Oleh: Atropal Asparina
Rumus kebenaran Tuhan itu saya bayangkan seperti ini: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa, tapi Tuhan selalu bertanya 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa. Bahkan, Tuhan pun sering menanyakan, 100 itu berapa dikurang berapa.
Benar bahwa rumus itu sangat kompatibel dengan keadaan peserta didik (baca: manusia) yang sangat-sangat dan sangat beragam dari berbagai halnya. Tapi melalui rumus yang memungkinkan jalan kebenaran itu sangat beragam dan banyak—sampai menyentuh angka tak hingga—terdapat ancaman serius berupa jurang kebenaran yang relatif atau relativisme (paham yang beranggapan bahwa kebenaran tergantung si pelaku, tidak mutlak, karena setiap orang dipengaruhi oleh sejarah-budaya-pengetahuan-psikologi atau singkatnya setiap orang punya benarnya sendiri sebab berbeda/unik [Oxford Dictionary of Philosophy, 2008]).
Doktrin relativisme disebut berbahaya jika menjadi worldview seorang muslim atau seorang penganut agama apapun, bisa dibenarkan jika. Sekali lagi jika, yang relatif itu adalah kebenarannya. Sebagai seorang beragama, adalah sangat rancu (dan bahaya) jika kebenaran yang dianutnya selama ini ternyata relatif, misalnya eksistensi Tuhan.
Berbeda halnya jika yang relatif adalah rumus atau jalan kebenaran yang diupayakan oleh setiap orang (yang beragam). Jika yang relatif adalah rumus-jalan kebenaran, maka ketika disebut bahaya, justru akan lebih bahaya!
Bicara mengenai kebenaran, kita semua tidak ada yang menyeluruh bisa memastikan hakikat kebenaran. Persepsi—jangankan manusia seluruhnya—mengenai Tuhan, menurut orang muslim saja, dalam sejarahnya yang panjang menuai perbedaan. Jangan dikira bahwa ketika persepsi tentang Tuhan itu berbeda, maka Tuhan adalah ‘sesuatu’ yang relatif, tidak! Kebenaran tentang wujud Tuhan begitu mutlak menurut muslim, tapi rumus-jalan untuk sampai atau sekadar konsep mengenai-Nya, terbukti relatif, tergantung siapa dan aliran mana yang mengungkapkannya.
Dalam hal yang lebih sederhana, menghormati orang tua diyakini secara universal adalah sebuah kebenaran. Tapi rumus-jalan setiap bangsa dalam menghormati orang tua terbukti sangat relatif, tergantung sejarah-budaya-pengetahuan-psikologi setiap bangsa atau pelaku.
Kembali kepada rumus kebenaran yang saya bayangkan dari Tuhan seperti di bagian awal atau tulisan sebelumnya. Kekhawatiran besar berupa efek buruk terjebak doktrin relativisme dari rumus: Tuhan tidak pernah bertanya 50+50 sama dengan berapa, tapi selalu bertanya 100 itu hasil dari berapa ditambah berapa atau berapa dikurang berapa,akhirnya menjadi relatif juga. Maksudnya, jika yang relatif adalah rumus-jalan menuju kebenaran, tidak ada masalah. Tapi jika yang relatif adalah kebenaran itu sendiri, bolehlah disebut bahaya, meski tetap terbuka ruang untuk berdiskusi. Sebab, diskusi tentang hakikat kebenaran belum kelar bahkan sampai detik ini.
Akhirnya, sebagai seorang (baca:saya) yang sangat terbatas dalam berbagai sisinya, ditambah—mungkin saja—goblok dan bodoh, berharap secara sekaligus menangkap keseluruhan realitas kebenaran, adalah sangat sangat dan sangat mustahil bin mustahal. Tapi, upaya membuka keran keberagaman demi mengakui mereka yang berbeda—daripada dihina-direndahkan-diasingkan-dihukumi—adalah suatu tetes kebenaran yang rasional dan realistis untuk diperjuangkan.
Tinggalkan Balasan