aldiantara.kata
Bahkan headset tak bersamaiku dalam perjalanan pulang. Biasanya aku kerap habiskan waktu perjalanan sembari mendengarkan banyak lagu, lalu aku tenggelam pada laju waktu yang tak bisa kuraba. Sudah terlalu kangen rasanya untuk segera pulang. Bahasa ibu yang menjadi suatu pertandaku menjadi percakapan-percakapan sopir kondektur, ia seperti memeluk telinga lalu turun ke palung hati.
Aku dibawa oleh kafilah bid’ah, jika pada zaman Nabi. Bermesin modern, beroda empat, bertarif pandemi. Kendaraan-kendaraan yang menyemut, di bawah atap langit manusia berlari diburu waktu.
Menjelang siang, kusaksikan petani-petani menepi sejenak dari terik sekedar menenggak air. Jalanan membelah sawah, manusia-manusia berbagi kemaslahatan atas tanah. Antara yang berlalu dan menetap.
Aku berada di bus yang sama, kekasih. Apakah masih ingat bahwa dikau pernah menemani perjalanan malamku? Kita saling berbagi pandangan mata. Aku berbagi apa yang kulihat di perjalanan, sementara dikau berbagi apa yang kausaksikan di langit kota.
Satu-satunya yang kita abaikan adalah sepi disisi. Hingga salah satu dari kita terlelap, lalu bangun saling mencari. “Sudahkah terlelap?” tanya kita dalam ketersalingan. Besar hati ingin menyelimuti, namun cinta akan semakin kuat dengan kesendirian.
Pentingnya teman perjalanan agar sejenak melupakan kesedihan kala tinggalkan tanah perantauan. Pada titik itu butuh sedikit candaan agar redakan kesedihan. Di perjalanan kita bertemu teman lama. Mengabar keadaannya, hingga terdengar suatu kabar terkait teman-teman yang telah wafat.
Pada sebuah perjalanan klasik, arah jalan yang dirasa tepat. Sikap yang baik barangkali dengan cara tidak memikirkan tujuan. Membiarkan alam berlalu dengan datangnya keindahan baru, melalui pemandangannya yang tak pernah sama. Aku tak sedang tergesa menuju maghrib, mohon jangan dulu sampai tujuan sebelum ini hanya menjadi ingatan yang dikenang.
Pada sebuah angkutan umum, lama tak terdengar seorang ibu-ibu yang menaiki kendaraan ini dengan kaki kanan dan membaca, “Bismillah” berbisik lirih. Pada pintu masuk kendaraan terpampang sticker doa naik kendaraan yang digandeng sponsor calon wakil rakyat daerah berikut nomor pencoblosan. Dari semula aku membayar tiga ratus perak hingga kini menjadi tiga ribu rupiah. Penumpang saling menggeser pantatnya bila supir menyisi mengangkut orang.
Kendaraan ini berlalu melewati sebuah Mesjid Sayyidah Khadijah. Penamaan yang bagus, segera kusimpan-simpan di memori ingatan. Tentu saja menarik penamaan mesjid yang dinisbatkan kepada istri tercinta Nabi Shalallah ‘alaihi wa salam.
Dari supir angkutan umum aku belajar bahwa kesemuan cinta sebagaimana lirikannya kepada gadis desa yang menjadi penumpangnya. Lalu dipaksa pasrah kala sang gadis sudah sampai pada tujuannya. “Kiri!” sang gadis lalu turun memberikan uang. Sang supir dipaksa lupa untuk menjemput ‘kekasih’nya yang lain.
Di perjalanan, aku menyaksikan ada cukup banyak para manusia yang membuang makanan. Bukan berarti lantaran sudah tidak layak. Tapi karena sudah tidak diinginkan, atau karena sudah terlalu kenyang dan malas membungkusnya lagi yang tinggal menyisakan sedikit.
Apa yang kulihat dan rasa selama perjalanan, menjadi suatu yang kutuangkan melalui tulisan ini. berawal pada suatu buku catatan yang kubuka. Aku memikirkan suatu hal. Mengapa buku yang hendak dibaca harus terbuka. Kupahami bahwa sekali sebuah buku dibuka kemudian dibaca, maka ia terbuka dengan konteks sekitarnya. Ia harus berdialog dan terbuka pada hal-hal baru. Meskipun tinta mengering untuk waktu yang semakin melampau. Meninggalkan konteks yang semakin baru.
Sebelum suatu buku berhadap dengan realitas, ia terlebih dahulu menjadi penasihat dan teman yang baik bagi diri manusia. Seperti Sujiwo Tejo yang suka sekali membaca surat Al-Fatihah. Surat tersebut membuatnya terbuka, membuka diri dari berbagai hal. Beliau bergaul dengan siapa pun. Demikian halnya buku menjadi bagian tubuh manusia yang tak disempurnakan Tuhan ketika lahir. Namun Ia perintahkan melalui wahyu pertama kepada Sang Nabi yang agung, perintah Iqra’ ! Renungilah apa yang berada di sekitar, berefleksilah!
Tinggalkan Balasan