Aku sudah melihat banyak perempuan-perempuan hebat di negeri ini. Hanya dalam perspektif sempitku. Mawar perlambang cinta dan keindahan, duri harga dirinya, berdiri di atas tanah merdeka. Tumbuh besar mengkritik pembangunan dan kesenjangan sosial. Berkembang melawan ketidakadilan. Mawar kini bertangkai besi. Berhati lembut mewarisi kerahiman Tuhan. Mawar suci berani bermandikan lumpur dan bangkai. Lelaki-lelaki banyak memilih menjadi caleg daripada mengabdi kepada bangsa negara. Kulihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati. Sebuah lagu. Apakah kini Ibu Pertiwi sudah menjadi janda dan lemah ekonominya? Menggadaikan dirinya untuk kepentingan-kepentingan dapur. Anak-anaknya banyak, namun diwarisi banyak hutang. Di mana kah Bapak Pertiwi? O, jiwa Bapak Pertiwi mungkin sedang menulis tulisan ini. Salah-satunya. Kini Ibu sedang lara, tidak hanya merintih berdoa. Ibu Pertiwi menjelma menjadi mawar bertangkai besi.
Aku melihat mawar merah. Tumbuh menentang otoritas keagamaan yang kolot dan tidak adil. Mawar merah merupakan jamaah pengajian mingguan, di dalamnya wadah pembelajaran al-Qur’an juga kajian tauhid. Wadah tersebut tidak cukup berhenti di forum, masing-masing berefleksi dengan keadaan sosialnya: Banyak disekeliling kaum dhuafa yang perlu diberdayakan.
Bulan suci Ramadhan menjadi titik balik. Bunga suci ini adakan santunan anak yatim dan fakir miskin. Refleksi yang berbuah amal nyata sebagaimana pesan universal semua kitab suci manusia. Mawar-mawar merah bertangkai besi ini meminta kepada manusia ‘berada’ untuk memberikan hak kaum dhuafa yang terdapat di dalam harta-harta mereka. Sekeras apapun para dhuafa bekerja dengan mengasong dan berkeliling, bahkan menjadi ‘budak’ di rumah orang lain, tidak sama kesempatan yang diperoleh dari orang-orang ‘berada’ yang bekerja dengan struktural yang sudah mapan dan koneksi yang bagus.
Bulan berikutnya, mawar merah adakan khitanan massal kaum dhuafa. Seremonial-seremonial tersebut diikuti dengan penggalangan donatur, kemudian dialokasikan kepada keluarga yang terlilit hutang rentenir, biaya konsumsi keluarga dhuafa, hingga pemberian beasiswa agar anak-anak bisa bersekolah. Mawar merah. Mawar merah. Ketika masjid tidak secara merata membagikan daging qurban. Bahkan dhuafa yang tinggal 10 meter di sebelah masjid. Diabaikannya. Qurban seperti hajat pengurus dewan kemakmuran masjid. Dhuafa hanya melihat prosesi penyembelihan dibalik pintu sembari memegang perut sendiri. Tanpa ditanya. Perempuan-perempuan hebat yang menjelma menjadi mawar bertangkai besi bergerak. Menyembelih dua ekor sapi di tempat pejagalan. Kemudian menjadi gerakan alternatif dengan membagi-bagikan daging kepada mustahiq korban ketidakadilan.
Perempuan-perempuan hebat mawar-mawar merah bertangkai besi. Membetulkan rumah dhu’afa yang hampir roboh, memberi suntikan semangat kepada orang yang putus harapan berselimut penyakit. Memberi makan kepada orang yang lapar. Memberi keterampilan agar korban PHK berwirausaha. Melunasi bunga-bunga rentenir yang bengis menyita rumah. Terlebih saat tulisan ini berjalan, wabah corona belum menunjukkan tanda-tanda penurunan jumlah korban. Korban PHK di kota besar bertambah. Sebagian orang kehilangan pekerjaan lantaran dipaksa untuk berdiam di rumah. Perempuan-perempuan hebat bergerak sebagai perpanjangan Tangan Tuhan di bumi.
Perempuan-perempuan hebat bagai mawar bertangkai besi kini menamai diri mereka sebagai Amanah Ummat. Komunitas kecil beranggotakan inti lima orang. Komunitas itu yang kini memiliki dua belas koordinator. Setiap koordinatornya memiliki kurang lebih lima puluh dhuafa. Mawar tidak perlu diajari oleh mahasiswa atau bahkan dosen berwawasan gender mengenai kecerdasan dan kesetaraan. Mawar yang tidak menahbiskan dirinya sebagai dermawan, bergerak dengan nafas ajaran agamanya dan kemanusiaan. Kini mereka pun ikut andil seperti mawar-mawar lain berusaha menutupi perut orang lapar. Setidaknya ketika memasuki bulan suci Ramadhan ada bagi mereka untuh sahur.
Kalau kini marak kriminal dan penjarahan, jangan berikan bogem mentah. Yang sulit kini adalah menekan keinginan diri untuk konsumtif, menurunkan standar hidup serta menutupi kebutuhan-kebutuhan wong cilik. Cara terbaik hidup di tengah wabah kini adalah dengan saling menutupi kebutuhan sesama.
Aku melihat mawar putih. Yang bergerak mensejahterakan guru-guru agama yang diupah kecil. Mensejahterakan tidak dengan menarik bayaran dari anak didiknya, melainkan dengan mencari para donatur. Agar guru-guru agama tidak usah repot-repot memikirkan dapur, dan segera berfokus kepada pengajaran agama kepada murid-muridnya. Juga agar menjadi guru agama bukanlah pekerjaan sampingan. Melainkan upaya serius menyampaikan pesan-pesan keagamaan yang indah dan menyentuh relung kemanusiaan.
Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal doa anak-anak yang dikeraskan dianggap mengganggu jamaah yang lain. Berseteru dengan dewan kemakmuran masjid perihal tempat yang dianggap mengganggu jamaah yang lain. Mawar putih dicurigai radikal lantaran berjilbab besar. Bahkan penuduhnya sendiri menjadikan kitab sucinya pajangan di lemari kamarnya.
Manusia tercipta dari tanah. Mawar tumbuh dari tanah. Manusia-manusia bermental feodal-patriarkhal tak boleh remehkan kekuatan Mawar bertangkai besi. Pesan mawar kepada tanah senada: wabah corona tidak saja berimbas pada bidang kesehatan, namun juga dampak serius ekonomi masyarakat. Anggota DPR terpilih tolong untuk turun ke masyarakat. Lihat secara langsung bagaimana kondisi masyarakat. Bagi mawar bertangkai besi, satu nyawa rakyat yang mati, penjara bagi mereka. Agar mereka bisa merenung bahwa menjadi pemimpin bukanlah sebuah profesi, melainkan sebuah pengabdian. Kalau amanah, Mawar tidak perlu repot-repot berafiliasi dengan dukun santet. Tinggal memilih apa mau membersamai rakyat, atau dengan paku payung berkarat bersarang di perut?
Tinggalkan Balasan