aldiantara.kata

Di pasar sore, yang ramai saat kunjung malam. Aku baru mengenali nama-nama yang asing pada tempat-tempat yang sering terlewati. Baru tersadar di mana aku berjalan melawan arah arus. Hujan yang baru reda setiba-tibanya yang bukan pada musimnya. Padahal kau ingin sekali melihatku makan yang banyak. Seorang pedagang yang tak ramah terhadap dialek orang asing di luar kotanya. Perlu kumeminjam bahasamu agar sedikit ramah dan memberi rasa hormat terhadap tamu?

Daripada kau mengeluh perihal waktu, yang belum tentu menjadi milikmu, adakah kesempatan pergi mencari nafas di sela rutinitas yang jemu. Mencari jadwal alam yang kini terbagi antara senja dan fajar. Meja yang bermenu kopi, atau spot foto dengan latar pasak alam atau jurang-jurang dalam. Sisanya adalah hiruk pikuk kendaraan mencari tempat parkir makan.

Di pasar sore, berjalan melawan arus. Memang seharusnya seperti itu, bukan? Daripada terbawa arus, sama-sama menderita, memikirkan keresahan dirinya sendiri, tanpa bisa melawan.

Di pasar sore, di waktu malam, asap mengepul dari makanan-makanan. Pilih mana? Adakah yang menarik hatimu. Simpan dulu gelisahmu pada bayang gelap malam, di bangku taman, agar kelak disapa embun malam. Simpan dulu gelisahmu sebelum butir kekhawatiran itu tercermin pada kedua bola mata sebagai hal nyata. Bisa berhenti bertanya pukul berapa? Atau mencari berita-berita terbaru. Drama-drama baru. Seolah menerka alur, pelaku-pelaku terlibat. Tembok yang tak bersalah berlubang kena peluru.

Di pasar sore, di waktu malam. Tangisan-tangisan seolah diredam dinding-dinding yang dingin. Kini tak banyak protes tentang kebijakan-kebijakan beling. Semua menjadi normal. Semua menerima. Tertawa teralih joget adegan pendek.

Di pasar sore, di waktu malam. Semua menjadi hening, yang seharusnya bising. Apa benar ini adalah pasar sore di waktu malam?