aldiantara.kata

 

Meja belajar itu sendiri, terbuka dan terhampar. Tak hanya terbuat kayu, maupun besi, ia terhampar dari apapun di atas bumi.

Di atas meja belajar, seorang anak tersedu sedan tak kuat menghadapi lelahnya belajar. Dalam pengawasan orangtuanya, kini tangan dan teguran orangtuanya sendiri yang memberikan pengajaran. Duduk saling berhadap hadapi ketidak-nyamanan.

Ibu sedikit emosional bercampur iba. Anak banyak menguap dan tak konsentrasi. Mainkan pulpen dan menggambar di belakang buku tulisnya.

Sudah pagi-pagi sekali mandi dan bersiap-siap. Bantu Ibu siapkan makanan untuk Bapak. Rumah menjadi sekolah pertama kembali.

Kemudian duduk, pantatnya bergoyang tak nyaman lama-lama dengarkan pelajaran. Pelajaran dari ibu terlalu serius dan terdengar menekan.

Berat sekali rasanya untuk mendengar, susah sekali rasanya untuk mengikuti keinginannya.

Sebelum semua kembali  kepada keadaan biasanya, sebelum kehangatan yang sesungguhnya menjadi dingin. Kebuntuan-kebuntuan menemukan jawaban matematika kala bersiap menghadapi ujian. Seringkali lebih terjal menemu jalan buntu dalam menguasai dendam dan menerima pengkhianatan dalam kehidupan.

Apa makna kehidupan dan cinta, sebagaimana seperti yang kupahami mengenai ambisi dan sikap kompromi.

Apa makna dari kematian, sebagaimana kepedihan seorang Bapak yang terlebih dahulu ditinggal anaknya, memandikan, hingga mengantarkannya ke pusara.

Apa makna kehormatan diri, keluarga, serta apa makna memperjuangkan cita dan cinta?

Apa makna pertemanan sebagaimana banyak orang seakan berkoalisi mengatasnamakan persaudaraan sepersukuan sepersusuan.

Di meja belajar di mana Ibu menekuni buku dan memberi teladan. Di meja belajar di mana Bapak bekerja dan ajarkan perihal tanggung jawab.

Ibu selalu bercerita dan membanggakan buku-buku yang menjadi hadiahku saat juara kelas. Bapak yang selalu bertitip pesan agar aku menjaga kekasihnya yang esa.

Ibu dan Bapak pernah sampaikan keinginan pada masa senja, mereka hendak habiskan waktu pada sebuah rumah sederhana yang dinding-dindingnya dipenuhi buku-buku dan sepasang meja kursi  menunggu fajar.

Di meja belajar, seorang Ibu senang mengenalkan anaknya penderitaan dalam belajar. Tangisan anak terdengar merdu. Dalam ketidaktahuan apakah kelak setelah dewasa akan menjadi seorang penentang atau pergi jauh dari orangtuanya. Kemudian datang, bahkan di atas pusara, kedua orangtua tetap menjadi simbol cinta yang tulus menunggu anaknya tiba, enggan diberi, selalu ingin memberi.

Bila akan menikah nanti, rasanya ingin mengajak Bapak dan Ibu pergi ke tempat yang hening dan sunyi. Mendengar langsung nasihat-nasihat mereka tanpa ada yang melihat tangisan kami dan sampaikan maksud yang baik. Tidak menjadi klise nasihat pernikahan gunakan pengeras suara di depan banyak hadirin, bahkan saudara dekat, menjelang atau setelah akad.

Bila akan menikah nanti, aku tunduk menghadapi keheningan, Bapak dan Ibu yang sedikit terbata-bata hingga mengalir bercerita. Tak lama lagi rumah akan segera hening. “Aku anakmu, Pak, Bu.” yang akan terasa asing dan seakan bukan milik mereka sepenuhnya lagi. Tragis sepertinya, sudah sejauh-jauh, selama-lama merantau, pulang hanya bermaksud mengutarakan hendak menikah. Kemudian berpisah. Tiada banyak waktu habiskan momen bersama. Meskipun nasihat-nasihat terbaik tertinggal pada memori yang tersimpan rapi sebagaimana mata pandang yang mengcapture, segala teladan yang tak semua bisa ditiru.

Sementara di jalan sebuah desa, ibu yang mengajari seorang anak sepeda roda dua. Ia berjalan sembari memberi semangat kepada anak agar terus mengayuh dan menjaga keseimbangan. Sementara ibu masih menggendong adik dari si kakak yang terjaga dalam tidurnya.

Meja belajar terhampar di atas panggung kehidupan. Memanjang di atas perjalanan waktu dan sisa umur. Bila dadamu terasa sesak, apakah ketulusanku mencintaimu dapat menjadi tambahan nafas, Bu, Pak?