aldiantara.kata
Lampu tua yang tak beranjak ganti. Tak menyala. Ia sama seperti tiga dekade lalu. Buka atap besi penutupnya. Siapa tahu masih menyimpan pesan-pesan percakapan lampau. Rahasia-rahasia yang seharusnya tertutup rapat-rapat.
Pagi-pagi pria bertato dengarkan lagu shalawat menjaga tempat wisata. Penangkaran kuda sudah tidak ada pada jogging track yang perlihatkan pemandang Merapi. Seringkali tertutup mendung awan musim penghujan. Taman itu kini ditumbuhi rerumput liar yang tumbuh setinggi genang air banjir ibukota.
Bayi-bayi milenial terlahir cantik rupawan. Terawat baik gizi cukup terpenuhi. Jangan kusam siapa tahu masih kecil sudah komersil. Dapat endorse susu formula. “Masih muda sudah kaya.” Hebat, hebat. Ajarkan banyak hal. Bisa pada banyak bidang.
“Ayo ada ide bisnis apa?” tanya bayi kepada bayi lain di Posyandu.
“Kita jangan cuma bisa tangis dan tawa.” Masih di taman kanak sudah pandai berdagang. Biar cepat mandiri.
“Hebat lho anakku, padahal masih sekolah dasar tingkat awal sudah bisa buat start up.” Banyak bisanya, usia masih muda.
Pada masa ini, tidak sibuk adalah aib. Menikmati waktu adalah kelambanan. Aku mencari penangkaran kuda, yang sudah pindah tempat. Agar membawaku terpacu balap-balap hidup yang memacu adrenalin, katanya itu.
Namun, penjaga wisata yang ada jogging track nya itu, bertato, yang pada paginya dengarkan siraman rohani, yang istrinya sedang hamil sedang duduk menghadap utara itu, berkali-kali bilang kalau penangkaran kuda sudah pindah. Bekasnya ditumbuhi rerumput yang tumbuh dengan ajaib tanpa disadari. Apa dengan berkuda aku dapat menahan laju waktu. Sementara lampu tua sudah tak menyala. Ia pasrah ditinggal waktu yang menjadikannya padam.
Kejuaraan bulutangkis tuan rumah digelar tanpa penonton. “Ayo. Kuatkan lagi doanya.” Warganet benar-benar serius mendoakan negerinya yang terkena smash paceklik.
Tinggalkan Balasan