aldiantara.kata
Bila aku marah, aku tak tertarik keluarkan getih, gunakan benda-benda tumpul, tajam, tuk menghajar seorang tak kusuka.
Kugunakan media-media lain yang mungkin menyebabkan sebal.
Aku mungkin akan masukkan dia pada suatu ruangan penuh dengan kecoa dan cicak, yang bau apek.
Siapa tahu dia punya fobia gelap, kumatikan saja lampunya. Dia akan menjerit sejadi-jadinya melawan sepi. Gelagapan cari setitik cahaya, deru nafas terengah-engah sesak, sembari.
Setelah puas, kuminta seseorang sembelih seekor hewan ternak depan matanya, menunjukkan bahwa dia seorang hemophobia. Biar kepalanya pusing, melihat darah mengalir, senjata tajam yang bikin ngilu matanya. Biar darah mengalir genangi kakinya.
Muntah, muntah saja di tempat bau amis. Kucekoki makanan super manis, kupastikan dia mengunyahnya, tanpa air minum. Kucekoki makanan super pedas, kupastikan dia mengunyahnya, tanpa air minum, pada waktu yang cukup lama.
Kupegang kepalkan pada tangannya seikat rambutan di sebelah kanannya, pepaya di tangan kirinya, membuatnya geli traumatis.
Kuusapkan perasan cabai pada kedua matanya secara merata. Perih sejadi-jadinya. Sementara sedari awal kedua tangannya dalam keadaan terikat. Dia akan meronta, merengek, menggerutu, seperti kesurupan, lengkingan suara yang tak pernah dibunyikan sebelumnya, tak mampu berpikir apapun, tak bisa pula menyadari kesalahan apa yang tlah diperbuatnya.
Aku tahu bahwa ia akan menjadi lebih buas lagi ketika pada waktunya membalas. Kuharus pastikan tiada lagi kesempatan untuknya membalas.
Tubuhnya akan terlihat lemas, tatapannya beberapa kali akan nampak kosong. Di dalam diriku mulai menggenang air iba, kasihan, memudarkan kepekatan benci yang mulai luruh.
Aku masih harus memberinya permainan. Namun sesungguhnya akulah yang berada dalam penderitaan-penderitaan. Melahirkan sesal.
Bila dia terlihat lapar, aku mungkin akan memberikan kepadanya sepiring nasi dan pindang. Emosinya terguncang, lantaran mengingatkan kepada cerita lama bahwa Bapaknya pernah lemparkan sepiring nasi pindang pada tubuh ibunya ketika makan.
Tiada yang lebih mengerikan dibanding pikiran-pikiranku sendiri. Janganlah sampai, ia menjadi keinginan, yang kuusahakan lalu menjadi peristiwa.
Hingga seseorang melakukan kekerasan secara tiba-tiba pada ruang publik. Pelaku tak membawa pisau atau badik. Pelaku hanya membawa cream cake ulang tahun yang ia pukulkan pada perut korban.
Korban menggelinjang, mengerang, terngiang-ngiang ingatannya pada putrinya yang meregang nyawa belum genap usia dua tahun. Sementara kala itu sang korban bersiap merayakan ulang tahun putrinya, setelah sebelumnya membeli cake ulang tahun. Perayaan sederhana. Namun takdir lebih cepat dibanding rencana-rencana.
Korban cream cake ini yang menggelepar traumatis sesungguhnya lebih memilih pisau dapur untuk dihujamkan kepada perutnya, dibanding cream cake ulang tahun yang membuat dirinya pilu, ingatkan kepada sang buah hati.
Pedih ingatan acapkali melahirkan dendam. Aku tak bisa eksekusi buah keinginan pikiran yang pekat kelam. Pembalasan kepada orang yang telah menyakiti. Kalap tiada maap. Hanya tumbuh menjadi manusia menanggung dendam, yang tak tahu caranya memadam.
Tiada yang lebih menyakitkan dibanding menanggung dendam. Kala menggelepar, tak seorang pun tahu. Kala berteriak, tak seorang pun dengar, kala membalas, tak seorang pun mengerti.
Tinggalkan Balasan