aldiantara.kata
Penyintas Kusta Bisa Sembuh!
“Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta”. Slogan tersebut tertulis pada baju yang digunakan Rizal Wijaya ketika memandu Talkshow Ruang Publik KBR yang kusimak melalui kanal YouTube KBR. Acara tersebut diselenggarakan pada tanggal 20 Desember 2021 yang mengundang narasumber Dr. dr. Sri Linuwih Susetyo, SpKK (K) selaku Ketua Kelompok Studi Morbus Hansen (Kusta) Indonesia PERDOSKI serta Dulamin selaku Ketua Kelompok Perawatan Diri (KPD) Kec. Astanajapura Cirebon.
Tema acara ini menarik, yaitu, “Yuk, Cegah Disabilitas Karena Kusta!”. Tanda seru yang menandai akhir tema tersebut menandakan penyakit tersebut perlu mendapat perhatian khusus. Upaya penanganan penyakit kusta memang mendapat tantangan tersendiri mengingat stigma tinggi yang diarahkan masyarakat kepada penyintas. Bahkan sebagian masyarakat ada yang menyebut kusta sebagai penyakit kutukan. Dilansir dari blog Kementerian Kesehatan, “kusta merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, jaringan dan organ tubuh lain (kecuali otak) dan menimbulkan kecacatan atau disabilitas.”
Penyakit kusta dapat disembuhkan. Namun fakta tersebut berhadapan dengan realita di lapangan berdasarkan survei terkait banyaknya diskriminasi yang dialami penderita kusta baik di lingkungan keluarga, maupun di sarana dan pelayanan publik, seperti dipisahkan dari pasangan (diceraikan), dikeluarkan atau tidak diterima di pekerjaan, ditolak di sekolah, tempat makan, tempat ibadah, pelayanan kesehatan, dan fasilitas umum lainnya.
Hal-hal tersebut pada faktanya seringkali menghambat penemuan kasus kusta secara dini, pengobatan penyintas, serta penanganan permasalahan medis yang dialami oleh penderita maupun orang yang pernah mengalami kusta. Upaya menghilangkan stigma tersebut tentu membutuhkan komitmen dan kesepahaman baik dari penderita maupun masyarakat. Penyakit kusta kiranya perlu mendapat perhatian khusus, sebab bagi para penyintas penyakit ini, dalam proses penyembuhannya, perlu konsumsi obat yang tidak bisa tertinggal barang sehari dalam jangka waktu yang cukup lama. Sementara itu, kondisi saat ini perhatian medis masih terfokus dalam penanganan Covid-19. dr. Udeng dari pihak organisasi NLR, menjelaskan bahwa pemeriksaan kusta harus dilihat secara langsung oleh dokter atau pihak medis untuk memastikan apakah seseorang terkena kusta atau tidak. Adapun melalui telemedisin hanyalah upaya membantu saja. Telemedisin hanya membantu mengarahkan, selebihnya perlu pemeriksaan lebih lanjut dengan diperiksa dengan kapas, gangguan fungsi saraf, dan lain-lain.
Selanjutnya, setelah menyimak Talkshow Ruang Publik KBR, penulis merasa tepat kiranya Ruang Publik KBR mengundang kedua narasumber sebagaimana tersebut di atas. Narasumber Sri Linuwih mewakili pihak dokter yang menangani penyakit kusta, sementara Dulamin mewakili penyintas dan yang mengetahui kurang lebih keadaan di lapangan terkait kondisi para penyintas.
Cerita Dulamin sangat menarik!
Cerita menarik Dulamin justru diketengahkan setelah obrolan begitu mengalir. Dulamin bukan sekedar seorang yang mewakili dari Kelompok Perawatan Diri (KPD) terhadap penyakit kusta, melainkan dirinya sendiri merupakan seorang penyintas kusta. Bahkan ketika beliau sudah berusia 35 tahun dan memiliki anak. Hal ini bukan soal keterlambatan dalam pemeriksaan ke dokter. Ketika Dulamin memeriksakan diri ke dokter, justru dokter tidak melihat apa yang dikeluhkan Dulamin sebagai penyakit kusta. Namun setelah beberapa tahun barulah diketahui bahwa apa yang dideritanya merupakan penyakit kusta.
Penulis menangkap bahan refleksi yang bisa diambil adalah bahwa Dulamin menjadi jembatan penghubung antara pengetahuan medis dirinya sebagai penyintas dalam rangka memberikan edukasi penyintas lain agar dapat dengan telaten merawat dan mengobati luka akibat penyakit kusta yang dideritanya agar nampak bersih dan tidak menjijikan. Dulamin juga dalam Talkshow menceritakan dirinya yang mengedukasi para penyintas (sekitar 20 penyintas) agar menyesuaikan perilaku hidup agar penyakitnya tidak menular kepada orang lain. Misal Dulamin mengatakan bahwa ketika tangannya yang terkena kusta, maka ketika hendak mengambil sesuatu, hendaknya menggunakan sarung tangan.
dr. Sri Linuwih menjelaskan bahwa meskipun indikasi penyakit kusta mengarah kepada disabilitas, namun hal ini bisa dicegah dengan mengedukasi para penyintas. dr. Sri Linuwih menjelaskan bahwa Penyakit kusta dapat mengarah pada disabilitas lantaran kuman-kuman dari penyakit ini menyerang kepada saraf, hal ini yang menyebabkan mati rasa dan tidak disadari, pada akhirnya mengarah kepada cacat. Beliau juga menganjurkan agar segera memeriksakan ke dokter ketika menemukan bercak merah atau putih pada bagian kulit, satu atau banyak, atau ketika keadaan mati rasa. Maka hendaknya segera memeriksakan ke dokter, baik umum atau spesialis agar segera dipastikan apakah hal tersebut indikasi kepada penyakit kusta atau bukan. Adapun gejala bercak-bercak hingga cacat membutuhkan beberapa tahun. Sehingga sebelum terjadi disabilitas, penting untuk segera memeriksakan diri ketika menemukan gejala-gejala penyakit kusta tersebut.
Pentingnya Dukungan Terhadap Penyintas Kusta!
Tidak ada seorang pun manusia kiranya yang berencana untuk mendapatkan penyakit. Dengan demikian, seorang penderita suatu penyakit pada dasarnya merupakan ujian kehidupan. Namun, apa jadinya bila seorang penyintas yang bertekad untuk sembuh justru mendapat stigma negatif hingga perlakuan diskriminasi dari sosialnya. Penyakit kusta bisa disembuhkan! Namun demikian, upaya ini perlu didukung oleh semua pihak. Selain dirinya sendiri agar bertekad untuk sembuh, terutama keluarga harus memberi dukungan secara penuh. Sementara itu, kesadaran untuk mengedukasi penyintas kusta, sebagaimana yang dilakukan oleh Dulamin, sangat penting semangatnya untuk ditularkan. Edukasi dan dedikasi yang ia berikan, hal ini sedikit banyak tentu sebagai bentuk upaya mengentaskan stigma negatif sebagian masyarakat yang belum tercerahkan perihal penyakit kusta. Ayo, Indonesia bebas kusta. Penyakit Kusta bisa disembuhkan!
Tinggalkan Balasan