aldiantara.kata

 

Jalanan lengang. Banyak orang mencari. Di antara padat kendara mengular, banyak mereka mengeluh. Tapi ini lowong. Banyak anak membuat gawang bertiangkan batu dan sandal. Gadis-gadis kecil masak-masakan dari pasir dan katel plastik. Lampu merah menyisakan lampu hijau. Di taman kota droplet-droplet tawa yang tak berhenti menyuburi pasir. Graviti kota yang amatir tak ada memarahi. Pilox “Fuck Israel” pada rolling door ruko yang telah tutup malam hari.

Orang mengabaikan senja dan indah siluetnya. Orang jadi tidak malas mendengarkan. Teh yang mendingin sisakan belasan mili. Si bujang dipanggil agar bawakan kudapan. Adiknya menguras kolam. Bapak sibuk baca koran. Narapidana mendapat remisi, bercanda dengan polisi. Bertemu keluarganya, sang istri menumis kangkung, sambal dan goreng tempe dadakan.

Bapak menciumi pipi anak-anaknya yang sudah terlelap, mengusap-usap kepada anaknya, mendengar berita kekerasan pada balita di berita, sembari mencoba memahami jiwa pelaku yang mungkin sedang sakit.

Sebelum para kekasih menjadi hologram ingatan. Terbayang pada sepertiga malam, yang tersedu setelah saksikan muvis. Baru setelah itu timbul sesal. Berhenti dari padat aktivitas. Banyak hal selama ini diabaikan. Baru semenjak itu tatapannya berisi. Merasakan kasih sayang dari yang telah tiada.

Sebelum semua ingatan menguap. Sebab waktu dan ketetapan, bukanlah milik ego manusia. Berapa lama seorang tahan menatap kawan bicara dengan hangat-hangat. Kening hingga dagu. Kenang menduga-duga. Bibir gerak bergerak bicara, mata menerawang menyusun cerita. Gestur berhadapan. Berhenti berpikir hingga kapan percakapan akan usai. Memang mungkin betul sebagian lebih nyaman mengirim pesan lalui aplikasi. Biar mudah datang dan menghilang. Timbul lalu tenggelam. Orang tak menghargai percakapan. Atau aku saja sepertinya yang, hmmm.

Konon, orang akan ungkapkan perasaan yang jujur saat hendak berpisah, setelah memendam perasaan terahasianya, atau pada suatu waktu kala gagal bertemu.

Di stasiun kereta lama, seakan mendadak banyak pesan menjadi rencana pengungkapan. Kehidupan mungkin lebih menghargai sunyi saat sepasang kekasih yang diam tanpa kata. Ujug-ujug bak penyair yang mampu merangkai kata tunjukan sayang. Menatap jendela kereta yang membawa raga pergi. Sementara pesan disampai lalui emoji yang tak mewakili pesan rahasia. Biarkan saja sejak jarak menjauh, rindu mengait di antara dua jiwanya.

“Kita tidak jadi makan siang bersama.”

“Kamu cantik sekali kenakan pakaian berwarna hitam.”

“Padahal rencananya bila jadi bertemu hendak ajak kamu memesan dua cangkir kopi dan kudapan manis.”

“Padahal rencananya…”

Rencananya, rencana.

Draft untuk bermonolog dengan layar terkembang, tiada waktu membaca dan menghafal naskah. Di luar hujan, ditambah bukan tanggal merah. Masih pagi. Raut kebosanan yang telah ditunjukkan memang tak usah dipelajari. Tahan posisi di sana! Sampai seseorang menggiring suasana dengan petikan melodi lama. Lagipula tidak akan ada yang mendengarkan.

Running teks yang tak menampilkan berita apapun. Pembaca berita menghadap kaca, membelakangi kamera. Tiada berita apapun hari ini. Videotron menampilkan slogan yang berulang-ulang. Tiada tragedi nampaknya detik-detik ini. Jarang terlihat orang buru-buru kejar sesuatu. Langit teduh terasa asing, semesta seperti ada maunya. Bayang orang ramai berkompromi dengan dinding kota. Muncul berita, tak mengundang tanya.

Drama-drama sinetron terputar seperti dokumenter, tampilkan kehidupan biasa. Meja podcast yang sepi, acara gelar wicara mengundang orang-orang biasa sekehendak hati. Dua pihak selebriti yang bertikai luput dari pemberitaan media, mereka memilih berbicara empat mata bersama seorang penengah pada sebuah ruang tertutup.

Podcaster bicara sendirian.

Bila ada waktu yang bisa mempertemukan sekali lagi kepada seseorang yang telah tiada, tidak melalui mimpi ataupun deja vu. Percakapan-percakapan tanpa rencana, berbatas waktu yang sempit, alasan-alasan bergulirnya penyesalan. Makna rindu dan harga suatu pertemuan. Apa kau akan menemui, sekali lagi? Bahkan ketika wujudnya benar, bukan tercipta dari kesedihan-kesedihan lama. Apa tiada lagi nyali, sebagian tak percaya enggan diusik dengan apa yang sudah menjadi milik masa yang lalu. Ada pula yang terusik ketenangannya,  dipaksa menoleh kebelakang.

Hendak apa dikata? Temukan seorang itu pada sebuah rumah tua utara desa. Kala hari yang hampir direnggut malam. berbincang seperti halnya kawan lama, bertemu pada garis yang bersinggungan. Lalu berpisah seakan pengelana yang saling berjalan diburu masa, tanpa lagi dendam dan rencana.

“Waktu itu adalah jam makan siang terakhir kita, bukan?”

“Apa kita jarang sekali bercakap-cakap, sehingga yang kita ingat adalah mengenai momen bagaimana kita datang dan cara kita pergi?”