Dalam sebuah percakapan, “Maaf, Pak. Sungguh minta maaf, aku benar-benar harus memegang hp, menjawab pesan ini.”
Sementara di sebuah sekolah, seorang guru sedang menjelaskan bagaimana etika bermedsos dan gawai kepada para murid. Agar para murid tidak hanya mendapat larangan atau hukuman ketika bermain dengan gawai dan bermedsos.
Menikmati pertemuan, menyembunyikan gawai. Asik membahas novel apa yang selesai habis dibaca kali pertama.
Kerusuhan hari ini luput dalam pembahasan. Demonstrasi yang berakhir ritjuh. Manusia-manusia kalap hancurkan apa saja berunjuk rasa. Lapak usaha sesamanya terbakar api siapa ganti rugi. Semua angkat tangan saling salahkan.
Uang pengobatan korban demonstrasi, pemulihan fasilitas umum yang rusak, harga yang harus dibayar. Suara nurani bercampur nada penyusup tak sampai pada telinga penguasa yang mabuk.
Tak ada lampu merah diantarakita. Tak ada massa berkerumun satukan common enemy. Bertengkar di tengah dengan ragam kepentingan.
Tak ada cinta pemersatu diantarakata. Sebagian khalayak mengutuk demonstrasi, kafe-kafe borjuis penuh sesak seakan nyaris tak terjadi apa-apa. Bila ada suatu masa di mana satu isu menjadi keresahan bersama. Adakah masa itu? Kini hukum yang tidak adil itu adalah konten penghasil uang, peningkat citra. Jerit tangis adalah santapan. Kita seperti berada dalam dunia kebun binatang. Benda-benda penghasil yang bergerak. Kaum papa seperti dikrangkeng, disaksi, disiksa dan jadi bahan liputan, serta pelicin proposal.
Pegadaian pagi ini sudah ramai. Lebih ramai dari warung soto, gorengan kian mendingin. Apa orang-orang melupa rasa laparnya?
Kekasih, lagu syahdu yang kau mintaku untuk mendengarkan, adalah lagu yang baik. Tapi apa kau cinta padaku lantaran sebuah lagu sendu atau kau yang bingung ketika kita bertemu. Bisakah kita ciptakan lagu kita sendiri, hingga kau tak perlu dengarkan lagu untuk mengingatku?
Di rumah Martodikromo, aku bertemu dengan seorang Kiai dari Pasuruan yang merupakan seorang aktivis penolak tambang ilegal, juga seorang herbalis dan sarjana pertanian yang kini sedang selesaikan proyek di Kota Gudeg.
Bung Adfa, herbalis itu, berkata, “Petani kita bukan petani berilmu, tapi turun temurun, penguasa jadikan petani alat produksi.” “Tanah kita sesungguhnya tanah surga, tak perlu pupuk (kimia) tuk tumbuhkan tanaman.”
Seorang Kiai dari Pasuruan itu ternyata merupakan kawan dari almarhum Salim Kancil Lumajang, berbincang dengan Martodikromo mengenai pertambangan ilegal dengan backing para preman hingga bertukar kisah soal konflik agraria di tanah Martodikromo.
Kiai itu tiba-tiba didatangi seorang anak ketjil yang meminta salim, sembari menyambut uluran tangannya, Kiai juga mengusap kepalanya sembari berdoa barakallahu fikum. Semoga Tuhan melimpahkan kebaikan dan memberkahi.
Kini siapa yang berkenan mengusap kepala kemanusiaan yang kian menggigil hampir mati?
Tinggalkan Balasan