Sejak kecil Eko memang telah diwarisi semangat membaca oleh ayahnya. Dimulai dari membaca koran mingguan yang dibawa oleh ayahnya, hingga majalah-majalah Islam yang mengaitkan antara iman dan gerakan sosial. Melalui Kyai Khasanuddin, Eko mulai tertarik akan diskusi. Membaca menyuguhkan kepadanya ide, gagasan dan petualangan.
Melalui pengalaman masa kecilnya, Eko seringkali menggandrungi setiap bacaan, hingga geram hendak mengubah bahasa ide menuju tindakan. Dengan demikian beliau tidak pernah menyukai buku pelajaran. Ditulis dengan dingin tanpa emosi. Sangat membosankan. Baginya, buku tidak sekedar bacaan, tetapi juga senjata. Setelah masuk kampus UII dan memimpin lembaga pers Keadilan, melalui wadah itu Eko mengasah kemampuan menulisnya sekaligus mempertemukannya dengan tokoh berikut ide dari ‘Dewa ilmu sosial’ seperti Paulo Freire, Antonio Gramsci Hingga Michel Foucault. Eko telah menemukan pasangan hidup sebenarnya: buku dan tulis menulis.
Bagi Eko, ‘Takkan pernah ada wahyu yang begitu progresif dan mendorong manusia untuk memeluk pengetahuan, kecuali perintah iqra…Maka saya memahami iqra sebagai perintah yang punya makna beraneka: meminta kita untuk tak menanggalkan kegiatan membaca, terus mendorong kita untuk membaca dalam kondisi apa saja dan jadikan bacaan sebagai ibadah utama. Melalui membaca saya benar-benar merasa punya iman.’
Buku Eko Prasetyo ini tidak saja kaya akan informasi, melainkan juga kritik sosial. Tanpa tiang pengetahuan, maka pengajian hanyalah ekspresi dogma dan doktrin. ‘Tak membuat ummat menjadi kritis dan pintar, tapi ngawur dan bodoh. Semua kreasi manusia dianggap bid’ah.’ Kebanyakan orang meyakini ajaran yang buta pada toleransi. Lebih banyak lagi orang yang percaya kalau agama tugasnya menghakimi.’
Eko juga mengkritik mengenai kondisi pendidikan sekarang. ‘Sekolah-sekolah agama dengan bayaran tinggi menjamur di mana-mana. Kerapkali metode mereka hanya hapalan dan disiplin buta. Tradisi pengetahuan yang membekali dengan kesadaran kritis dan kesangsian sirna. Anak-anak dilatih jadi pasukan penghafal yang gampang sekali diarahkan untuk membela maupun memusuhi yang berbeda. Pusat-pusat perbelanjaan yang memanfaatkan agama sebagai sentimen untuk meraup pelanggan. Bisnis agama apapun kini menghasilkan laba yang tinggi seiring dengan melonjaknya basis kelas sosial umat. Maka umat menjadi konsumen yang gila pada apapun yang berbau agama, film, kosmetik, busana hingga tempat kediaman.’
Semua hal di atas bagi Eko lantaran kita memang tak lagi mengamalkan iqra. ‘Mustinya beragama berarti merubah keadaan. Iqra merupakan jembatan kita memahami kitab suci. Diperkenalkan kita tentang potensi diri. Diberitahu tentang ancaman. Sekaligus disampaikan pada kita harapan. Melalui perantaraan Iqra kita jadi manusia yang memahami hakikat, peran dan fungsi. Itulah para utusan Tuhan yang menjadi monumen perubahan sosial. Iqra bukan kegiatan membaca saja melainkan aktivitas progresif yang menumbuhkan kesadaran paling militan.
Iqra tak lagi sebagai perintah ‘membaca’ tapi ‘mengubah, mengilhami dan menerangi’ jalan sejarahnya.’
Tinggalkan Balasan