aldiantara.kata

 

Sayup suara merdu penanda fajar. Banyak manusia-manusia sudah terjaga. Desa berudara sejuk. Kukenali. Dingin menusuk tubuh. Derap langkah sebagian khalayak terdengar menuju suatu tempat peribadatan yang sunyi. Meski lampu yang kecil watt-nya menerangi ruang yang debu dibanding semesta raya. Masing-masing manusia terdiam seakan menyelami semesta jiwanya yang tak berdasar.

Puasa bicara. Waktu yang tepat untuk berdialog dengan Sumber Kekuatan, juga bermonolog dengan diri sendiri. Meski berakhir dengan lamunan kosong. Namun tubuh dengan sendirinya menyerap energi keilahian yang Maha Damai. Pada sebuah shaff tempat bersimpuh menghadap-Nya. manusia-manusia duduk berdekatan, tak saling bicara, hanya terdengar desis-desis zikir memuji-Nya. keheningan waktu fajar.

Aku menyadari bahwa aku bukan golongan pandita. Namun, apakah peneror yang lantang sembari mencekik kerah agamanya, juga melakukan puasa bicara kala fajar? Memasuki waktu sakral, menembus kesunyian jiwa, mengisinya dengan kesadaran-kesadaran spiritual? Sebelum akhirnya beranjak nekat tinggalkan wasiat.

Aku menyadari bahwa aku bukan seorang alim. Namun setelah puasa bicara, langkah-langkahku dipenuhi kedamaian. Setelah membiarkan semesta terdengar syahdu oleh udara, sementara manusia-manusia berbicara dengan diri sendiri, tentang eksistensi, harapan, keyakinan serta melawat jiwa yang haus akan sentuhan spiritual. Sebelum dunia dalam lingkar hiruk pikuk, sebelum semua menjadi sibuk.

Aku selalu ingat nasihat Mama, “Siapa yang memulai harinya dengan baik (perbuatan), maka sepanjang harinya akan terisi pula dengan hal-hal baik.”

Puasa bicara belumlah selesai, aku masih terjebak dalam dunia ingatan. Ini adalah waktu yang baik, dapat berkumpul dengan keluarga. Pada sebuah sofa cokelat yang sudah tua, jendela biru dengan besi-besi yang memanjang. Aku tahu betul posisi duduk yang pas untuk melihat matahari terbit. Indah sekali meski sinarnya terhalang oleh kelapa meninggi yang masih menjadi siluet pagi.

Mama dan Abi masih membolak-balikkan lembar kitab suci. Di desa yang dingin, sebelum diantarakata antri untuk diucap, makanan lezat tetaplah goreng ketan panas buatan Nenek.

Dunia ingatan. Ia menjadi brankas kekuatan yang rahasia kala seorang menziarahinya. Memori ini sudah membersamaiku belasan tahun. Meski rumah yang menaungiku dahulu sudah roboh. Namun aku masih sangat hafal tiap jengkal sudut ruangnya. Aroma udara khas pagi juga seisi ruangnya. Melekat dalam indra penciuman.

Ingatan, berdiri kokoh. Ia tersimpan baik-baik. Kerap menunjukkan mengenai siapa diri kita sesungguhnya, pada masa akan tiba?