aldiantara.kata
Begitulah, bila seorang memasuki kota asing, yang menawarkan kata-kata pada setiap benda yang dilewatinya, terkadang ia baru bisa menjumput, mengolah tiap aksaranya menjadi tulisan, setelah sekian kali ia dapat berkunjung, menamuinya, hingga sang tuan rumah, yang tak memiliki rumah, yang mendiami kota asing ini, menawarkan suguhan. Lalu ia berbicara seakan aku diberi ruang untuk menetap dan menitip sebagian kata-kata, pada suatu bilik yang masih kosong, yang bercat pudar, yang terlihat mati tak memiliki jiwa.
Kemudian aku bercerita tentang kota yang asing. Gadis kecil penjaja koran di lampu merah yang berlari membawa bunga yang ia kupasi setiap bagian tangkai dan bunganya di atas aspal yang panas.
Tuan rumah menepuk pundakku, agar tak mewarnai bilik di kota yang asing ini dengan buru-buru, kata-katanya akan menjadi muram, tak perlu memburu, gusar hendak segera menyelesaikan. Sebab itu tak akan membuatnya indah, hingga menghidupkan kembali jiwa orang-orang yang tinggal di kota yang asing ini. Terburu-buru hanya akan menjadikan tulisan sebagai proyek, yang menjual kegetiran dan simpati. Namun juga jangan terlalu lama agar tak dipendam sendiri.
Pleburan, Semarang (2022)
Tinggalkan Balasan