Virus corona bertasbih menuju bulan suci. Orang mengira musuh, ia adalah simbol perenungan. Corona bertasbih menyampaikan pesan akan kefanaan dunia. Corona bertasbih menyentuh relung kemanusiaan yang memudar. Sementara media masih fasih melaporkan kuantitas korban, prediksi berakhir, hingga perusahaan yang merugi, namun gagap mengartikulasikan penjual makanan keliling yang masih penuh dagangannya menuju basi. Sebagian jama’ah masih berdebat mengenai shaff yang renggang di masjid. Manusia dipaksa melihat manusia lain lewat layar kaca. Manusia lain membagikan foto-foto kebersamaan melalui jendela whatsapp mengenang hari-hari terakhir bersama. Manusia lain menghibur bosan. Bosan menyadarkan keceriaan yang berpura-pura. Musik baru muncul ke atas panggung komersialisasi. Dokter bersahabat dengan corona. Pasrah berdebat dengan Izrail. Melawan sesak seragam menahan penderitaan. Manusia mengutuk tahun yang memberi mereka sinar matahari yang indah dan hujan yang syahdu. Terlihat kelam karena kecemasan. Manusia bahkan tak membayangkan kehidupan pada bulan Juni. Melihat hari esok dengan rasa sesak. Aneh. Sebagian manusia bersyukur duduk bersama keluarga. Sebagian bersyukur melihat Ayah dan Ibunya dalam perantauan. Teknologi dan Corona bersepakat untuk menjalin kerjasama. Hingga stasiun televisi menghadirkan tayangan kartun masa kecil agar membuat manusia sedikit berbesar hati. Manusia bersusah payah menyulam kebahagiaan di tengah pandemi. Manusia berusaha tetap hidup dan merencanakan perayaan besar setelah corona pamitan. Dalam waktu dekat sebagian manusia menyambut bulan Ramadhan dengan sukacita, bergandeng kepura-puraan. Tahun ini akan menjadi tahun yang asing bagi manusia. Manusia akan menceritakan pada turunannya kelak akan wabah ini. Manusia mengingat Tuhannya, merapal meracik doa. Menanti maghrib. Virus menginfeksi orang tak kenal pekerjaannya apa. Agamanya apa. Biar masjid tak adakan tarawih, kultum, atau shalat Id. Tetapi masjid harus tetap sediakan takjil, hingga corona menemukan cinta sejatinya: vaksin. Corona mengamuk meminta kekasihnya. Mari menanti datangnya maghrib. Masjid sediakan kepada manusia untuk berbuka dengan cara yang aman. Masjid sediakan makanan untuk semua manusia. Baik kamu yang beragama atau tidak. Menanti datangnya maghrib. Panggilan agama adalah panggilan kemanusiaan. Allahu Akbar Allahu Akbar. Panggilan kemanusiaan: semua yang terjadi adalah kehendak Tuhan. Manusia harus hidup dengan kemanusiaannya. Menuju panggilan kemenangan. Menanti datang maghrib. Tidak boleh ada yang kelaparan. Setidaknya menanti datangnya maghrib. Manusia mendekat menuju rumah ibadah. Manusia harus turunkan dahulu standar kehidupannya. Sedekahkan banyak harta. Jangan sebagian-sebagian! Maghrib menjadi simbol kasih sayang kemanusiaan. Tidak boleh ada yang kelaparan. Tidak boleh. Bahkan jikalau ada yang mati karena infeksi corona, matilah dalam keadaan kenyang. Menanti adzan maghrib.
Tinggalkan Balasan