aldiantara.kata
Aku menulis apa malam ini.
Seseorang katakan padaku bila sudah memasuki bulan dengan akhiran –ber, pertanda telah masuk musim hujan. Siang tadi nyatanya tidak. Mendung segera berganti terik. Kabar langit yang diramal ‘jadian’ dengan hujan, harus disapu angin membuka jalan sinar surya.
Aku melihat sebuah video singkat sepasang kekasih yang berdansa di bawah hujan. Diberi efek hitam putih, kesan klasik, singkat terlihat memberi kesan romantis. Meski kuulang, dengan pandangan sinis, aku tak sampai berharap keduanya disambar petir. Namun aku sedikit gemas, harapan saat hujan adalah bercinta! Jarang harus memaksa menerobos hujan kala di atas kendaraan seperti Dilan.
Hanya berteduh di sebuah toko yang tutup, kemudian melihat dari kejauhan bagaimana antrean khalayak di halte meski saat pandemi. Aku membayangkan bila ada seorang pejabat yang ikut di dalamnya. Dikenali. Kemudian berbincang banyak dengan tukang becak yang banyak tahu soal politik istana.
Dengan tiba-tiba, ide datang hampiri, sama tiba-tiba nya dengan kilat yang sesekali menyambar. Aku bergumam, kalau kau cari pejabat, carilah pada desak halte atau terminal bau kencing, pada hiruk pikuk sipil bercangkul, bukan di belakang sipil bersenjata lengkap. Lagi-lagi ide utopis!
Spontan pula, menjadikan pemerintahan bahan gunjingan pikiran, malah membuatku mengurutkan lagi sila-sila pancasila yang sebetulnya sudah di luar kepala. Namun dengan konyol aku malah berusaha mengurutkannya dari sila-5 ke-1, takut-takut kedapatan tak pakai masker di warung kopi, lalu beranjak diberi hukuman.
Ah andai APBN dipegang oleh rakyat, pejabat kemudian memunguti uang-uang pajak dari rumah ke rumah bila ada kebutuhan. Militer seharusnya berdiri di depan rakyat yang menggaji mereka, bukan di depan pemerintah. Agar moncong senjata bisa dengan benar diarahkan kemana.
Iya-iya selama ini kebijakan yang tak pro-rakyat disebabkan karena pemangku kebijakan kurang berolahraga? Selama ini media menyoroti mereka yang terlelap tidur kala rapat karena memang kurang berjalan kaki?
Alah. Moncongku ini! Aku harus segera mengalihkan topik yang membosankan ini pada urusan semula: bercinta!
Terlelap pada suatu siang, malah buatku mimpi basah keringat. Sebangunnya ku tak genap hingga sejam, nyatanya aku lupa arahkan kipas.
Aku juga lupa mengarahkan mimpi kepada apa yang aku sering bayangkan. Mimpi siang kadang kejam. Bila bablas, kadang sampai buat linglung apa ini langit fajar atau senja. Meski isi mimpi siang yang kadang serius, aku hanya percaya bahwa itu mimpi siang bolong.
Seorang perempuan tiba-tiba memintaku memuaskan keresahannya. Menjilati segala sepi, membuat tanda pada beberapa sesi bagian tubuh kehidupannya. Dipaksa melayani dirinya yang tlah terbaring di atas meja belajar, mata yang terpejam seolah menunggu permainanku berikutnya. Mata saling beradu. Cahaya minim arah temaram, ia tak malu-malu lagi rahasiakan kehidupan. Aku panasi dengan sentuhan titik rangsang sunyi yang belum orang lain jamah. Aku menyadari dia sedang berpuisi dalam sadarku. Aku hanya mencoba memancingnya dengan pelukan yang memberinya banyak referensi untuk tentukan diksi. Dia malah berdesah.
“Apa ini tak, apa-apa?” tanyaku.
“Kau tak perlu membayarnya.”
“Tapi kau pacar temanku, aku tak sedang ingin berkelahi.”
“Dunia tak cuma dibangun oleh kekuatan supranatural dan asumsi-asumsi yang logis-rasional, namun juga oleh rahasia perempuan yang takkan pernah terungkap.” Jelasmu.
Aku terbangun. Moncong senjataku sudah siaga. Cepat kusadari bahwa aku bukan seorang serdadu.
Ah, aku menulis apa malam ini. Aku sedang berada pada sebuah cafe dengan suasana hijau tanaman, perhatianku teralihkan lantaran gonggong dua anjing yang sedang bermain. Kasian si Oren kucing yang hanya melihat mereka dari jarak dekat.
Doggystyle! Doggystyle! Apa manusia sadari kontribusi anjing yang membuat hidup manusia terasa lebih menggairahkan?
Tinggalkan Balasan