Mari Jadi Ahli Maksiat

Oleh: Atropal Asparina

 

Ketika kebenaran tak ubah barang dagangan yang dipajang oleh hampir setiap orang, menjadi ahli maksiat adalah satu jawaban dari kebingungan memilih kebenaran yang mana.

Emper-emper kebenaran sudah kadung memenuhi dan menjadikan-hanya dunia(kita): medsos, ormas, keluarga, bahkan fantasi dan imajinasi; untuk selalu benar. Atau lebih tepatnya memilih trend kebenaran tertentu. Logika hitam-putih, atas dasar kejelasan sebuah kebenaran, sudah jadi narasi promosi yang paling umum. Walhasil, sudut pandang terhadap lawan kebenaran teramat lancip bahkan tajam. Lawan kebenaran adalah keburukan, sedang keburukan setelah melewati batas-batas abstrak—dalam terminologi agama—disebut maksiat.

Sekali lagi saya ulang, mari jadi ahli maksiat. Saking lancip pandangan kita terhadap sebuah objek yang masuk kategori maksiat, sampai tidak menyisakan satu titikpun alternatif lain dalam melihat—lebih jauhnya menyikapi—maksiat.

Pada titik ini, di satu sisinya manusia merasa punya alasan untuk bersikap kejam terhadap sesamanya, bahkan sejak dalam pikiran. Maksiat ya maksiat! Titik!. Dia adalah perusak kebenaran dan lawan kebaikan yang harus ditumpas dengan segenap daya. Sebuah pohon rindang, teduh, besar dan rumah ribuan hewan puluhan tahun, jika diketahui menjadi tempat pesugihan, babatlah habis. Tak apa ribuan hewan mendadak tunawisma.

Sembelihlah sebanyak mungkin manusia, buraikan usus-ususnya, hancurkan daging, kulit, belulang dan tengkorak kepala dengan kejeniusan merakit bom. Dengan keberanian meluluhlantahkan awak sendiri atau perasaan tega meledakkan anak dan istri, demi menumpas kemaksiatan atau demi etalase kebenaranmu, atau demi-demi yang lainnya. Atau bencilah temanmu yang dianggap suka bermaksiat. Tapi pertanyaannya…

Mengapa si penginjak orang yang sedang sujud dalam shalat, yang kemudian dimaki disumpahi tidak akan diampuni Allah karena perbuatanya, justru dibela dengan turunnya wahyu Allah bahwa Allah Maha Pemaaf (HR. Muslim). Juga wanita pezina yang hendak dirajam oleh segerombol orang, justru dibela oleh yang mulia Yesus (Yohanes 7:53-8:11). Atau manusia yang disebut pelit, dalam kitab al-Hikam (karya Ibnu Athailah) sebenarnya tak ada. Sebab yang ada manusia tamak yang ingin diberi, sehingga menyifati orang yang tidak memberi dengan sebutan kikir.

Jangan-jangan, laiknya emper-emper kebenaran yang kadung beragam, maksiat pun teramat subjektif kala dikhotbahkan sana-sini. Lidah teramat lancar ketika mengkafirkan orang yang tidak shalat. Tapi apakah akan selancar itu, jika yang tidak shalat adalah anak atau ayah sendiri?

Bagi saya, Tuhan adalah ahli maksiat, Yesus dan penulis kitab Hikam pun demikian. Sebab ahli itulah, ketiganya—dan masih banyak lainnya—berhasil menunjukkan bahwa sudut pandang terhadap maksiat tidak selalu menjijikan. Termasuk, ahli maksiat mulai harus dibedakan dengan pelaku maksiat. Seperti ahli-ahli dalam bidang keilmuan lain, sarjana ahli maksiat sangat diperlukan dalam era serba-dakwah seperti sekarang.

Bukan sok bijak, tulisan ini hanya usaha kecil untuk mengurangi kegoblokan “diri.”

1 Comment

  1. Bagus sekali. Memang Ahli Maksiat bukan berarti tukang maksiat. 👍🙏

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *