Page 2 of 47

Ada yang Kukira akan Abadi

Ada yang kukira akan abadi. Ada yang tak terbaca algoritmanya. Ada yang luput tak tersusun kata-kata. Tak cepat berlalu, yang telah lalu, setelah disimpannya pada brankas yang kita sembunyikan rapat-rapat kuncinya.

Segala kenang dan potret buram tertinggal pada mesin-mesin kehidupan, yang membawa kita jauh. Hari-hari yang akan terangkum pada bayang samar-samar. Serta bisik kata melalui bibirmu yang terdengar sebagian. Jeda koma, perjalanan yang kukira akan menjadi abadi.

Seberapa jauh bagaimana manusia menjangkau angkasa yang tak pernah kita bayangkan, manusia tak pernah selesai menyelami dirinya sendiri, menjangkau dasar atmanya sendiri. Seberapa jauh jangkau cahaya kota yang kita saksikan malam itu, manusia tak pernah selesai memahami kerinduannya sendiri, merangkai alasan-alasannya sendiri.

Ada yang kukira akan abadi. Pertanyaan itu, yang engkau utarakan selepas jeda tidur malam panjang, pada sebuah ranjang di antara daun kering ketapang di balik pintu, dan bunyi air kolam.

Ada yang kukira akan abadi. Perayaan itu. Waktu tidak berputar menziarahi sekon yang pernah dilewatinya. Bukankah manusia lah yang gemar menapaki fragmen-fragmen ingatan?

Ia gemar menandai waktu. Pada hari ini, yang lalu, atau esok. Lalu menulis ini dan itu sebagai hari istimewa. Petanda-petanda yang kemudian seperti memudar. Itu mungkin hanya menunggu sebuah luka.

Just try not to worry, you’ll see them someday, Cobalah untuk tidak khawatir, kita akan melihatnya suatu hari nanti, kata suatu lagu.

Rembulan Pada Bahu Lampu Merah

Rembulan pada bahu lampu merah, dan gemintang yang berada di timur lautnya. Siapa mau menjemput sesuap sepi yang terbit pada rentang waktu yang kita mengira berlalu begitu lama. Adakah kita menerima, kepada sebuah jawaban yang tidak kita inginkan. Sementara gerimis, berada di luar jendela, ditemani kaca berembun.

Manusia-manusia yang kalap kepada materi, belum juga tidur malam ini. Pun turis-turis yang berziarah pada kota lama. Juga puan dan tuan yang kalap melahap kerinduannya, belum juga tidur malam ini. Mereka sama, menatap rembulan pada bahu lampu merah, dan gemintang yang berada di timur lautnya.

Hanya pada saat tidur, manusia menjadi manusia itu sendiri. Tidak ketika ia terbangun. Ada yang menjadi diksi, mata air, api, kata-kata, angan-angan, bait lagu, sutradara yang bermain peran, hingga menjadi cerita masa lalu yang kerap ingin diziarahi.

Suara yang Senyap

Setiba-tibanya, teramat kuatnya pikiran terjaga menuju pagi. Rindu menjumpaimu sebagai embun. Serta lanskap yang menjemput kerlap mata tanpa kabut, menyebut namamu dalam cemas. Dalam suara yang senyap, memanggilmu. Tersisa puisi Hujan Bulan Juni yang kubaca lamat-lamat, diksi-diksi Sapardi menari, membawaku kepada suasana lawas. Tapi sosok Pingkan telah menjelma dirimu. Muara bagi larik larik sajak. Namun lekas senyap tinggal bayang-bayang. Dirimu tanggal dalam pikiran. Suara parau. Tawa yang memecah kesunyian malam.

Serenada yang lekas habis menuju gelap cahaya. Bait-baitnya yang berkemul menuju pagi. Jeda kata. Ada di antara kita. Di antara waktu. Di antara hujan. Di antara jarak celah dan rumpang.

Engkau mengisi. Aku dan kata-kataku mengaisnya sebagai puisi. Menyabotase pandang pada alam ingatan. Tentang ujaranmu, malam itu. Seperti puisi Sapardi “Kukirimkan Padamu”, ujarnya “Aku tentu saja, tak ada di antara mereka. Namun ada.” Maka engkau, tentu saja ada, meski tak wujud hadir menyapaku dalam nyata. Bukankah ada, yang tiada?

 

Cinta yang Beriman kepada Tanya

Apakah cinta hanya beriman kepada hal yang tunggal, menafikan kata “dan, serta, bersama, dengan”? Bukankah kini “dan” menjadi sedemikian wajar dan menjadi jaminan kebahagiaan?

Ujar sebuah tanya, suatu kali.

Sudahkah tanya menemuimu, yang tanpa tanda tanya, serupa tanda, nir-bentuk, kata-katanya tersusun seperti pertanyaan, yang enggan dinamainya sebuah tanya kepadamu, agar tak lagi berdebat soal siapa yang hendak memulai tanya, meminjam lengkung bertitik bawah itu, sebagai sapaan yang bernada asing, kepada rindu yang terpasung.

