aldiantara.kata
Cinta seharusnya tak dibicarakan, Juwita
tetapi kau dengarkan
Dari dada retak seorang penyair, cinta meneriakkan namamu.
-Mohammad Ali R, “Teriak Cinta”
Akhirnya, memiliki waktu juga. Membaca puisi, tanpa dikejar atau mengejar deadline tugas yang tak kian surut. Apakah waktu benar-benar bisa dimiliki. Mu yang berlari. Ku yang diburu atau memburu.
Seberapa tahan membaca sebuah puisi hingga tuntas. Dari sekian upaya menyerah dalami makna.
Pun jika hanya membaca puisi-puisi souvenir. Puisi tidaklah hanya. Ia adalah jelmaan kerumitan kehidupan manusia yang disampai secara indah, bahkan sekali pun kelam. Puisi tidaklah cuma. Puisi paduan ragam indera yang disampai melalui aksara. Pun jika membaca puisi-puisi souvenir. Puisi bukanlah pun. Ia adalah aksara-aksara pembawa suatu pesan penyair dalam lingkup tempat dan zamannya.
Ya, aku sedang membaca puisi souvenir. Tanpa hanya, cuma, dan pun.
Penyair menahan waktu. Ia menuliskan tempat tinggal dan tanggal setelah bait terakhir. Jejak di mana penyair merebahkan aksara-aksaranya. Meski bukan sebagai nama jalan. Namun sebagai jelmaan ingatan yang sangat pribadi. Melibat indera penglihat, pendengar, perasa.
Seperti manuskrip yang akan dikenang tiga windu mendatang. Tercecer. Bahkan puisi-puisi souvenir tak membutuhkan ISBN. Dengan ikhlas bercerita. Entah telah berapa gelas kopi yang telah dihabiskan. Gelas kecil minuman yang tak lebih memabukkan ketimbang kecamuk alam pikirannya. Atau sesi bercinta yang tak membutuhkan jeda.
“Sudahlah. Kau membual seperti politisi. Cepat ceritakan puisi-puisi di dalamnya.” Kau tak sabar hendak kubacakan.
Puisi Mohammad Ali R, Wajah Temaram.
Sayup-sayup wajah sore hampiri beranda
Senja perlahan melambaikan siluet
Angin sepoi menggoyang barisan padi
Temaram laksana keredupan hati
Di bawah lampu-lampu neon kedai kopi
Sepi seakan tak terbendung lagi
Kibarkan bendera tentang malam
Kau menjelma secarik puisi kesepian
Aku dengan sisa-sisa rindu yang kau telantarkan
Merenggut makna atas kemerdekaan
Tak gentar aku bak darah juang
Meleleh di bawah kumandang adzan
Sisa ampas kopi selalu tersia-siakan
Meratapi siksa tuan penikmat
Kau ingin datang
Atau, sebatas menjadi bayangan.
Bantul, 25 Maret 2018
Kau menyeka mata. Barista mulai bersiap-siap close order. Suara kendaraan terparkir berhambur pergi beralih. Ada yang pergi menuju bulan. Atau bersarang pada dahan pohon. Mencari kunang-kunang, atau tongeret yang terenggut habitatnya. Polisi menyisir kedai-kedai kopi memberi suplai yang kurang asupan tembakau. Mereka berteriak, “Sastra-sastra koran mulai membosankan.”
Puisi Mohammad Ali R, Kisah
Baru saja aku pergi meninggalkan senyummu
Aku bersaksi atas keindahannya
Aku ingin waktu yang kekal
Diam tak berderak
Ketika aku tiada,
kau tetap indah,
bahkan selamanya
Tak jadi masalah,
Aku tertimbun kisah.
Yogyakarta, 02 Januari 2019
Kau malah menguap. Namun tetiba panik. Petrikor menyeruak. Jemuran katamu belum sempat dibakar. Tinggalkan noda darah kala membunuh sepi. Aku menenangkan. Sesekali biarkan hujan gemas lantaran ada yang tak bisa ia padamkan. Ada yang tak bisa dikendalikan, termasuk sirine ambulans yang kini mulai terdengar nyaring bersahutan.
“Bagaimana bila kita melanjutkan membaca puisi ini di atas sapi?” tawarku.
Kau menolak. Aku menuntun sapi sendirian akhirnya. Kau malah digendong monyet Kaliurang yang kerap mengambil mendoan dan meminum susu di kafe Warung Ijo.
Lalu sampailah kita di Jalan Karbala. Matamu tertuju pada buku puisi souvenir, alamat memintaku membacakan puisi lagi.
Puisi Mohammad Ali R, Getarmu
Lihatlah kemari,,,!
Kau merasakannya, bukan?
Semuanya abadi menjadi kata-kata
Ada namamu, bersemayam di sini
Aku hanya tak ingin jatuh cinta
Ada luka yang sama,
Perih yang sama
Keduanya menyayat habis
Enyahlah aku.
