aldiantara.kata
Seperti melarut, purnama dengan sinarnya memantul pada riak kolam. Julang kelapa yang tegak menjadi siluet. Apa yang membayang, sinar cahaya memasuki jendela kamar. Mata kita terpejam. Rindu memiliki waktu. Derita setiap waktu adalah pengakuan pada batas, di mana kita belum menjadi sadar.
Sudah waktunya. Cinta menggigil. Sayup malam. Kita sibuk menerjemahkan rencana, di mana waktu bak jalan gelap. Tak henti kita pelihara rasa cemas. Bisakah kita memberi jarak, kepada pandangan abstrak, serta waktu yang meminta kita berhenti mencuri perhatian.
Bisakah malam ini. Bersandar pada punggungmu yang resah. Mengaburkan cemas kata-kata, serta kusut benang pikiran yang membuat mata enggan terpejam.
Kala pagi, kita menafsiri raut yang tenang. Kau sedang memimpikan apa? Adakah waktu akan sekejap kembali berlalu, menunggu ia kembali tiba pada waktu yang berjudi.
Gubahan fragmen, menjadi kata-kata. Ia tak terwakili. Kita saja yang menjaga. Dan menolak lupa.
Tidak dosa jika kehabisan kata-kata. Namun jiwa kita tak boleh jemu mengembara. Di atas kereta yang membawa kita pada ketakterdugaan. Stasiun-stasiun di mana kita menepi. Sesekali harus berantrian pada macet yang panjang. Sebelum terurai tanpa sempat menoleh ke kiri dan kanan.
Kita berpayah-payah, bersembahyang agar bisa kuasa menjadi pembeli apapun. Menukarnya dengan sesuatu yang kita anggap sepadan.
Tinggalkan Balasan