Sebagaimana sajak, sebagaimana jarak. Sekejap kembang api perayaan yang padam ditiup. Aku melihat asap yang menghilang bersamaan dengan doa doa melangit. Detik detik terasa syahdu. Sempat sunyi barang beberapa detik. Sebelum didengarnya lagi oleh kita bising kota kecil yang gelap kala malam.

Sebagaimana sajak, sebagaimana waktu. Seseorang membenci arloji yang tak mampu menahan dirinya sendiri.

“Kapan kita akan beranjak?”

“Kapan waktu mengkudeta kita pada rentang jarak?”

Bukankah tugas kata-kata, kemudian, yang menjadikannya suatu arca, untuk mengenang bagaimana kejujuran itu lahir melalui rahim bahasa dan pejam mata?

Sebagaimana sajak, sebagaimana warta. Ia menjadi permukaan. Kemudian puisi, yang terdiri dari kenang-kenang, serta penindasan-penindasan, melalui aparat, pun itu berupa jarak terhadap kekasih, tercipta. Kata yang menebal.

“Pukul berapa kita kembali?” Bisikmu kepada takdir.

Aku masih menunggu kereta yang akan tiba tanpa tahu pukul berapa. Membawa kita kepada asal muasal pelukan.