aldiantara.kata
Awan mendung bakal hujan tepat berada di atasku. Menunggu waktu, atau menunggu angin menjadikannya hujan. Di seberang seorang Ibu paruh baya tanpa alas kaki, menenteng air mineral dengan botol yang terlihat baru. Rambut yang sudah beruban. Mengenakan kaos hitam, celana hitam melebihi lutut. Sekilas apa yang berharga darinya hanyalah air mineral, ketimbang kemanusiaannya yang sejatinya terdapat hak dari harta-harta yang kita miliki memanusiakan.
Seorang gadis mengutuk perjodohan. Tak ada jalan keluar. Segar udara tlah direnggut anak-anak masalah, berputar menziarahi pikiran beserta cucu-cucunya. Semesta seakan membantu mencekik jiwa seakan hendak mati sebagai jalan akhir. Lupa cara bernafas. Lupa kapan melihat langit. Seakan dirinyalah pesakitan seorang diri tanpa ada penawar.
Seseorang mengatakan kepada sang gadis, “Jalan menuju rumahmu yang berandanya berdebu dahulu merupakan jalan rusak, tengoklah, kini tiada lagi jalanan berlubang dan berbatu tajam ke arahmu, kini sudah diperbaiki. Bahkan kini rintik menziarahi tiap jengkalnya.”
Akankah penderitaanmu masih menjadi cermin kamar?
Awan mendung bakal hujan tepat bertamu di atas kita. Deras tanpa ampun. Hampir tak tersedia celahnya. Wangi tanah telah sampai bersama kesejukan pada penciuman. Kita yang bertemu di persimpangan, lalu berjalan menuju takdir kita sendiri.
Tinggalkan Balasan