Oleh: Atropal Asparina

 

Sejak beberapa tahun lalu, saya diberi kesempatan untuk mengisi—jadwal yang kosong—pengajian bapak-bapak atau ibu-ibu di kampung. Berbagai hal membuat penceramah inti berhalangan, sehingga jadilah saya—hampir selalu—sebagai badal (pengganti-mendadak).

Sebagai penceramah pengganti, tentu saja kemampuan saya masih jauh dari cukup. Oleh karenanya, saya selalu memberikan materi yang sama di setiap masjid yang untuk pertama kalinya ceramah di sana. Uniknya, justru dari “memberikan materi yang sama” itulah saya mneyadari satu hal yang sangat krusial.

Mulanya begini. Sejak kecil—sekitar usia 5 tahun—ketika mengaji di masjid bakda Magrib, materi pertama, paling dasar, yang disampaikan guru ngaji adalah “Rukun Agama”. Pengetahuan itu bahkan masih melekat kuat sampai sekarang.

“Rukun agama itu ada tiga,” ucap sang guru dan segera harus diikuti anak-anak ngaji termasuk saya.

“pertama Iman…” semua murid pun menirukan itu.

Singkat cerita, Rukun Agama ada tiga perkara: Iman, Islam dan Ihsan. Dari menghafal itu, kemudian terus berlanjut menghafal Rukun Iman (6 perkara), menghafal Rukun Islam (5 perkara). Kala itu Ihsan tidak dibahas karena saya keburu naik kelas. Pelajaran pun meningkat: belajar membaca al-Qur’an, sejarah Nabi, Hadis, dan seterusnya sampai saya “lulus” mengaji di masjid tersebut dan berhak menjadi guru ngaji, ketika menginjak SMA.

Kembali pada soal pengajian dan materi sama yang saya ceramahkan di setiap masjid. Demi rasa hormat (ikram) saya pada guru ngaji dahulu, sebelum menyampaikan materi inti, saya selalu memulainya dengan semacam kuis. Saya tanya seantero jemaah pengajian dengan pertanyaan:

  1. Rukun Agama ada berapa perkara?

Pada pertanyaan ini, semua jemaah pengajian menjawab dengan sangat cepat dan meyakinkan. “Ada tiga perkara: Iman, Islam dan Ihsan,” sambut mereka dengan semangat.

  1. Rukun Iman ada berapa perkara?

Pertanyaan ini pun dijawab dengan cepat dan sesuai sistematika yang dulu diajarkan oleh guru ngaji saya: Enam perkara: Percaya kepada Allah, Para Malaikat, Kitab-kitab, Para Rasul, Hari Kiamat, serta Qadha dan Qadar.

  1. Rukun Islam ada berapa perkara?

Pertanyaan ini dijawab dengan lebih semangat sampai mengahasilkan efek suara yang ramai di dalam masjid. “Ada lima perkara: Syahadat, Shalat, Zakat, Puasa dan Naik Haji ke Baitullah…” segenap jamaah pengajian senang menjawab semua itu secara kompak.

  1. Rukun Agama sudah, Rukun Iman sudah, Rukun Islam sudah, sekarang Rukun Ihsan ada berapa perkara?

Sekejap, suasana masjid menjadi sangat hening. Tak ada seorang pun yang menjawab walau hanya sekadar salah menjawab. Karena hening, saya kembali lagi mengulangi pertanyaan itu, dan lagi-lagi usaha saya gagal menghasilkan keriuhan jawaban serentak seperti tiga pertanyaan sebelumnya. Mirisnya lagi, peristiwa itu tidak terjadi hanya di satu masjid, tapi di beberapa masjid yang selama beberapa tahun ini untuk pertama kalinya saya mengisi pengajian di sana.

Itulah hal yang saya sebut sangat krusial di awal tulisan. Mengapa pengetahuan keagamaan keislaman hari ini, hanya mentok di bab Iman dan Islam. Padahal Rukun Agama bukan hanya dua, tapi ada tiga perkara, yakni ditambah Ihsan. Jika Iman dan Islam punya rukun-rukunnya, mengapa Ihsan harus tak punya? Atau barangkali ada, tapi kita tak pernah mengetahuinya, alih-alih menelaahnya secara mendalam. Jangan-jangan pula, para pembaca yang budiman bernasib sama seperti jemaah pengajian tadi: belum pernah belajar dan mengetahui apa-bagaimana itu Ihsan dan apa saja rukun-rukun Ihsan.

Padahal konon, pembahasan Ihsan dalam konteks keilmuan keagamaan, merupakan puncak dan jalan keluar dari berbagai masalah keagamaan hari ini. Maka dari itu, dalam tulisan selanjutnya, saya akan coba menuliskan terkait Ihsan dan rukun-rukunnya.