LKIs, 23 Oktober 2018
Jaswadi-jaswadi sisa berserak di Jalan Baru. “Mengapa?” tanyamu. Rahim enggan dulu dibuahi. Apa karena takut bakal calon menjadi aparat penutup jalan menjelang tahun baru, atau menjadi pemberontak yang akan ditembak mati.
Namun kali ini kita berdua melewati lampu merah. Jalan kian sempit, mobil terparkir sembarang menghalang bahu jalan. Ditambah sirine bukan ambulan. Pengiring mobil mewah. Bus-bus trans harus menepi, membawa banyak penumpang. Harus mengalah menebalkan dada yang tabah.
Melalui spion yang terbuat dari bintang jatuh, kau sedang mengamati antologi puisi souvenir itu. berjudul, “Kau” ilustrasi cover karya Chocohanis, memegang sebatang rokok dengan asapnya yang mengandung ragam tragedi manusia.
Puisi Mohammad Ali R, Orang Beragama
Orang beragama itu
Layaknya orang ngopi, lhoo
Boleh tidak suka kopi orang lain
Tapi, hanya berhak kritis atas kopinya sendiri
…
Orang beragama itu
Layaknya orang ngopi, lhoo
Boleh memesan rasa apa saja
Tapi, tak berhak memaksakan rasa yang ada
“Wah. Ternyata tidak hanya soal puisi cinta.” Ujarmu.
Aku tak bergeming.
“Orang bersenggama itu…” Imbuhmu dengan ujaran yang menggantung.
“Apa?”
Kau tak bergeming.
Kau malah mengalihkan tak melanjutkan gumamanmu sendiri. “Bahkan kopi merupakan media yang netral untuk membahas apa pun di kota ini. Tidak hanya soal cinta, bahkan soal agama. Mungkin juga kopi begitu tabah mendengarkan apa pun dari penikmatnya. Dengarkan puisi-puisi Ali yang lain perihal cinta.”
Kopi yang seharusnya sudah terminum, tak terminum.
Terus-terusan aku mengaduknya, ingin kutemukan bayangan meski tak serupa denganmu.
Oooh. Ujaran kita memang hanya jeda membaca puisi itu. Tapi tak lain adalah kekaguman. Kedalaman. Kena!
Lalu, kita beranjak ke dalam api. Mengetuk pintu untuk bersembunyi dari dingin malam. aku bercerita kepadamu bahwa puisi souvenir juga berasal dari cecer status WhatsApp. Banyak orang berkata-kata, namun sebagian enggan menamainya puisi.
Puisi Hasvirah Hasyim N, Dua Centang Biru
Malam itu aku tak dapat tidur, Yono
di langit kamar tikus-tikus riuh sekali
seperti sedang turnamen futsal
Kadang juga aku terjaga
sebab sekitarku
seperti banyak sekali makhluk halus yang
menjawil-jawil
semakin kupejamkan mata
semakin nyata kurasa bergidik
Di lain waktu
kudapati mataku terang sekali
kutuduh kopilah penyebabnya
aku kelebihan kafein, Yono
dadaku terus berdebar
Butuh bermalam-malam
untuk dapati diriku tiba pada kesadaran
agar berhenti menyalahkan apa pun
telah sampai pemahamanku
bahwa yang menghantuiku tak lebih
karena rinduku padamu
Bagaimana kabarmu?
Bila sempat tolong balas satu saja dari sekian pesanku yang masuk di WhatsApp-mu
“Atau… syahdunya puisi tanpa judul.” Kau bersiap membacakan dengan teduh.
-Puisi Dyah Putri M
Sayang…
Aku ingin menjadi ‘Rumah’
tempatmu berpulang
dari letihnya setiap aktivitasmu
—2 Agustus 2019
“Kau yakin malam ini kita akan tidur di dalam api?” Tanyaku, melihatmu yang sudah berkali-kali menguap.
“Ini tidak akan lama. Dengarkan puisi-puisi singkat M. Saifullah…”
Saat malam
rindu itu jadi dogma, Siti
Tidak usah kamu lawan
Izinkan dia menang
—5 September 2018
Seandainya, aku bisa selalu duduk di sini
Di sampingmu, Siti
Buat apa harus menunggu kematian
Untuk sampai ke surga?
—21 April 2019
Beruntungnya diri kita, Kekasih. Bisa sedikit mendapat bocoran rahasia dari kota yang menjadi klasik dari syair-syair yang tumbuh sebagai daun gugur. Tak banyak orang berkesempatan membacanya. Apalagi memahaminya. Sebab puisi souvenir tak diterbitkan. Ia hanya diberikan Penerbit Contradixie kepada pelanggan-pelanggannya. Beruntung!
Tinggalkan Balasan