Maka waktu datang malam itu kepadamu, ia bertanya perihal tafsiran-tafsiran atas pembacaanmu, pada antologi puisi Sapardi, yang dawam engkau baca saban bulan Juni. Engkau bilang selalu berhenti pada kata sederhana yang tak sederhana itu, sembari menuntun hujan yang kau bawa membersamai puisi.

Engkau juga kerap mendaku berhenti pada “yang fana adalah waktu, kita abadi”. Kau tafsirkan kalimat itu dengan sederhana yang tak pernah sederhana itu, bukankah bukan tugas kita mengurusi keabadian itu? (dengan tanda tanya)

Aku sempat menitip kalimat kepada tanya, agar disampaikan kepadamu tanpa tanda tanya, “Sudah sampai halaman berapa engkau mengasuh puisi-puisi bulan Juni Sapardi. Bak kehidupan, yang tak menemukan lembar epilog. Jumlah halamannya bertambah engkau baca. Pada pertengahannya ia terjatuh pada kata-kata. Pada selanjutnya ia menemukan kerikil tajam. Pada selanjutnya ia kembali jatuh cinta.”

Engkau tak memberi jawaban atas pernyataanku (sebuah tanya). Engkau malah tak beriman kepada kata-kata, yang engkau sangka kata-kata itu bukan milikku, tapi milik tanya, tanpa menanyaiku.

Ruang Rahasia

Ada suara yang memanggil-manggil dari kejauhan. Ia menembus ruang, sekaligus waktu. Ia beri pesan melalui pena dan tik-tik suara keyboard yang memberi kesempatan. Ia kabarkan tentang hujan dan kabut. Diceritakannya ujaran-ujaran ruang digital tak terbendung. Warta yang tak habis dibaca headline-nya. Segera saja diambil pesan itu dari masa yang lalu. Didengarkannya, dibacanya pada masa mendatang. Sampai aksara itu menemukan pembacanya. Yang menyelam pada ruang hari ini. Berbeda dan otentik. Aksara dan diksi selalu punya keterbatasan untuk bercerita. Nanti pada masa mendatang. Saat pengarang sudah mati, tersisa perdebatan-perdebatan tafsir yang abadi. Tentang siapakah yang lebih dahulu tiba. Apakah cinta yang ciptakan kehidupan. Atau kehidupan yang jiwanya bersalinkan cinta. Manuskrip-manuskrip yang tak bertuan. Menggunakan nama samaran. Tentang ruang yang paling rahasia. Bukankah ia akan tetap beresonansi, tanpa mengenal konsep waktu?

Fana Pertemuan

Ada pada jalan yang lengang, rindu itu. Ada dalam bayang ingatan, wajah itu. Ada dalam kefanaan, pertemuan itu. Gemerlap kota yang disaksikannya waktu malam. Lampu-lampu, serta cemas, yang kupandang melalui pantul cermin kecil ke arahmu, sementara waktu, ada, menitip jejak-jejak kaki, sebelum ia kian tak terjangkau, oleh suara-suara yang resah. Lalu muncul tanya, keterbatasan kata-kata, bisakah langsung saja kita terbuka.

Ada, pada rintik-rintik hujan itu, yang lama tak turun kehadirannya. Tiba waktu petang. Ada derit kereta yang melaju tanpa ampun menurunkan palang. Pernah membawamu pulang, pernah membawaku datang. Ada, kau saksikan semua itu ada, meski hanya bayang-bayang. Apakah bayang, yang merupakan ketiadaan itu, satu-satunya ada, yang disebut keabadian?

Perjalanan waktu, yang tiba sebagai skrinsut-skrinsut kecil, kian menggema sebab seseorang yang senang merawat ingatannya.

Menunggal

Yang tanggal, memilih tinggal. Setelah rindu itu kian menjadi tunggal. Ingatan berbaris mengitari unggun malam. Menyalakan tanya: kita hanya dapat bertemu pada ketiadaan waktu. Serta cemas yang menjadi kudapan.

Sebelum gelap, sebelum lelap. Catatan terbuka tak kuasa mencatat harap. Ia murni tak tertangkap. Berpendar bersama kunang-kunang dan satwa malam. Ibadah senyap adalah upaya mengosongkan keriuhan dalam pikiran. Bagaimana ia bisa ditepikan, jika ia sudah mewujud menjadi jiwa itu sendiri pada dasar atma yang sakral.

Menunggal, tak bisa ditinggal.

Mengeja Sejarah

Sementara, di antara dua musim yang saling menyapa, musim hujan dan musim kemarau, berita tentang penyair yang telah berpulang tuntas menunaikan ibadah puisi, hanya tersisa kutipan-kutipan puisinya yang banyak dicari.

Anak-anak di sekolah sibuk mengeja sejarah, namun adakah bangsa ini mau belajar, dari masa lalu.

