Oleh: Atropal Asparina
Sebagai warga pesantren, yang sehari-hari bahkan candaan tidak terlepas dari soal agama dan Tuhan, sering saya membayangkan bahwa Tuhan “punya” rumus kebenaran-Nya sendiri. Seperti rumus-rumus matematika, fisika atau ekonomi yang diberikan oleh guru, demikianlah Tuhan pada mulanya mengajarkan ‘rumus kebenaran’ itu kepada manusia. Sebagaimana juga murid-murid di kelas matematika, fisika atau ekonomi, tidak semua mengerti rumus yang diajarkan oleh gurunya.
Pada mulanya Tuhan mengenalkan dirinya dengan sebutan Rabb. Secara mudah bisa dilihat pada pembukaan al-Qur’an, surah al-Fatihah ayat pertama: Alhamdulillahirabbil ‘alamin yang biasa diartikan dengan segala puji bagi Tuhan semesta alam. Atau jika hendak lebih esensial, bisa dilacak pada ayat-ayat al-Qur’an yang turun pertama kali, semuanya menggunakan kata Rabb ketika menyebut Tuhan. Baru pada surah al-Ikhlas [112], diperkenalkan kata Allah. Yang menarik adalah, makna rabb yang paling menonjol yakni pemelihara dan pendidik.
Sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi manusia—sebagaimana dalam kisah Adam as. (QS. Al-Baqarah [2]: 30)—rumus kebenaran Tuhan yang saya yakini—tentu tangkapan ini bisa dan boleh berbeda dengan orang lain—seperti rumus berikut: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa. Tapi Tuhan selalu bertanya, 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa.
Silahkan bingung dan tidak percaya, ini semata hanya tangkapan subjektif saya. Namun, jika ingin penjelasannya, begini, jika rumus kebenaran itu adalah 50+50 sama dengan berapa, maka jawabannya ada satu, yakni 100. Rumus ini mudah sekaligus susah. Mudah dalam menerima dan menjawabnya, tapi sangat susah dalam mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika rumus kebenaran hanya satu dan jawabannya hanya satu, sedangkan manusia punya keunikan, kemampuan, level intelektual dan banyak lainnya yang berbeda (everyone is unique), betapa sebagai guru sangat tidak paham pada anak didiknya.
Sebaliknya, jika rumusnya berbentuk: 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa, maka jawabannya bisa sangat beragam. Ada peserta didik yang menjawab 60+40, yang bangku belakang menjawab 90+10, yang paling depan 50+50, yang pinggir 75+25, semua bisa benar asal memenuhi kaidah-kaidah penjumlahan yang sudah diajarkan. Rumus ini lebih kompatibel dengan karakter peserta didik yang beragam, dari berbagai sisinya. Bahkan bisa jadi, rumus itu berkembang menjadi: 100 itu hasil dari berapa dikurangi berapa.
Sebagai peserta didik yang masih teramat bodoh, sebenarnya kita tidak mungkin berhasil mendapat nilai sempurna sampai seratus (100). Bisa jadi niat kita sangat bulat dan besar ingin menemukan rumus untuk mencapau seratus, tapi selalu tersendat. Karena itulah, Tuhan mengirim murid teladan, berupa para Rasul, dan terutama Rasul Muhammad saw. Selain beliau membantu kita para murid bodoh supaya lebih cepat paham rumus yang diajarkan. Beliau juga nanti yang akan melobi sang Maha Guru, untuk memberi nilai kasih sayang, sehingga nilai kita menjadi genap. Kebetulan, kata syafa’at itu berasal dari kata syaf‘un yang berarti genap (kebalikan dari ganjil).
Terakhir, jika jalan kebenaran itu banyak, sebagaimana rumus: 100 itu berapa ditambah berapa atau berapa dikurang berapa, apakah lantas kebenaran itu menjadi relatif? Nah, karena terlalu panjang, hal ini akan diulas pada tulisan selanjutnya.
Tinggalkan Balasan