aldiantara.kata
Di mana kita berada di atas kursi panjang, menghadap pada lalu lalang kendaraan yang tiada henti-hentinya, engkau selalu bertanya, perihal kursi taman tersebut. Walaupun suaramu kau arahkan kepada dedaunan dan lampu taman bernyala redup, yang sesekali engkau menengadahkan kepala ke langit bertanya, apakah sudah sewaktunya embun serta air-air langit mulai temurun. “Bangku taman ini untuk siapa, tiada pejalan kaki selain kita, kursi mobil dengan pendingin udara lebih digandrungi ketimbang bangku besi tempat duduk embun-embun pagi, daun gugur, serta pengembara yang sedang mengambil nafas panjang sebelum ia melanjutkan perjalanannya.”
Kita secara garib malah menyalakan lilin, membakar dingin, sekaligus membakar pertanyaan yang engkau utarakan. Jelas saja aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, mencarinya dengan mesin pencari (yang engkau katakan selalu dapat jawaban), atau melalui buku-buku pada rak berdebu.
Sesaat sebelum pulang ke rumah, engkau malah bercerita perihal penglihatanmu yang sedikit terganggu beberapa akhir ini. Cecunguk yang terbang kesana kemari menghinggapi helm pengendara bermotor di lampu merah, pengendara mengambilnya, meletakkannya pada ujung jari telunjuk, membiarkannya terbang. Cecunguk yang dipelihara dan dianggap khalayak suatu keindahan. Kupu-kupu terusir dari bunga, dari simbol keberagaman yang indah. Senantiasa terusik lalu pergi lantaran dianggap memuakkan.
Bimbang rasanya apakah harus membawamu ke dokter atau ahli hikmah. Tapi aku mengatakan kepadamu malam itu, perihal cecunguk dan kupu-kupu itu bukan satu-satunya keanehan di bawah matahari.
Sesaat sebelum pulang ke rumah, aku memecah keheningan dengan menceritakan kepadamu mengenai seorang yang kujumpai pada suatu malam, ia belum lama ini bebas dari masa tahanan setelah dihukum lantaran menghabisi tiga nyawa sekaligus pada tahun delapan enam. Delapan belas tahun berada di sel. Tanpa tahu dan besuk dari sanak keluarga. Ia bercerita pula tak tahu perihal ayahnya yang telah meninggal.
Kau malah memarahiku, meskipun jelas aku tak seperti yang kau tuduhkan, aku merasa risih dan paling suci, seakan tak punya dosa.
Tinggalkan Balasan