aldiantara.kata
Kapan, sebuah masa, musisi jalanan menjadi bak orang suci. Ia datang banyak diminta, namun ia datang kunjungi tempat yang ia kehendaki.
Dalam hati orang-orang banyak bergumam, “beruntung sekali rumah itu disinggahi.”Setelahnya mendendangkan lagu dari bait-bait syair kontemplasi di taman kota, musisi jalanan berkeliling sekehendak mereka.
Memasuki bis malam yang akan melintasi batas provinsi, penjaja makanan memasuki bis dengan nada pelan, sementara orang menumpang tak sampai bangun diteriaki. Musisi jalanan mulai naik memberi berkat, memetik gitar mainkan romance de amour. Apa yang menjadi berat adalah mengingat. Seperti kembali tersengat. Musisi jalanan yang bak pemandu ziarah reka adegan memori lama lalui bayang.
Banyak orang-orang berziarah kepada tempat perginya bis yang mengantar orang ke tempat yang jauh. Apa sebab para penumpang selalu datang hampir terlambat, selain sebab meninggalkan sesuatu adalah negosisasi waktu yang dipaksa untuk berjalan lamban.
Ada yang sengaja datang ke tempat titik kepergian bis kota, hanya untuk mendengar musisi yang menyetel alat musiknya, sesekali sebagian dalam lamunan kala memainkan nocturne, Chopin. Ada orang yang mulai jarinya menari menulis draft tulisan pada gawai, untuk dirinya sendiri.
Di taman kota dua musisi jalan yang nampak asing, suatu sore. Orang menyangka mereka berdua sebagai Pat Metheny dan Charlie Haden ketika mengalunkan cinema paradiso. Menggubah angin dan langit sore sebagai wahana bermain bagi ingatan yang t’lah lama mengendap. Tatapan manusia mendengar penuh cinta berpadu kasih sayang.
“Jangan dulu berhenti” pekik suara-suara sunyi. Khalayak sedang menerjemahkan kepada bahasa-bahasa bisu yang tak satu pun punya tafsir sama terhadap kenangan.
“Apakabarmu, aku tak sedang berbasa-basi.”
“Ambilah kursimu pada ingatanku, sudah lama kau terduduk membaca buku, tanpa mau dikau daku sapa.”
“Sudah lama aku mengatakan kerinduan, yang kutitipkan kepada lembayung senja.”
“Aku tak paham dengan bahasa tangismu di bis itu.”
“Cara marahku adalah isyarat kebetulan yang membuat kita tak saling bersinggung takdir. Memang sudah semestinya, begitu, begitu. Sudah setakdirnya aku harus marah, karena itu takdirnya, sebab itu takdir kita. Aku harus marah, agar Kuasa-Nya menyerahkanmu kepada kekasihmu, sepantasnya.”
Tinggalkan Balasan