aldiantara.kata
Racikan minuman yang kau pesan dan baklava. Air yang sudah menyurut jelang habisnya, lalu ditemukan ampas yang belum teraduk sempurna, meninggalkan sisa menjanggal, yang tak diairi lagi.
Sisakan pertanyaan, tertinggal dalam minuman. Rahasia dibalik pesan yang tak terbalas. Prasangka muncul tanpa menemukan bayang cerminnya sendiri. Apa rasa manis yang kian terlalu, membuatmu bertanya? Waktu menunjukan dekat pada pergantian hari. Kau tinggalkan minuman setengah sisa daripada harus kembali membuka percakapan baru. Menggoyangkan gelas minuman yang sempurna dalam genggaman. Agar tiada meninggalkan cerih. Sementara endapan tak bisa melarutkan dirinya sendiri. Kau berdalih sisa-sisanya seperti gula batu pada minuman susu jahe panas di angkringan selatan Tugu kota. Dengan sendirinya melarut.
“Pertanyaan, tak lama lagi akan menjadi jawaban,” katamu. Kau selalu marah, bahwa aku selalu menganggap suara prasangka pada alam pikiranku mewakili sikap diammu yang kuanggap sebagai jawaban.
Airnya kurang panas, tarian endapan belum juga menuju dasar gelas, lebih lama mereka mengambang menunggui asap berpamitan sekejap. Karena udara semakin dingin. Kau mengeluhkan rasa minuman yang tak selalu sama dengan racikan yang baku. Mungkin kau lupa bertanya apa minuman teraduk sempurna.
Apakah sebetulnya kau sudah menyadari perihal kegelisahanku yang mengendap. Sengaja tak kau usik, sebab kita tak suka berisik. Enggan kau aduk, agar tak berubah seruputan pertamamu yang telanjur nyaman di ranjang lidah.
Sebelum pertanyaan-pertanyaan jatuh ke dasar gelas. Kau bertanya, apakah cinta soal jam terbang? Dulu kau pernah bilang pernah menyukai laki-laki kakak tingkat. Namun mengatakan bahwa untuk pertama kali denganku kau berswafoto di bawah langit temaram, dekat dengan tempat beranjak suara deru pesawat. Kau selalu mencegahku bertanya lebih dalam, apa aku mengeruhkan endapanmu yang sudah tak mungkin larut? Meski aku mengusiknya, ia hanya akan menari berputar lalu merebah pada permukaan menjadi gundukan. Tak mungkin larut lagi. Sudah benar posisinya pada lelap dan senantiasa tenang keadaan.
Endapan minuman barangkali seperti harga yang harus dibayar dalam hubungan? Kau menjawab itu prasangka aku. Menuding. Aku katakan bahwa prasangka adalah pertanyaan pahit yang tak bernyali untuk kemudian terajukan.
“Kau mau memesan minuman lagi?”
Aku ingin minuman ber-es batu. Agar mencair lalu menyatu sebagai air. Tiada cerih, selain wujud protesnya sebagai asap.
Endapan tak saja perihal kandungan gizi, namun juga bubuk mesiu yang siap meledak- ledak, seperti pertanyaan-pertanyaan yang tak lagi bersemayam di alam pikiran, melainkan sudah mengendap pada hati yang kita tak tahu di mana letaknya. Masing-masing memiliki ruangannya, di mana kesunyian selalu bergelut dengan amarah memeluk suatu tuntutan.
“Bilang saja kalau ada apa-apa. Jangan sungkan.”
“Kenapa hubungan kita tak pernah didera masalah, ya?”
Akhirnya, pernyataan-pernyataan itu menjadi rasa yang mengganjal pada minuman kita. Pernyataan yang muncul sedikit jumawa pada awal-awal hubungan yang manis. Tepat sekali bila pernyataan pernyataan di atas adalah pernyataan granat tangan yang meledak di akhir hubungan. Tak ada bunyi ledakan. Ia serupa cahaya pada langit ingatan yang mencibir, “Inilah akhir”. Sebab kita tak pernah mau mengakui hubungan yang sedang tidak baik-baik saja.
Tinggalkan Balasan