aldiantara.kata
Gie, aku kembali. Mengenangmu (lagi). Sebelum berpijak pada bulan ini, aku sempat kelimpungan mencari catatan harianmu yang sempat ketelingsut. Kucari pada rak buku yang belum kunjung bertambah jumlahnya, pada kantor lama di mana kini aku bekerja, hingga pasrah bahwa aku harus kembali membelinya lagi. Sudah bertahun-tahun aku memilikinya, aku hanya bayangkan tanda-tanda stabilo dan catatan pinggir yang pernah diselipkan di dalamnya. Lalu harus memulai lagi memberi tanda jika harus membeli lagi.
Ternyata…
Sepekan silam aku pulang, aku menemukan catatan harian itu terselip di rak buku rumah. Mama juga tak pernah bilang perihal bukuku yang ketinggalan.
Ah, membaca kembali catatan harianmu ini seakan sudah menjadi ritual wajib akhir tahun. Anggap sebagai perayaan ulang tahunmu? Sembari mendengar lagi lagu-lagu klasik (hujan deras yang turun sore tadi malam ini berangsur reda).
Lagu dalam playlist berhenti. Aku enggan beranjak. Tersisa suara dari aku yang membalikkan kertas dari catatan harianmu ini. Sunyi sekali,
Sesekali terdengar obrolan di luar rumah dari orang-orang yang sedang ronda. Aku seakan sedang ‘menghisap rokok’ dengan apa yang sedang kunikmati. Air putih pada botol minuman di atas meja yang tersisa untuk dua tiga tegukan.
“Kadang-kadang saya berpikir mengapa manusia harus kejam dan memeras orang-orang yang tidak berdaya?” (CSD, 16/07/1969)
“Malam itu amat manis. Simpati saya pada Ani yang gelisah dan ia banyak sekali bicara. Terasa persahabatan yang dekat dan dalam kegelisahan dia perlu banyak perhatian dan pengertian. Mungkin saya yang akan memberikan perhatian pada saat-saat yang sulit untuk Ani. Saya tak sampai hati membicarakan persoalan-persoalan emosional saya dengan Maria pada Ani (walaupun ada kebutuhan dari saya) karena justru dia-lah yang harus banyak bicara. Agar beban emosinya menjadi lebih ringan.” (CSD, 9/5/1969).
Waktu senggang kusempatkan pula untuk mencari hal baru dalam referensi lain, kusempatkan untuk membaca buku Daniel Dakhidae, Menerjang Badai Kekuasaan (Kompas) yang di dalamnya membahas Soe Hok Gie: Sang Demonstran, tapi ternyata kurang dan lebih aku sudah tahu informasi di dalamnya sebelumnya melalui referensi lain tentang Gie.
Ohya, bagaimana Gie pengalamanmu menjadi seorang dosen? Apakah sama sebalnya menghadapi sebagian mahasiswa yang malas membaca, berdiskusi, masuk kelas tanpa membawa ‘bahan bacaan’ sebelumnya? Zaman sudah banyak berubah Gie, pendidikan masih menjadi slogan yang dianggap penting, media sosial menjadi organ tubuh pelengkap manusia, yang kelimpungan ketika baterai menipis. Seakan layar-layar gawai yang terhubung wifi menjadi paru-paru ketiga.
Gie, apa kini kamu sedang bersama Maria? Menyiapkan perayaan natal? Apa Maria masih cemburuan seperti dulu ia terhadap Rina?
Malam ini juga aku banyak membaca cerita dalam catatanmu mengenai kepenatanmu saat menyelesaikan skripsi, namun pada akhirnya setelah sidang, justru kamu sendiri yang merasa kehilangan tentang dunia kampus: buku, pesta dan cinta, yang dianggap sudah selesai seiring dengan selesainya masa studi.
Mengikuti berita pada hari kelahiranmu beberapa waktu silam, ternyata banyak juga yang (masih) merayakan, mengenang, menyebut kembali kata-kata ajaib yang dicrop menjadi quote. Aku sendiri masih suka membayangkan ketekunanmu di kamar yang penuh nyamuk, penerangan yang seadanya, sementara yang tersisa adalah suara mesin tik yang menjadi saksi jembatan pengejawantahan pemikiranmu kala membuat suatu tulisan.
Bencana alam, sidang di layar kaca mengusut pembunuhan berencana seorang polisi, hingga konten-konten digital yang takkan berhenti menjadi asupan manusia. Penat rasanya. Barangkali awal-awal tahun depan aku mesti mencari lagi waktu untuk berkontemplasi di alam bebas. Melihat lagi lampu-lampu kota, kerlap-kerlipnya pada jarak yang jauh, sementara hembus angin kencang menggoda untuk tetap teruskan perjalanan.
Gie, sebelumnya tak pernah terbayangkan bukan, pada dunia yang sama, di mana kita tak pernah bertemu. Aku masih menjadi seorang yang gandrung membaca tulisan-tulisanmu. Sudah setengah abad di mana kau wafat, aku baru menyadari bahwa ada yang benar-benar abadi. Ada yang benar-benar mewarisi dan diwarisi.
Tinggalkan Balasan