aldiantara.kata
Kata-kata memang ajaib. Suatu kali aku membaca buku Aleph – Paulo Coelho. Hingga aku sampai dalam buku itu disebutkan,
“Kenapa selama berbulan-bulan ini aku mengeluh soal kehilangan kontak dengan Energi Ilahi? Omong kosong apa itu! Kita selalu terhubung dengan Energi Ilahi; rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”
Ada banyak yang bisa dijelaskan dari kata-kata tersebut, yang terbaik memang membaca dari awal hingga seorang menemukan muasal ungkapan tersebut. Namun, ada banyak momen di mana suatu bacaan pada konteks tertentu, mengalihkan pembacanya kepada konteks lain.
“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”
Saat suatu perenungan memberi dialog mengenai ketidakadilan hidup, kebengisan, kekejaman, hal-hal tak diduga membuat seseorang berubah.
Hingga,
Suatu kali pula, perjalanan sederhana yang pernah kulakukan membawa inderaku melihat banyak kebaikan-kebaikan yang dilakukan manusia. Enggan untuk pamrih. I’tikad yang tak terdokumentasikan.
Pada malam hari, masih ada yang melarisi sapu pedagang yang bersandar duduk di dinding kampus putih. Masih ada pada siang terik seorang wanita berjilbab besar mengendarai sepeda motor membagikan nasi kotak kepada seorang Bapak pendorong gerobak loak.
“Rutinitaslah yang membuat kita tidak merasakannya.”
Bukankah selalu ada perspektif yang meruntuhkan, membantah, mengimbangi, menawarkan sesuatu yang sudah kadung pekat.
Beberapa kali tatapanku menemukan seorang ibu yang tabah di bawah hujan, berompi oranye, merapikan kendaraan-kendaraan terparkir persimpangan kota. Aku hanya bertanya perihal indera mataku ini. Dari mana muasal kasih-sayang? Bermula tatapan, bukan kasihan. Bagaimana mata kita beradu memandang hidup?
Aku tidak sedang mengatakan bacaan-bacaan membawa pembacanya kepada realitanya yang sesuai. Namun aku juga tidak menampik, realita yang mendahuluiku kusaksikan, mengamini bacaan yang kubaca kemudian, tentang ‘rutinitas yang membuat kita tidak merasakannya’, romansa hidup, yang banyak orang sebut kemanusiaan, terjadi di sekitar kita, melalui mata kesadaran.
Kalau rompi oranye merupakan simbol seorang kriminil, maka sebagian manusia barangkali merupakan tahanan rutinitasnya yang sempit.
Untuk menutup tulisan ini, aku hendak mengutip bacaanku dari novel Aleph – Paulo Coelho, mengenai rutinitas. Melalui bacaan tentu seseorang mendapatkan perspektif yang segar.
Rutinitas tidak ada hubungannya dengan pengulangan. Untuk menjadi sangat ahli dalam bidang apa pun, kau harus berlatih dan mengulang, berlatih dan mengulang, sampai teknik tersebut menjadi intuitif. Aku mempelajari hal ini saat aku masih kecil, di kota kecil di tengah Brazil tempat keluargaku biasa menghabiskan liburan musim panas. Aku terpesona dengan pekerjaan pandai besi yang tinggal dekat situ. Aku biasanya akan duduk berjam-jam lamanya, melihat ayunan palunya naik-turun menghantam baja merah panas itu, menebarkan percikan api ke sekeliling, seperti kembang api. Ia pernah berkata, “Kau mungkin beranggapan aku melakukan hal yang sama berulang-ulang, ya?”
“Ya,” kataku.
“Well, kau salah. Setiap kali aku menghantamkan palu, intensitas pukulannya berbeda; kadang lebih keras, kadang lebih pelan. Namun aku baru mengetahui hal itu setelah aku mengulang-ulang gerakan yang sama selama bertahun-tahun, sampai tiba momen saat aku tidak perlu berpikir lagi—aku hanya membiarkan tanganku yang bekerja.”
Hidup berarti mengalami berbagai hal, bukan hanya duduk-duduk dan memikirkan makna hidup. Tentu saja, tidak semua orang perlu menyeberangi Asia atau mengikuti Jalan ke Santiago. Aku kenal seorang kepala biara di Austria yang jarang sekali meninggalkan biaranya di Melk, namun ia memahami dunia jauh lebih baik daripada kebanyakan pengelana yang ku jumpai. Aku punya teman yang mendapatkan wahyu-wahyu spiritual luar biasa hanya dengan mengamati anak-anaknya tidur. Saat istriku mulai mengerjakan lukisan baru, ia menjadi seperti kesurupan dan berbicara pada malaikat penjaganya.
13 Februari 2021 at 4:58 am
Maa syaa Allooh…baarokalloohufiik.
13 Juni 2021 at 3:40 pm
Makasih banyak, Ma.