aldiantara.kata
Bila aku mengatakan “tiba-tiba”, diksi itu menurutku, tidak menurut semesta. Sebab aku tidak tahu proses yang terjadi di belakang. Di luar sepengetahuanku. Semua seakan terjadi begitu saja tanpa ada aba-aba. Waktu dan takdir menemukan titik temu, menemukanku. Terjadilah. Sesuatu.
Tiba-tiba.
Seorang perempuan asing mengucap salam via WhatsApp. Mengenalkan dirinya, lalu memintaku untuk menyimpan nomernya.
“Saved. OK.”
“Wah. Terimakasih, Kak Al.”
(Taudarimana nomerku?)
Masih online. Aku penasaran apa maksud pembicaraan. Jemari dalam mode otomatis melihat foto profilnya. Kemampuanku yang cukup ahli dalam bahasa buaya menerjemahkan pandanganku ketika melihat foto profil sang gadis, “Menipu! Menipu! Barangkali wajahnya tak secantik fotonya.”
“Saya perwakilan dari panitia Pekan Raya Jurusan Quote dan Jiwa Sosialita 2020 bermaksud menyampaikan ulang rundown kegiatan. Berikut link pendaftarannya, Kak. Bersamaan pula, mohon bantuannya ya Kak untuk sebarkan informasi acara ini pada teman-teman Kakak angkatan 2013. Terimakasih banyak, Kak.”
“Iya. Kayanya udah ada yang share ini di grup angkatan.”
Ia kemudian mengucap terimakasih. Kubaca. Aku tak menjawab apapun.
Setelah menjadi alumni jurusan Quote dan Jiwa Sosialita, sepertinya organisasi mahasiswa jurusan ini semakin berkembang. Biasanya berkutat pada bedah buku dan seminar-seminar di teatrikal fakultas, tujuannya tentu untuk mencari quote-quote buku, lalu upload medsos dan dapat banyak like. Namanya juga jurusan Quote.
Tak lama kemudian, perempuan asing ini mengirim pesan baru. Isinya ia mulai dengan diksi yang cukup sopan. Cocok seperti slogan yang populer akhir-akhir ini dalam bahasa komunikasi, “Anda sopan, kami curiga.” Sembari mengingat rumus, jari jemariku mencoba menerka-nerka kemungkinan maksudnya, ia masih mengetik pesan setelah ucap permohonan maaf mohon bantu barusan.
Menawarkan produk? Sepertinya tidak.
Kampanye caleg? Sepertinya bukan orang part-tai.
Aha! Terkaan opsi ketiga yang masih bergumul dipikiran bersamaan satu detik dengan munculnya pesan baru darinya, permohonan dana! Ia bilang siapa tahu alumni berkenan bantu sumbang dana.
Memang, mengumpulkan quote banyak tokoh tidak bisa menutup kebutuhan kegiatan. Tapi ketika quote-quote itu muncul pada baju, tote bag & barang-barang lain tentu memiliki daya jual.
Masa pandemi ini memang tidak mudah mengajukan sponsorship. Hembuskan udara perhatian, berpura menanyakan berapa dana yang telah terkumpul sejauh ini. Membahas alternatif. Mencoba bermaksud berbagi pengalamanku sebelumnya, namun di strata-satu dulu, acara jurusan begitu konservatif bahkan kurang terdengar gaungnya. Lantas, pengalaman apa yang bisa kubagi?
“Beberapa teman yang punya kegelisahan yang sama, menilai acara jurusan isinya cuma seminar dan khotbah dosen tanpa bantahan. Mahasiswa kurang baca, dosen kurang penelitian. Himpunan Mahasiswa Jurusan vacuum. Sama seperti keadaan Liga 1 sepakbola sekarang. Beku! Namun kupikir kala itu, mahasiswa tetap harus punya kegiatan. Dahulu segelintir mahasiswa yang dirasa punya kegelisahan yang sama memilih kegiatan penanaman pohon, dengan harap, semoga sahabat-sahabat mahasiswa jurusan Quote dan Jiwa sosialita ini dalam mencintai, menyayangi dan menyetubuhi alam tidak hanya berakhir pada mulut yang berbuih, overdosis quote! Hingga mabuk sempoyongan lalu kembali sibuk rebahan.”
“Biasanya kalau lakukan penanaman di Jogja, banyak orang menyarankan tempat di lereng Merapi. Namun kami tidak mau sekedar seremoni. Apalagi di tempat-tempat yang biasa orang banyak lakukan. Ketika itu, entah tiba-tiba konsep mestakung (semesta mendukung) itu nyata. Ketika kita punya suatu keinginan kuat, semesta seakan bersatu membantu mewujudkannya. Tiba-tiba kami dipertemukan dengan salah satu LSM di Yogyakarta, mereka menyarankan agar melakukan penanaman bersama masyarakat Petani di suatu tempat.”
Tidak biasanya aku berbicara banyak. Aku tahu diriku sebetulnya tak nyaman. Aku tak suka bercerita ini, takut terkesan agul, membanggakan diri, tapi aku harus berbicara yakinkan diriku, ini suatu sejarah yang harus disampaikan. Seseorang takkan sanggup melawan part-tai kuat yang mabuk kuasa di kampus cukup dengan perlawanan normatif-struktural. Cari alternatif, buat suatu perlawanan kultural.
Tapi aku cukup kagum perempuan asing ini masih online, aku merasa didengarkan. Meskipun aku tak tahu barangkali dia sibuk berkomunikasi dengan pihak lain. Aku seakan hendak menyampaikan pesan sebagai alumni jurusan Quote dan Jiwa Sosialita, ingin mengapresiasi acara panitia pekan raya 2020. Himpunan jurusan pada zamanku yang dikuasai partai kuning biru yang membawa status quo memang sudah sepatutnya dilawan! Bila tidak bisa melalui perlawanan struktural, memenangi pemilihan umum mahasiswa, mahasiswa harus bergerak mencari alternatif melawan kacung part-tai. Membuat kegiatan yang diinisiasi oleh mahasiswa non-organisasi, merangkul semua kalangan, berdiskusi, agar kelak pada waktu dalam menjalankan roda organisasi, jalankan dengan cara yang sehat. Sebagaimana kata Rendra, beda antara pemimpin dan penguasa.
“Kami menginisiasi kegiatan kala himpunan jurusan sedang mati suri. Meski kami tahu tidak ada suntikan dana dari fakultas, tapi teman-teman kami berani meminta dosen sumbangkan dananya, namun tujuan kegiatan kami jelas, kami lakukan survei ke lokasi masyarakat petani, lalu kami buatkan proposal sebaik-baiknya, sebenar-benarnya. Sebelum “bertamu” ke ruang dosen, teman-teman sudah berjualan di Sunmor untuk menambah uang kegiatan, hasil keuntungan lumayan mencapai 500k dalam dua hari berjualan. Belum dari uang sukarela teman-teman yang berkenan ikut kegiatan, sekitar 60 orang, juga mereka turut menyumbang. Lebih dari 2000k terkumpul tanpa anggaran dari fakultas yang sesungguhnya ada untuk kegiatan mahasiswa.”
“Betul, Kak. Meskipun dana yang masih kurang sebetulnya bisa ditutup dengan dana fakultas ketika nanti cair, selain dari sponsorship, sementara dengan menggalang dana iuran dari panitia dalam keadaan mendesak seperti ini toh tidak semua setuju.” timpal perempuan asing.
Perempuan asing lalu memintaku untuk bercerita lebih banyak soal penanaman. Ia merasa bersyukur ada pada masa himpunan jurusan kini lebih terbuka, baik kepada organisasi ekstra di luar ‘kuning biru’, juga kepada mahasiswa non organisasi ekstra.
“Ah, andai kita bisa ngobrolin ini secara langsung ya, Kak.”
“Betul. WA sangat terbatas.” timpalku dengan wajahku menghijau buaya. Namun obrolanku kadung serius.
Perempuan asing ini memintaku sekali lagi, untuk bercerita mengenai kegiatan penanaman silam.
Aku katakan bahwa penanaman yang dilakukan olehku dan teman-teman setidaknya sangat signifikan.
“Kok bisa, Kak?”
Setidaknya seorang tokoh masyarakat setempat katakan, bahwa kini mereka membutuhkan banyak pohon kelapa untuk mencegah abrasi pantai, setidaknya hal tersebut berdasar data penelitian ilmiah. Entah bagaimana Tuhan menggerakan kami untuk belajar menanam di sana. Setahun lalu aku pernah ikut kegiatan penanaman di lereng Merapi. Namun, prosesi penanaman pohon di lereng Merapi dan di tempat kami lakukan kegiatan penanaman sangat berbeda. Caranya tidak normatif sebagaimana dalam buku-buku cara menanam pohon.
Seseorang yang menanam pohon di tempat di mana kami menanam itu harus tahu kapan hari baik dalam menanam. Masyarakat setempat meyakini, waktu menanam yang baik itu setidaknya pada dua hari raya besar: Idul Fitri dan Idul Adha. Masyarakat banyak menanam pada hari-hari besar. Namun menariknya, masih ada pula sebagian masyarakat yang meyakini, hari baik menanam itu ditentukan oleh perhitungan Jawa.