Kehidupan ini sejatinya adalah suatu berkat, dari doa-doa yang hinggap pada bunga dandelion, yang selalu engkau bincangkan ketika senja, di mana butir-butir bunganya beterbangan pada seluruh penjuru mata angin, dari orang-orang masa lampau, yang menitip suatu harapan pada generasi selanjutnya.

Berdoalah. Kata-kata terapal menjadi doa adalah mustajab saban waktunya. Ia tidak hanya tertuju secara vertikal kepada Tuhannya, melainkan huruf-hurufnya yang terurai, sampai kepada “kabulkanlah”. Ia menjadi udara, yang dihirup semua makhluk hidup dan mati, yang membantu menjadikannya mewujud.

Tafsir terhadap Waktu

Pada momen aku menangkap tatapmu, menatapku, yang tak berjarak, maka bagaimana engkau menafsirkan waktu, yang kini tak bisa kau peluk? Sayangnya, aku tebak engkau lupa mencatat bagaimana detak-detak jam pada malam itu, saban waktu, menggubah kata-kata.

Almanak pada dinding, di mana beberapa hari engkau lupa mengguratkan tanda pada masa yang telah lalu. Catatan-catatan kecil, mengenai kapan aku baru saja menukar lampu, kapan engkau baru saja mengucap rindu, yang tentu saja tak tertulis pada pinggir angka almanak itu.

Bagaimana jika tak perlu nyalakan lampu sementara waktu, purnama yang sinarnya akan segera masuk begitu aku menyibakkan tirai.
Engkau mau aku menyalakan flashlight yang kuarahkan pada dinding kamar, tubuh yang segera menjadi wayang-wayang siluet. Kita bisa memulai cerita mengenai manusia-manusia yang takut akan sebuah ruang terbuka. Pada perjalanan, kesendirian.

Sinar purnama yang masuk begitu engkau menyibakkan tirai, menerangi mawar yang dingin di atas sebuah vas yang engkau isi dengan air. Merahnya yang nampak berwarna hitam, oleh bayang-bayang malam. Engkau tak perlu membandingkan mana yang lebih terang antara purnama malam ini dengan firasat yang kerap engkau khawatirkan.

Apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu?
Jika suatu hal yang muncul pada benakmu, maka sesuatu itulah yang tak boleh engkau utarakan tepat pada jarum yang bernama kebenaran, yang segera cepat-cepat engkau alihkan. Ia harus lekas tenggelam. Gelap itu, bukankah penyair yang kau kagumi itu katakan, melindungi semua warna, semua rahasia?

Bukankah dinding kamar ini adalah opium yang menekan rasa sakit sementara? Bahkan pada sebuah ruang yang kedap dari kebenaran, justru kita takut kepada kejujuran.

Maka apa yang engkau tafsirkan mengenai waktu? Premis-premis yang dapat dikalkulasikan sebagai kepastian? Atau sebagai proyeksi-proyeksi kemungkinan, yang tiba sebagai dejavu.

Artifisial

Lirik menarik yang mengusik didengar setelah jeda. Kertas yang berisi lirik-lirik lagu yang huruf-hurufnya tercetak kecil terurai dibaca sembariku mendengarkan nada-nadanya. Dulu rasanya seorang selalu membaca kertas lirik sembari mendengarkan kaset lagu. Kini seperti sia-sia. Tiada saat teduh yang membuat seorang tertegun menikmati seni itu. Yang indah itu.

Apalagi bait dari seorang penyair asing, yang kini tak lagi dirapal, dihafal, dibahas, didebat, yang diejek diksi susunannya, yang diberi nada, yang menggugah. Seni kata-kata (puisi) harusnya tidak bisa jadi artifisial. Sebab ia adalah inti, yang tidak bisa ditiru.

Seorang mendengarkan lagu yang dianggapnya baik, ia lalu jalankan aplikasi untuk identifikasi. Sesekali, jika ingat, ia akan titip sejarah-sejarah pada sebuah kolam bernama ingatan. Sementara liriknya bisa kita jumpai pada buku digital yang bisa ditamui saban waktu.

Sementara, kepada kantung waktu pula kita semestinya menitipkan keajaiban-keajaiban itu, lalu kita berada pada jeda keheningan. Membiarkan keindahan itu menubuh melalui selipat jarak. Karena lupa kepada jarak dan jeda itu sendiri, seni menjadi sesuatu yang bising, yang terulang-ulang hingga jemu. Dan kita tak bisa menikmatinya lagi.

Kabari jika nada-nada itu berkemul pada selimut waktu sementara, lalu kita kembali kepada percakapan-percakapan klasik, dengan senang hati aku akan menikmati lagu yang berisi kecanggungan-kecanggungan, sembari kulihat kedua matamu yang berputar menjemput bait-bait percakapan selanjutnya. Pada suatu waktu tanpa kita terka. Meski akan terlupa. Fragmen yang akan menjadi masa lalu itu tetap bisa kita jemput melalui lagu yang akan membawa kita kesana.

Engkau menjuluki seorang sebagai penyair, barangkali ia hanya mengunjungi makam ingatannya.