Ombo sudah tiba di Kota Gudeg. Tidak terasa pertemanan kami sudah tujuh tahun. Dari kota kelahiran RA Kartini.

Ia mengeluh soal pertambangan pasir dan tempat wisata yang belum dikelola dengan baik. Ombo masih berjuang memberikan apa yang ia bisa untuk memajukan desanya.

Tahun lalu ia merantau ke Sumatera Selatan untuk berdagang. Sebelumnya ia melamar pekerjaan di ibukota. Kagum rasanya dengan banyak pengalamannya. Daripada aku yang malah pusing dengan tugas akhir berikut tumpukan kertas prin-prinan yang tak kunjung selesai. Juga gelar yang tak pantas disandang.

Sebaiknya kini universitas menerapkan kebijakan baru. Ketika mahasiswa baru sudah bayar registrasi perkuliahan, berikan saja gelarnya diawal. ‘Yang penting’ mahasiswa mampu membayar SPP rutin, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa membeli dua ratus kertas hvs, bukan? ‘Yang penting’ mahasiswa kerjakan penelitian atas (~inisiatif mahasiswa) ‘perintah’ dosen, bukan? Apa bedanya antara gelar yang diberikan di awal dan di akhir kalau bukan soal (~penguasaan bidang) uang?

Kini Ombo sedang mengabdi pada sebuah pondok pesantrian baru dengan usia setahun berjalan. Terletak pada sebuah desa yang syahdu dan sejuk. Karena santri-santrinya baru angkatan kedua, sangat mungkin bangunan yang ada tidak memuat untuk memfasilitasi para santri pada tahun ajaran baru.

Daripada harus memperluas bangunan dengan menggusur panorama alam, Ombo dan ide semesta menamui kami malam-malam: para santri tidak tinggal pada sebuah asrama khusus. Melainkan tinggal bersama warga sekitarnya. Agar selain selain dididik oleh Kiai, juga oleh masyarakatnya.

Agar diajari semesta cara menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Agar diajari cara bangun pagi dan bekerja di sawah jika yang ditinggali keluarga petani. Agar diajari cara memasak dan tidak membuang-buang makanan. Agar diajari rasa malu jika tidak bersungguh-sungguh belajar. Agar santri live in bersama masyarakatnya. Inilah Pesantrian tanpa ‘Bangunan’.

Santri sepulangnya dari kampung halaman membawa buah tangan kepada induk semangnya. Menambah keluarga baru. Mempertajam softskill santri.

Dalam fragmen lain, temanku mengupload status Whatsapp. Mengenai wisuda yang dilaksanakan di sebuah pondok pesantrian. Kini pesantrian yang telah berdiri lebih dari puluhan tahun, tentu memiliki santri yang tidak saja berasal dari daerah pesantrian tersebut berdiri, namun berasal dari berbagai daerah.

Daripada harus diadakan seremoni dengan memajang foto-foto santri melalui bangku berjejer, ide semesta katakan wisuda santri begitu indah jika disambut oleh Kiai setempat di mana santri tersebut lahir.

Pesantren ‘A’ atau ‘B’ hanyalah wadah. Santri adalah kebanggaan milik semesta berikut masyarakatnya. Santri bukan milik lembaga ‘A’ atau ‘B’. Kiai-kiai dapat memberi nasihat-nasihat utuh mengenai keadaan negerinya.

Pesantrian tanpa ‘bangunan’: hendaknya tidak melulu berorientasi ‘pembangunan’ fisik. Pesantrian merupakan lembaga pendidikan semesta. Bila ide semesta ini ada manfaatnya, kupikir hal ini bukanlah suatu hal utopis. Juga tentu hal ini pun bukan satu-satunya ide alternatif.