aldiantara.kata

 

Sejak kecil aku terbiasa disuguhkan film-film dokumenter semacam Harun Yahya, di dalamnya menjelaskan ayat-ayat suci agama yang selaras dengan fakta-fakta sains modern. Beberapa di antaranya misal menjelaskan mengenai binatang-binatang yang disebutkan eksplisit di dalam al-Qur’an seperti semut, lebah, dan lain-lain.

Kalau kini aku akan membahas semut, jelas aku tidak sedang mengulas materi film dokumenter, atau soal yang sudah dibahas para motivator dengan meneladani sifatnya.

Yang jelas, saat tulisan ini ditulis, mayat-mayat semut yang tak bisa kuhitung bergelimpangan. Membuat banyak keluarga mereka menjadi yatim, piatu, dhuafa, janda, hingga duda. Sebagian orang menganggap remeh, ketika mau disuntik, analogi seperti digigit semut menjadi amsal yang menyebalkan.

Bayangkanlah. Kini aku sudah membantai sebagian dari mereka. Mayat-mayatnya jelas sekali di sekitarku. Seolah, inilah buah hasil pembacaan semenjak kecilku membaca buku-buku (komik) Indahnya Surga Pedihnya Siksa Neraka, ada yang karangan Abu Khalid, Irsyadul Anam, dan lain-lain, kuhabisi makhluk ketjil yang sama sekali tak berdosa. Kusiksa dengan ragam cara. Aku jadi seakan mendapatkan referensi bagaimana caranya menyakiti, tidak cukup menumbuhkan keberagamaan yang berbuah cinta kasih.

Jumlah makhluk bertubuh mungil ini bukan semakin sedikit, sebagian dari mereka menghampiri mayat temannya, yang kemudian mereka angkut entah kemana.

Dua hari silam aku malah pernah bertemu dengan “semut revolusioner”! Mereka adalah semut yang kutemui ketika aku santap malam dengan nasi goreng, suatu ketika. Dua ekor semut yang secara revolusioner menerobos masuk menyentuh nasi, kusapu dengan sendok, hingga selain keduanya terlempar, namun juga remah-remah tak sengaja terhambur. Semut-semut lain rupanya sudah siap menyambut ‘bola muntah’. Dengan sigap mengerubungi remah-remah nasi goreng yang tercecer. Aku pikir, apakah kedua semut tadi kusebut semut revolusioner? Sebagai umpan mendatangkan rizki untuk semut-semut yang lain.

Sebetulnya aku sudah membaca buku Quraish Shihab yang dinilai sebagian kalangan merupakan buku kontroversial, Dia Di Mana Mana: “Tangan” Tuhan Di Balik Setiap Fenomena. Di dalamnya beliau mengutip kisah inspiratif mengenai Timur Lank, cucu Genghis Khan, yang menguasai dan menundukkan Iran, Delhi sampai Damaskus dan Turki, mengambil pelajaran dari semut yang mengangkut muatan besar menuju tebing yang tinggi, meskipun berkali-kali jatuh, namun tetap bangkit dan mencoba hingga berhasil.

Makhluk mungil ini berjalan melintas di sekitar, mereka tidak menggigit, atau mengganggu, bahkan tak sedang melakukan invasi. Aku lah yang justru ‘mengundang’ mereka lantaran aroma manis (sisa) makanan. Bahkan sebetulnya aku yang menumpang pada alam ini, habitat mereka sudah ada sebelum aku tinggal. Apa aku tidak bisa diam berdampingan, bahkan berbagi makanan?

Bisakah seseorang membuat semut tak tertarik dengan rasa manis? Ada garam ada semut? Kapan semut hijrah menjadi makhluk liberal? Tidak melulu bertahan kepada cinta yang konservatif terhadap rasa manis?

Apa mungkin seseorang membunuh tanpa membenci? Memberi tanpa merasa tinggi, menerima tanpa merasa hina. Menegur dengan kasih sayang. Memerintah tanpa rasa angkuh. Mencintai… selain kepadamu?