aldiantara.kata
Mereka mengerubungi kabel, bukan gula. Aku menyapunya. Padahal mereka tidak mengancam ginjalku. Mereka semakin banyak. Aku tak bisa bedakan mana semut sipil biasa, semut yang kukira merupakan pasukan nasi bungkus, dan semut yang merupakan koordinator aksi. Mubeng-mubeng pada kabel pengeras suara.
Aku tak tahu pada senti mana ada unsur manis pada kabelnya. Entah mereka menggigit kabel, entah menjilat, mengulum, atau hanya meneliti unsur manisnya. Kulihat ada pula semut-semut penumpang gelap. Seperti kesurupan berpatroli menjaga kerumunan.
Aku risih. Geli melihat kerumunan. Sekalipun mereka saling menjaga jarak. Mereka yang sesungguhnya tak berhasrat menyerangku. Salah satu dari mereka menggerayangi lenganku. Aku ngga suka gelay! Itu bukan caranya merayu.
Aksi massa seperti kudeta. Alergiku, menjadi fobia! Jangan sekali-kali berserikat, suarakan pendapat. Sikat! Sapu! Anti kerumun berkerumun. Mereka merencanakan apa. Sebab sebentar lagi sekali mereka merapatkan barisan menyelimuti kabel, kutiupinya hingga bubar. Republik semut kocar-kacir kesurupan. Tak tahu apa tiupanku mengandung gas air mata. Aku rasa mata republik semut ini sudah siap gunakan pasta gigi hadang asap dengan bau khas!
Nyawaku aman. Segalanya terkondisikan. Tapi aku fobia dengan republik semut yang berserikat. Mereka kini berziarah mengamati sesekali kabel berlapis gula tak kasat mata. Tiupanku sekali lagi membuat mereka kesurupan kocar-kacir. Satu dari mereka temukan remah rengginang yang mereka angkut sebagai makanan.
Kabel menjadi sepi, republik semut seperti bersepakat melakukan perjalanan jauh. Namun aku tahu, mereka masih hendak menipuku, melakukan pengalihan dengan menempatkan dua sampai tiga semut yang masih berziarah, berpatroli sekitar kabel ‘amis’. Padahal yang lain sudah siap mengembara cari musuh bersama. Seakan koordinator aksi republik semut berseloroh, “Ada bangkai tikus di luar!”
Seruan berkerumun, namun mengapa jadi aku yang merasa terancam?
Tinggalkan Balasan