aldiantara.kata
Apa yang berada pada saku jaketku? Tebak. Sejak diskusi malam itu, perjalanan di mana air mata menjadi kemarau. Tawamu adalah unggun yang kedapkan suara malam. Kayu bakarnya adalah kata-kata. Apinya adalah suara kita yang menyambung pesan.
“Ada apalagi, ya?” tanganmu merogoh masuk ke dalam.
“Masker!” ujarmu setengah tertawa.
Astaga. Masker siang tadi. kugunakan menutupi berita-berita koran hari ini.
Aku bertanya kepadamu sesuatu, setelahnya kita turun dari kendaraan. Bisakah air mata datang sebagai permulaan. Membayar di awal segala sepi, rindu yang membuncah, atau sakitnya kehilangan. Sisa-sisanya biar kita dapat menari, tanpa membayar akhirnya.
Cinta tak pelak sebagai komersil. Ia harus pandai menawar dan membayar. Siapa gerangan datang membawa penawaran tender janjikan bahagia. Datang pula jaminan sedikit rugi dan duka.
Kita duduk di angkringan. Mengambil nasi teri dan sate brutu. Nyatanya kau mengambil sumber pedas sambal itu, sate brutu tak buatku lupa. Lalu kita membayar harganya masing-masing tanpa saling memberi beban.
Kopi jos yang terjaga hangatnya oleh arang. Pada cangkir yang sama sembari kau perhatikan tanganku yang gatal oleh gigit serangga malam. Memerhatikan malam, kereta melintas. Sungai kecil yang jingga airnya terpantul lampu jalan. Puaskah gerangan abadikan waktu melalui potret kamera? Menyimpan segala hal yang hampiri meski sekejap. Mengunggahnya dengan potret buram. Ungkapkan caption kata-kata meski aku hendak bertanya. Lengkung senyum yang bahkan cukup menjadi jawaban.
Gerangan sedang apa? Meminta air pada bibir-bibir yang lama mengering. Pelabuhan bahu telah bersandar pesiar yang menambat sementara.
Kau kembali merogoh saku jaketku, sebuah pesan yang paling rahasia terbaca.
Tinggalkan Balasan