Seorang warga setempat katakan,
“Niku nek nanem pohon setunggale nggih ngangge hitungan Jowo. Uwid, godhong, kembang, uwoh. Sa’derenge nanem niku diitung riyin, nek nanem ojo sampe tibo sa’liyane tibo uwoh. Nek diitung jumlah dino karo pasaran iku tibo uwid yo ojo dilakoni. Nek nandur ngenteni tibo uwoh. Nek taun iki saene nanem nggih dinten kemis utowo jemuah pon atau jemuah pahing. Dados itungan Jowo dino lan pasaran kui tujuane kanggo ngadohake homo lan sing ditandur bisane urip subur akeh uwoh-uwohane.”
(“itu kalau menanam pohon salah satunya ya menggunakan perhitungan Jawa. Uwid (pohon), godhong (daun), kembang (bunga), uwoh (buah). Sebelum menanam itu dihitung dulu, kalau menanam jangan sampai jatuh selain tibo uwoh (buahnya lebat). Jadi kalau menanam harus menunggu tibo uwoh. Tahun sekarang bagusnya menanam pada hari Kamis atau Jumat Pon atau Pahing. Jadi perhitungan Jawa hari dan pasaran itu tujuannya untuk menjauhkan hama dan yang ditanam agar tumbuh subur dan banyak buahnya.”)
Setelah ditentukan hari baik, idealnya seorang yang hendak menanam tidak boleh tidur pada hari tanam. Sebelum melakukan penanaman, harus dalam keadaan suci (berwudhu), melakukan kumandang adzan dan iqamah, dan dzikir-dzikir tertentu. Masyarakat menganggap penanaman merupakan prosesi sakral, memperlakukan tanaman sebagaimana manusia yang lahir. Cuaca ketika itu sedikit mendung. Tidak ada yang tidak merinding kala itu.
Menariknya, seorang petani sepuh bilang, “kalau mau tanamannya kokoh, ketika menanam, penis harus dikempit.” Ada pula yang katakan, ketika menanam, harus sembari menggendong anak kecil, seperti sebuah keyakinan dan harap, agar tanaman tumbuh subur dan berbuah lebat.
Kegiatan memang tidak selancar yang diceritakan. Banyak kekhawatiran sebelumnya, bahwa masyarakat yang kami kunjungi, tanah yang kami lakukan penanaman di atasnya merupakan tanah sengketa antara masyarakat dengan aparat TNI-AD. Secara tidak langsung, di samping penanaman bertujuan untuk mencegah abrasi, juga secara tidak langsung sebagai bentuk solidaritas, bahwa tanah tempat menanam merupakan tanah milik masyarakat, bukan milik militer. Dzikir yang dibacakan ketika menanam bukan dzikir dalam rangka menghindari hama dan meningkatkan kualitas hasil penanaman, juga tolak bala. Kenyataannya setelah beberapa waktu setelah penanaman oleh petani setempat dibantu oleh para mahasiswa, ada seorang militer yang mencabut kelapa, tidak lama kemudian terkena bala, istrinya meninggal. Seorang militer tersebut lantas datang mengunjungi tokoh masyarakat dan meminta maaf.
…
Beberapa hari kemudian,
Status WA. Perempuan asing membuat satu status salah satu kegiatan seminar nasional dengan caption, “Sukses!”
(gumam hati, nomerku disave-nya.)
“Selamat!” aku berkomentar.
“Alhamdulillah, Kak. Dana terpenuhi. Lancar jaya.”
“Alhamdulillah. Uang dari fakultas cair?”
“Ngga, Kak. Kami panitia akhirnya jual semacam kaos marchandise.”
Perempuan asing mengirimi foto baju. Baju tersebut bertuliskan, “Rektor kampus kami bukan Guru besar, tapi Pebisnis kelas kakap.”
“Aku heran, Kak, kok bisa kaos yang justru tidak ada hubungan dengan acara malah laku keras.”
“Ohya, Kak.” Lanjut perempuan asing.
“Namaku Farah, aku laki-laki, Kak. Mohammad Farah. Mohon maaf, foto profil kupakai foto pacarku, Kak.”
Aku hanya menjawab dengan emoticon senyum.
Brainsex! Ngapain aku harus tiktokan chat dengan cowok yang dalam pikirku dia adalah seorang perempuan!?
Kublok.
Tinggalkan Balasan