Oleh: Abenza’idun

 

Hujan.

Selagi masih musim hujan, menarik rasanya kita menambahkan bumbu pelengkapnya, iya puisi. Puisi masih menjadi jalan alternatif terbaik yang merupakan output dari ekspresi hati. Apalagi, kala musim hujan seperti ini. Hati akan auto-puitis, terlebih pada muda-mudi yang lagi kasmaran. Tidak hanya muda-mudi saja, karena yang dewasa maupun tua terpantau juga demikian. Mereka seketika menjadi penyair dadakan tanpa undangan. Namun, terkadang mereka tidak menyadari itu.

Membahas tentang puisi, cukup banyak buku antologi puisi yang familiar, semisal Aku Ini Binatang Jalang karya Chairil Anwar, Hujan Bulan Juni karya Sapardi, Puisi-puisi Cinta karya W.S. Rendra, Surat Cinta dari Rindu karya Candra Malik, Selamat Menunaikan Ibadah Puisi karya Joko Pinurbo, dsb. Namun, kali ini aku tidak sedang ingin membahasnya, hati tertuju pada sebuah buku antologi puisi karya sastrawan muda yang belum lama ini launching. Seingat saya pada 12 September 2020 di Kafe Main-main Jogja. Buah karya dari Usman Arrumy atau biasa disapa Gus Usman yang berjudul Asmaraloka: Puisi, Nada dan Cinta. Berisi 52 puisi yang ditulis antara tahun 2013-2020.

Secara keseluruhan Usman membawakan puisi-puisinya dengan bahasa yang cukup sederhana. Saking sederhananya justru sarat akan makna. Namun, tetap mudah dipahami tanpa harus menganiaya kamus dengan membolak-balikkan halaman per halaman.

Demi mata yang diciptakan
Untuk memandang matamu

Demi hati yang diciptakan
Untuk menanggung kesedihanmu
Aku bersaksi bahwa tiada cinta selain engkau.
(Kesaksian)

Kelopak mawar seketika layu
Begitu kusebut namamu

Bila kelak kehabisan suara
Aku akan menyerahkan namamu
Kepada mulut waktu
Dan berdetak di jantungku
(Namamu)

Mungkin, suatu waktu
Tuhan akan mengelus wajahku melalui tanganmu

Aku jadi berharap bahwa kelak, entah kapan
Tuhan akan mencintaiku melalui hatimu
(Asmaraloka)

Usman terlihat sengaja menggiring imajinasi pembaca selain untuk mencinta kepada yang dicipta sekaligus pada yang Mencipta. Dengan kata lain, mencintai keindahan ciptaan tuhan (eros) sebagai kekasih hati, menjadikan etos (keyakinan) terhadap yang Maha Rahman-Rahiim. Sehingga membentuk imanensi keajaiban Tuhan yang transendensi. Seperti yang diungkapkan oleh Jokpin (Joko Pinurbo) pada bagian pembukaan bahwa,

“Cinta dalam sajak-sajak Usman sering bermakna taksa pada saat dan ruang yang sama. Ketika ia berbicara tentang kekasih, kau dan mu, misalnya. Bisa tertuju sekaligus kepada kekasih sebagai persona insani dan ilahi. Dengan kata lain, sajak-sajak Usman acap kali memadukan cinta imanen dan transenden dalam satu tarikan makna.

Kalau orang jawa menyebut ngiras-ngirus (sekalian) atau dalam peribahasa sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

Dari 52 puisi, Usman juga menyajikan musikalisasi pada delapan puisi (prolog, kesaksian, doa, asmaraloka, huruf cinta, rahasia cinta, sabda cinta, kidung kekasih dan jalan). Audionya dapat didengarkan dengan memindai kode QR pada halaman masing-masing pojok atas. Dengan adanya musikalisasi, pembaca tidak sekedar berimajinasi dengan visual belaka, melainkan juga meresapi lewat audio. Agar pengembaraan para pencinta benar-benar mengena dan terhipnotis seketika.

Namun sayang, menurut saya, ada kekurangan dari musikalisasi puisi tersebut. Karena dari beberapa puisi yang dimusikalisasikan, justru kehilangan marwah daripada puisi itu sendiri. Seakan tidak ada bedanya dengan sebuah lagu. Biasanya musikalisasi hanya penekanan pada intonasi, namun ini melibatkan cengkok-cengkok seperti bernyanyi. Walapun belum ada kesepakatan atau konvensi resmi mengenai musik puisi/ musikalisasi. Tapi, Silahkan cek saja.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini tetap recommended untuk para pengembara cinta yang hendak memburu targetnya. Dengan kesederhanaan bahasa (tidak rumit), sehingga dapat diserap oleh semua kalangan. Menjadi stok amunisi yang sewaktu-sewaktu bisa dilesatkan atau sekedar menambah referensi kata.

Mari hidupkan asmaraloka dalam kehidupan agar tidak ada ruang untuk membenci.

 

Jalan Kauman, Grobogan

Abenz