara bagi larik larik sajak. Namun lekas senyap tinggal bayang-bayang. Dirimu tanggal dalam pikiran. Suara parau. Tawa yang memecah kesunyian malam.

Serenada yang lekas habis menuju gelap cahaya. Bait-baitnya yang berkemul menuju pagi. Jeda kata. Ada di antara kita. Di antara waktu. Di antara hujan. Di antara jarak celah dan rumpang.

Engkau mengisi. Aku dan kata-kataku mengaisnya sebagai puisi. Menyabotase pandang pada alam ingatan. Tentang ujaranmu, malam itu. Seperti puisi Sapardi “Kukirimkan Padamu”, ujarnya “Aku tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada.” Maka engkau, tentu saja ada, meski tak wujud hadir menyapaku dalam nyata. Bukankah ada, yang tiada?