aldiantara.kata

 

Hujan mengencani malam dengan intim. Tanpa busananya, memburu dengan gairah. Desahan bercinta mereka yang menjadi terapi sulit tidur. Kecuali trauma yang sulit disembuhkan. Atau kecemasan yang buat mata enggan terpejam. Dada yang tak berhenti berdebar. Hati tak kunjung bersabar. Dirimu yang tak jua sadar.

Langit hari kembali nyanyikan nada instrumental. Orkestra langit yang hanya bisa direkam manusia dengan alat-alat kekinian, tanpa bisa ditiru romansanya.

Meski rintik yang ditemani angin menggerakkan tirai-tirai jendela, mengapa suaranya tak sampai pada indera pendengaran. Tak terdengar. Apa mungkin ia terhalang pikiran manusia yang padat. Kesibukan yang menghiraukan sekeliling. Ambisi menjadi kapas menulikan. Hingga hirau kepada suara alam.

“Tidak. Ini adalah hal biasa. Apa mungkin kau sahaja lah yang tak punya kerja. Terlalu banyak waktu untuk menjadi peka. Tak biasa beraktifitas rutin.” Jawab waktu.

Seperti terdapat dua pilihan di masa depan, wajah pekerja dengan job deskripsi kerja yang sama, atau berhenti lantaran pekerjaan lama tersingkirkan tenaga muda.

Pada abad ini, mudah sekali orang menjadi iri. Senyum yang terlihat lewat feed medsos tak menularkan kebahagiaan bagi yang melihatnya. Pemandangan indah latar foto tak buat orang ingat penciptanya. Semakin menyadarkan agar kembali kepada rutinitas dan bekerja lebih keras! Dapat uang lalu cari pemandangan bagus.

Suara hujan kini tak lebih dari suara musik latar kafe yang berlalu. Hujan adalah isyarat alam yang ditakuti menjelang sore. “Keburu hujan.”

Adalah tanda orang panik selamatkan diri. “Yah.”

Hujan yang tak dinanti.

Bawa aku kembali kepada memori silam, bersama orang-orang yang berarti.

Hujan tlah kembali. Tidak lagi menyeruak wangi tanah. Tlah berganti dengan bau hand sanitizer.

Wangi hujan yang samar oleh bau tajam alkohol, kelamin dan pejuh. Sekaligus.